Chereads / Timeless Love: Benang Takdir / Chapter 10 - Bab 08 - Lacuna

Chapter 10 - Bab 08 - Lacuna

lacuna

(n) a blank space; missing part.

****

Aku kehilangan sesuatu yang tidak kusadari;

Memori tentangmu.

****

Jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat. Namun aku masih saja belum bisa memejamkan mata meski sudah merebahkan diri. Rasa kantukku hilang entah ke mana. Padahal, tubuhku sudah benar-benar lelah setelah menyelesaikan semua rangkaian acara pernikahan ini sejak pagi.

Aku membuang napas kasar, memandang pintu kamar dengan sedikit cemas. Usai acara resepsi, aku dan Azka sempat menemani saudara yang tinggal untuk mengobrol. Sampai kemudian Ayah datang dan meminta pria itu untuk pergi mengobrol. Merasa tidak banyak lagi yang bisa dilakukan, aku memutuskan untuk undur diri dan beristirahat meski pada kenyataannya saat ini aku sama sekali tidak dapat mengistirahatkan diri. Ada begitu banyak hal yang kini bercokol di kepalaku, masih tidak percaya bahwa statusku sudah berubah menjadi seorang istri. Selain itu, kini aku juga harus siap membagi sisa hidupku bersama seseorang yang tidak pernah kusangka.

Apakah aku sungguh siap untuk menjadi seorang istri?

Aku tertegun ketika pertanyaan tersebut menginterupsi kesadaranku karena aku sendiri bahkan tidak memiliki jawabannya. Semua yang terjadi ini begitu tiba-tiba dan aku masih merasa seperti ada sesuatu yang hilang tanpa tahu itu apa. Lalu ....

Aku menelan ludah gugup. Ini adalah malam pertama pernikahan dan aku sudah menjadi istri Azka. Apakah itu artinya ... nanti .... Tiba-tiba aku jadi merasa takut. Aku sama sekali tidak siap untuk jenis hubungan sejauh itu. Pernikahan ini saja masih terasa seperti mimpi bagiku. Apa yang harus kulakukan? Bolehkah jika pernikahan ini dilakukan tanpa hal itu?

Baru saja orangnya kupikirkan, pintu kamarku tiba-tiba terbuka menampilkan sosok pria jangkung yang kini menyandang status sebagai suamiku. Aku menahan napas sebentar saat pandangan mata kami tanpa sengaja bertemu pada satu garis lurus. Merasa canggung, aku buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Meski tidak terlalu kentara, tetapi aku bisa melihat gurat lelah di wajah Azka.

"Belum tidur?"

Aku menoleh saat mendengar suara Azka, pria itu tengah menutup pintu, kemudian melangkah masuk sambil menggeret koper sebelum meletakkannya di sudut kamar. Azka lalu berjalan menghampiriku. Dia duduk di ujung ranjang dengan posisi membelakangiku, membuatku hanya mampu menatap punggung lebarnya dan memperhatikan pria yang tengah melepaskan jas dan dasinya itu dalam diam.

"Tidurlah, aku tahu kamu lelah," ujar Azka tiba-tiba.

Aku terkesiap, sepertinya karena terlalu fokus memperhatikan setiap gerak geriknya, yang entah mengapa jadi begitu menarik. Untung saja pria itu tidak berbalik, kalau iya, aku pasti mati kutu karena ketahuan diam-diam memperhatikannya.

Aku menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. "A-aku belum mengantuk," sahutku jujur, sebelum perhatianku kembali teralih pada Azka yang terlihat kesusahan melepaskan sepatunya. Apa dia sudah terlampau lelah sampai kesulitan sekadar untuk melepaskan sepatu?

Melihat itu, aku pun menghela napas pelan kemudian segera bangun dan membantunya. Hal yang rupanya membuat sosok Azka sempat mematung beberapa saat, sebelum kemudian mengucapkan terima kasih. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, lalu menyimpan sepatu dan kaus kaki itu di rak, setelahnya mengambil handuk baru di lemari dan menyodorkannya pada Azka.

"Kamu bisa mandi dulu, masih ada air hangat dan ... sepertinya ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan setelahnya," tuturku.

Azka mengangguk, setelah menerima handuk yang aku berikan, dia langsung pergi ke kamar mandi sambil membawa beberapa pakaian di tangannya. Aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup dengan rasa waswas. Aku sungguh tidak mengira akan menjadi secanggung ini keadaannya dan semakin mengkhawatirkan. Kira-kira apa yang akan terjadi nanti saat aku membicarakan ketakutanku ini, ya? Apa semua akan baik-baik saja? Bagaimana dengan reaksinya dan apa yang harus aku lakukan setelahnya?

Aku menggeleng cepat dan memukul kepalaku sendiri demi mengenyahkan ketakutan itu. Setelah mengembuskan napas kasar dan berusaha mencari cara untuk mengalihkan pikiran, aku memilih untuk menata pakaian Azka saja ke lemari sambil berusaha menenangkan diri dan memupuk keberanian untuk membicarakan hal ini pada pria itu nantinya.

Tepat setelah aku selesai menata pakaian dan menutup pintu lemari, pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Azka sudah tampak segar. Semerbak wangi sabunku menguar di udara. Kaus abu-abu polos dan celana training panjang berwarna biru tua sudah melekat di tubuh jangkungnya. Sementara itu, rambutnya terlihat masih sedikit basah dibiarkan begitu saja, padahal sebuah handuk mengalung di lehernya.

Hal itu lantas membuatku berdecak sebal. Apa sebegitu lelahnya sampai dia tidak sanggup untuk sekadar mengeringkan rambut? Aku menghela napas saat melihatnya sudah bersiap untuk merebahkan diri ke kasur, tanpa ada niat untuk mengeringkan rambut lebih dulu.

"Keringkan dulu rambutmu, kamu bisa masuk angin nanti. Apalagi dengan kondisimu yang kelelahan seperti itu." Aku bersuara lebih dulu sebelum Azka benar-benar merebahkan dirinya di kasur.

Azka sendiri malah tersenyum tipis, sebelum kemudian memintaku untuk mendekat padanya dengan isyarat tangan. Apa yang dia lakukan langsung membuatku menatapnya waspada, takut-takut dengan sesuatu yang mungkin dia rencanakan dan bisa terjadi sewaktu-waktu.

"Kemarilah! Aku tidak akan macam-macam," ujarnya, seolah bisa membaca ketakutanku saat ini.

"A-aku ...."

Azka mengulurkan handuknya ke arahku. "Tolong bantu keringkan rambutku. Bukankan tadi kamu bilang aku bisa saja masuk angin?"

Aku mendengkus sebal mendengar penuturannya tersebut. "Bukankah kamu bisa mengeringkan rambut sendiri?" ujarku sedikit sewot, meski begitu, aku tetap mendekat dan menerima uluran handuk itu, membantunya mengeringkan rambut seperti yang diminta.

Entah aku salah melihat atau bagaimana, tetapi Azka seperti tersenyum tadi saat aku mulai membantunya mengusap kepala dengan handuk. Aku memilih mengabaikan hal itu dan fokus pada kegiatanku. Azka sendiri memiliki rambut hitam yang tebal, sehingga memerlukan waktu sedikit lebih lama untuk mengeringkannya. Hal ini membuatku sedikit menyesal karena tidak memiliki pengering rambut karena kupikir benda itu tidak terlalu penting, jadi tidak punya pun tidak akan masalah. Namun sekarang, jika saja aku memiliki benda itu sudah pasti aku tidak perlu berlama-lama menahan degup jantungku karena berada pada jarak yang amat dekat dengan Azka.

"Sudah. Sekarang istirahatlah," ujarku seraya menarik diri untuk menaruh handuk basah di kamar mandi.

Saat kembali, aku mendapati Azka sudah berbaring telentang di kasur dan memejamkan mata. Melihatnya yang tidak mengenakan selimut, sementara semakin larut udara akan semakin dingin, membuatku berinisiatif untuk menyelimutinya hingga sebatas dada. Azka masih memejamkan matanya seolah tidak terganggu. Aku tersenyum, kemudian mengganti lampu ruangan dengan lampu tidur dan ikut berbaring di sampingnya, menarik selimut hingga sebatas leher demi menutupi tubuhku.

Namun hingga beberapa menit berlalu, mataku tetap enggan terpejam. Aku menatap stiker bintang di langit-langit kamar yang tampak menyala dalam keremangan. Suasana mendadak sunyi, hanya bunyi detak jam saja yang mengisi ruangan. Seharusnya juga, aku sudah merasa aman karena tidak ada tanda-tanda Azka meminta haknya dariku, tetapi sesuatu yang entah apa seolah terus mengganggu diriku dan membuat gelisah.

"Kamu sudah tidur?" tanyaku lirih saat tidak merasakan pergerakan apa pun dari samping kiriku sejak puluhan menit lalu. Aku menoleh dan mendapati Azka masih memejamkan mata, sepertinya dia sudah tertidur karena tidak menyahut apa pun. Kedua sudut bibirku terangkat melihat betapa tenangnya pria itu saat ini. Aku iri.

"Aku masih tidak mengerti, kenapa seseorang sepertimu malah memilihku untuk menjadi istri," gumamku lirih agar tidak mengganggu lelapnya Azka. Aku memperhatikan wajah pria tampan itu dalam diam. Ya, Azka termasuk dalam kategori tampan. Jika ditinjau kembali, seseorang seperti Azka seharusnya mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik daripada aku.

"Padahal, kamu pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik daripada aku. Sungguhkah kamu akan menerimaku yang seperti ini? Bahkan aku sendiri membenci diriku ini."

Tiba-tiba saja Azka membuka matanya, membuatku tergagap dan segera berbalik memunggunginya. Jantungku berdebar kencang. Apakah dia mendengar apa yang kukatakan tadi? Aku kira dia sudah tertidur karena sama sekali tidak bergerak ataupun merespons. Apa yang harus kulakukan sekarang? Ini gila!

Aku memejamkan mata dengan erat, berpura-pura tidur meskipun aku tahu ini konyol karena sudah tertangkap basah tadi.

"Menurutmu, seseorang seperti apa yang pantas untuk orang sepertiku?"

Aku langsung menggigit ujung selimut begitu mendengar suara berat Azka di belakangku. Aku berusaha tidak menanggapi dengan pura-pura tertidur, tetapi yang terjadi sungguh membuatku membeku di tempat. Tiba-tiba saja Azka menarik tubuhku hingga menghadap ke arahnya. Mataku sontak melotot kaget, berbanding terbalik dengan Azka yang kini masih begitu tenang menatapku tepat di mata.

"I-itu ...." Aku menelan ludah gugup. Mencoba kembali berbalik, tetapi lengan Azka yang melingkar di pinggangku menahannya. Tatapan pria itu terus mengunciku, membuatku tidak tahu harus bagaimana, terlebih dengan debaran kencang di dadaku saat ini.

"Wanita seperti apa yang pantas mendampingiku?" tanyanya lagi.

"Yang pasti ... itu bukan aku," sahutku lirih.

"Kenapa?"

"A-aku ... terlalu banyak kekurangan yang aku miliki. Bagi orang lain juga pasti demikian. Aku bahkan tidak lulus kuliah karena memilih berhenti, sementara kamu merupakan seorang dokter spesialis," ujarku, lalu tersenyum miris.

"Lalu?"

"Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."

"Hanya karena itu?"

Aku terdiam, entah mengapa aku merasa seperti sedang diinterogasi saat ini. "Kita juga tidak saling mencintai," ujarku lagi, tetapi tiba-tiba saja sesuatu seolah menusuk dadaku setelahnya.

Aku segera menyingkirkan tangan Azka dari pinggangku, kemudian berbalik memunggunginya. Sesuatu itu mendadak semakin membuat dadaku perih, hingga air mata mengalir dari sudut mataku. Aku tidak ingin Azka melihatku menangis karena hal ini. Jadi, yang kulakukan saat ini hanya mampu meremas ujung selimut dan menahan isak tangis agar tidak terdengar. Aku merasa diriku saat ini amat menyedihkan.

Tiba-tiba Azka memelukku dari belakang. Kehangatan melingkupi tubuhku, memberikan sedikit ketenangan atas kegelisahan yang sedari tadi menghantuiku.

"Yang aku inginkan itu kamu. Lalu soal cinta, kita bisa sama-sama belajar lewat pernikahan ini," bisiknya, suara pria itu terasa begitu dekat di belakangku. "Tidurlah, kita jalani semua ini bersama."

Ah, ternyata benar dia belum mencintaiku. Lalu, mengapa dia tetap menjadikanku istrinya? Kata "ingin" terlalu bias maknanya untukku. Sekali lagi, perih itu kembali menggores dadaku.

****

"Ayo masuk!" seru Azka sambil menarik koper kami masuk ke dalam bangunan yang terasa sangat asing untukku.

Bukannya menghiraukan seruan Azka, aku malah lebih tertarik untuk mengamati bangunan rumah bergaya mininalis modern di hadapanku ini. Meskipun tidak sebesar rumah orang tuaku, tetapi suasana sekitar yang tenang serta tatanan rumah yang tertata rapi memberikan kesan nyaman untukku. Belum lagi sebuah taman kecil di halaman depan membuat suasana menjadi lebih asri. Untuk privasi dan keamanannya sendiri cukup terjaga karena dinding pagar yang mengelilingi rumah. Kesan maskulin terpancar dari kombinasi cat abu-abu dan hitam di dindingnya. Sungguh mencerminkan sekali kepribadian si pemilik.

Aku tersenyum senang. Rupanya keputusanku untuk ikut Azka tinggal terpisah dari orang tua tidak buruk juga walau nantinya untuk pergi ke toko akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama, mengingat rumah ini berada pada kompleks yang jauh dari lokasi toko bukuku berada.

"Apa kamu hanya akan berdiri di sana?"

Suara Azka kembali terdengar, pria itu berdiri di ambang pintu sembari melipat tangannya di depan dada. Aku mendengkus kesal, melihat betapa tidak sabarnya pria itu. Padahal aku sedang berusaha menyesuaikan diri di lingkungan baru.

"Rumahmu bagus," komentarku sembari melangkah menghampirinya.

Kulihat Azka menaikkan sebelah alisnya. "Ini rumahmu juga. Ayo masuk! Ada banyak tugas yang menanti kita," ujarnya kemudian melangkah masuk dan meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu.

Aku membuang napas pelan. Entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak. Kutatap telapak tangan yang beberapa puluh menit lalu digenggam erat oleh Azka sepanjang perjalanan, padahal pria itu juga sibuk menyetir Seharusnya aku memang tidak mengharapkan apa pun darinya. Aku tidak boleh menjadi manja dan bergantung padanya. Aku bisa masuk sendiri tanpa perlu dia menggandeng tanganku lagi.

Memasuki ruang tamu, aku disambut oleh ruangan berukuran 3x3 meter dengan sectional sofa berwarna putih yang terlihat begitu kontras dengan dinding abu-abu gelapnya. Sebuah meja kayu kecil berada tidak jauh dari sofa, di atasnya terdapat sebuah vas berisi bunga hias. Sementara itu, pada dindingnya dipajang beberapa lukisan kecil dan hiasan sederhana.

Langkahku terhenti di ruang tengah, di mana Azka terlihat begitu sibuk membereskan barang-barang yang kami bawa dari rumahku. Tidak ingin hanya menjadi penonton, aku segera membantunya mengeluarkan beberapa barang dari dalam kardus.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling di mana ada beberapa pintu yang masih tertutup. "Di mana kamarku? Biar kuletakkan barang-barang ini di kamar saja," ujarku.

Kudengar Azka membuang napasnya pelan, kemudian mendongak. "Tidak ada kamarku atau kamarmu. Hanya ada kamar kita."

Aku melotot. "Ta-tapi—"

"Kita sudah membicarakan ini Keandita. Bukankah kamu juga yang mengatakan agar kita bisa bekerja sama dalam pernikahan ini? Kita menikah dengan sungguh-sungguh."

Aku mendengkus. Sekarang aku jadi menyadari sisi "tanpa bantahan" seorang Fariz Azka Husein yang menjadi suamiku. Saat sibuk memilah barang untuk diletakkan di kamar, kurasakan seseorang mengusap kepalaku dengan lembut, tanpa mengangkat kepala pun aku tahu siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Azka? Hanya ada kami berdua di sini.

"Mulai sekarang, kita benar-benar harus mulai terbiasa dengan semua ini," ujarnya, "aku pindahkan barang-barang yang berat dulu. Kamu rapikan saja barang-barang pribadimu. Kamar kita di sana."

Azka menunjuk sebuah pintu berwarna cokelat yang berada di sisi kiri dari pintu masuk ruang tengah. Setelah itu, Azka pergi membawa sebuah kardus besar menuju sebuah ruangan di sisi kanan yang belum kutahu ruangan apa.

Mendadak aku merasa asing sendiri dengan semua ini, terlebih sikap Azka yang seolah berubah menjadi orang lain. Dia yang tadinya hanya bicara seperlunya dan selalu berekspresi datar, sekarang berubah menjadi sosok yang sedikit lebih hangat. Tidak jarang, dia mengusap kepalaku lembut seperti tadi.

Aku menatap kardus berisikan buku-buku kesayanganku serta beberapa barang pribadiku, lalu mendesah lelah saat mengingat Reikhan. Pria itu seolah menghilang begitu saja setelah menghadiri pernikahanku. Dia bahkan tidak membalas pesan dan mengangkat teleponku. Padahal aku ingin bercerita padanya dan meminta saran tentang apa yang sebaiknya kulakukan ke depannya. Perubahan dalam hidupku ini terasa begitu mendadak dan aku belum siap untuk semua ini. Aku terlalu takut menghadapi semua ini sendiri. Biasanya aku tidak perlu khawatir dan akan merasa baik-baik saja jika ada Reikhan di sisiku. Namun, sepertinya saat ini tidak akan bisa seperti itu lagi.

Lama termenung sendiri, suara bel yang berbunyi menarik kesadaranku kembali. Aku menoleh ke arah pintu di mana Azka menghilang, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda pria itu akan keluar. Jadi, aku pun memutuskan untuk bangkit dan membukakan pintu untuk tamu di depan.

Seorang wanita cantik yang mengenakan gaun selutut berwarna biru pastel dengan sebuah tas merek ternama tersampir di bahu, berdiri anggun di atas highheels  hitamnya saat aku membuka pintu. Dari sekilas pandang saja aku bisa tahu bahwa dia bukan berasal dari keluarga biasa.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sembari tersenyum untuk menyapa.

Tatapan wanita itu berubah tajam saat melihat kehadiranku. "Kamu siapa?" serunya kasar.

"Saya—"

TBC

Dita Xian,

Banjarnegara, 29 September 2021.