razbliuto
(n.) the sentimental feeling you have about someone you once loved but no longer do.
****
Deru masa lalu meninggalkan jejak-jejak kelam.
Bersandar pada bayangan hitam yang tak tahu kapan pudar.
****
"Saya—"
"Mas Fariz!"
Aku tersentak saat wanita itu tiba-tiba berteriak dan mendorongku agar menjauh dari pintu, kemudian dia melangkah masuk tanpa permisi. Hal yang sama sekali tidak kuduga lainnya adalah saat wanita itu tiba-tiba memeluk Azka, menimbulkan nyeri di dadaku lagi. Apalagi Azka sama sekali tidak tampak risi mendapatkan perlakuan itu. Tanpa sadar, aku yang masih berdiri di ambang pintu meremas ujung rok dengan erat.
"Nata?" Azka bersuara.
Ah, jadi wanita itu bernama Nata?
Menyadari kehadiranku, Azka kemudian mencoba meloloskan diri dari dekapan wanita itu. "Ada apa?" tanyanya lembut.
Aku tersenyum miris. Kenapa rasanya sikap pria itu berbeda sekali dari apa yang dia lakukan padaku, ya? Mungkinkah wanita itu seseorang yang istimewa untuknya?
"Apa benar Mas Fariz akan menikah? Dengan siapa? Kenapa Mas Fariz tega sekali dengan—"
"Nata," tegas Azka atau yang dipanggil wanita itu dengan Mas Fariz mencoba menghentikan pembicaraan.
Aku yang menyadari situasi, bersiap pergi dan membiarkan dua orang itu bercakap sesuka hati. Namun baru saja melangkah melewati pintu, Azka memanggilku.
"Kean, jangan pergi!" serunya.
"Kean?" Wanita tadi ikut bersuara.
Aku yang ketahuan, terpaksa menghentikan langkah. "Aku mau keliling sebentar," ujarku tanpa membalikkan badan. Entah mengapa rasanya aku tidak ingin melihat mereka saat ini. Aku butuh udara segar di luar.
Tiba-tiba seseorang menarik tanganku, menarikku kembali untuk masuk. "Aku tidak akan mengizinkanmu pergi sendirian, berbahaya," timpal Azka.
Aku mendengkus. "Aku bukan anak kecil yang akan hilang hanya karena berkeliling kompleks sendirian. Lagi pula, siapa yang mau menculikku?"
Azka terdiam, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Sampai kemudian suara wanita tadi kembali menginterupsi kami.
"Jadi, ini wanita yang Mas Fariz nikahi?" serunya terdengar tidak terima.
Azka membuang napasnya kasar, kemudian beralih menatap wanita itu. "Iya. Ini istri Mas."
Aku melihat wajah wanita itu mengeras dan tatapannya yang tajam terarah padaku. Aku yang tidak tahu harus menanggapi seperti apa, hanya mampu tersenyum kaku.
"Dia Nata, adik dari—"
"Aku Renata, saudara kembar almarhumah Kak Raina. Kalau saja Kak Raina tidak pergi dari dunia ini, sudah pasti dia akan menikah dengan Mas Fariz."
Ini masih siang bolong dan langit begitu cerah, tetapi entah bagaimana aku merasa petir menyambar diriku tiba-tiba. Renata? Saudari kembar almarhumah Raina? Menikah dengan ... Azka? Aku tertawa dalam hati, menertawakan diri sendiri yang mendadak dungu. Tidak mampu berpikir apa pun, membuatku langsung melangkah pergi.
"Kean!"
"Aku mau berkeliling!" teriakku kencang membalas seruan Azka.
Aku berlari keluar gerbang, berbelok ke arah kiri dan mengikuti ke mana pun kaki membawaku pergi dari tempat yang mendadak menyesakkan ini.
Sial! batinku mengumpat keras begitu menyadari air mata turun membasahi pipi. Aku menyadari bahwa ternyata aku tidak tahu apa pun tentang Fariz Azka Husein.
****
Aku mencoba menyibukkan diri dengan memasukkan data-data buku baru ke dalam komputer, mengabaikan dua pasang mata yang terus menatap curiga ke arahku sejak kedatanganku ke tempat ini. Siapa yang tidak akan bertanya-tanya, pasalnya hari ini masih masuk masa cutiku di toko buku—bahkan baru masuk hari ke-empat dari jatah satu pekan—tetapi aku menampakkan diri di toko secara tiba-tiba. Terlebih aku harus meminta bantuan Arin dan Lisna untuk membayarkan ongkos taksi tadi. Setelah melangkah tidak tentu arah berkeliling kompleks perumahan Azka, aku memutuskan untuk pergi ke toko. Setidaknya di sini aku jadi bisa menyibukkan diri agar tidak memikirkan apa pun—harapku demikian.
"Keandita Rasheena," panggil Arin yang kini duduk di sisi kananku.
"Hm? Apa?" sahutku pura-pura tidak mengerti maksudnya.
Aku mendengar gadis yang mengenakkan kaus merah itu mengembuskan napas kasar. "Kalian bertengkar, ha?"
"Tidak, apa yang perlu kami ributkan?" sahutku lagi, tanpa mengalihkan pandangan dari monitor di hadapanku.
"Bukannya kamu masih cuti? Tidak mungkin kalau—"
"Kean." Kali ini Lisna yang bersuara, memotong ucapan Arin yang bahkan belum rampung. "Apa terjadi sesuatu? Mau menceritakannya pada kami?"
Aku tersenyum masam, kembali mengingat apa yang terjadi tadi. Setelah dipikirkan ulang, kenapa aku harus merasa kesal dan sedih untuk itu? Dia itu hanya orang asing untukku dan aku juga terpaksa menerima lamarannya demi Ayah. Apalagi kami juga tidak saling mencintai. Jadi, untuk apa aku merasa marah dan kabur ke sini?
Aku mendengkus. "Aku hanya perlu kesibukan," sahutku sambil melemparkan tatapan kesal pada Arin dan Lisna secara bergantian.
Kedua sahabatku itu saling pandang, kemudian menggeleng pasrah. Arin bahkan sampai mengangkat kedua tangannya di udara, tanda gadis itu memilih menyerah dan tidak akan ikut campur lagi. Dia bangkit dan kembali meleburkan diri pada setumpuk buku di rak baca. Sementara itu, Lisna yang kini begitu cantik dengan potongan rambut sebahunya mendudukkan diri di kursi yang tadi sempat diduduki Arin. Tatapannya yang lembut terarah padaku, tanda bahwa dia siap mendengarkan ceritaku.
Aku menghentikan kegiatanku memencet tombol di papan ketik, kemudian mengembuskan napas kasar. "Aku hanya kesal dan marah untuk hal yang sebenarnya tidak penting sama sekali."
"Tidak penting?"
Kali ini aku menatap Lisna, gadis itu menyangga dagunya. Lisna selalu bisa membuatku akhirnya menyerah dan bercerita padanya.
"Kamu tidak mau kerja dulu?" tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian Lisna dari permasalahanku.
Lisna terkekeh. "Oke, bagaimana kalau pulang nanti kita bertiga nongkrong di kafe biasa?" tawar Lisna.
Aku terdiam, menimbang-nimbang tawaran Lisna yang entah mengapa begitu menarik. "Tapi aku tidak bawa uang," ujarku begitu teringat kalau aku hanya membawa diriku saja kemari.
"Ada Arin. Iya, enggak, Rin?" seru Lisna.
Arin yang diam-diam memperhatikan kami mendengkus sebal. "Kalau soal ini saja aku dilibatkan," gerutunya.
"Kamu terbaik, Rin!" seruku seraya tertawa melihat wajah tertekuk Arin. Lisna pun turut tertawa, yang kemudian menular juga pada Arin. Pada akhirnya kami tertawa bersama. Aku sangat bersyukur memiliki mereka di hidupku.
Seperti yang direncanakan siang tadi, selepas semua pekerjaan selesai dan menutup toko, kami bertiga pun pergi menuju kafe yang berada tidak jauh dari toko buku. Namanya
Gâteau Sucré et Café, yang mana artinya adalah kue manis dan kopi. Untuk sampai di sini, kami hanya perlu berjalan kaki ke sisi timur sekitar seratus meter, kemudian menyeberang dan sekitar dua toko di sisi kiri terpampang nama kafe ini.
Aku dan Lisna duduk di bangku dekat jendela, sementara Arin yang melakukan pemesanan di counter. Suasana kafe saat ini tidak seramai biasanya, mungkin karena masih weekdays. Tempat ini cukup terkenal di kalangan mahasiswa dan para pekerja kantoran. Selain konsep vintage European yang diusung, makanan manis dan minumannya juga lezat, terlebih harganya cukup bersahabat dengan kantong untuk kafe selevel ini. Sekitar lima menit kemudian, Arin datang menyusul kami.
"Pesanan seperti biasa, 'kan?" tanyanya begitu duduk di seberang Lisna.
Aku mengangguk. "Donat dan cappuccino cukup untukku."
"Kamu yakin tidak akan mengabari suamimu, Ke?" ujar Lisna tiba-tiba. "Dia pasti khawatir mencarimu, apalagi kamu tidak bawa ponsel ataupun dompet."
"Iya. Apa sih yang membuatmu sampai kabur segala? Dia menyakitimu? Apa perlu kita menghajarnya agar sadar?" timpal Arin yang tampak geram oleh sesuatu.
"Aku dan Arin memang belum menikah, Ke. Kami juga tidak berhak ikut campur urusan rumah tanggamu. Apakah kabur sungguh jadi jalan terbaik?"
Aku membisu mendengar apa yang baru saja dikatakan Lisna. Mendadak, aku jadi merasa malu sendiri dengan kelakuanku saat ini. Hanya karena fakta bahwa wanita yang memeluk Azka pagi tadi adalah adik dari seseorang yang akan menjadi istri pria itu jika saja hal buruk tersebut tidak terjadi, aku jadi bertindak impulsif begini.
"Iya, aku salah," ujarku menyesal.
Tangan Lisna bergerak menggenggam tanganku. "Kalau begitu, setelah ini kami akan mengantarmu pulang. Bicarakan baik-baik dengan suamimu. Dari apa yang kami lihat saat bertemu dengannya di pesta pernikahan kalian, dia orang yang baik."
"Meskipun aku mengakui kalau ekspresi datarnya itu menyebalkan, tapi dia juga bukan pria berengsek," imbuh Arin sembari menyandarkan punggungnya di kursi dan melipat tangannya di dada.
Aku mengembuskan napas lelah. Sekarang aku jadi semakin merasa bersalah. Apa yang sedang dilakukan Azka sekarang? Apa dia sungguh khawatir padaku? Apa dia mencariku? Apa dia—
"Sudah, jangan sibuk berasumsi. Setelah makan, aku dan Arin akan langsung mengantarmu pulang. Kami akan bantu menjelaskannya sedikit pada suamimu," ujar Lisna yang sepertinya paham isi kepalaku.
"Iya, kalau dia sampai memarahimu, aku akan balik memarahinya. Jangan khawatir," sahut Arin.
Mendengar apa yang dikatakan mereka, hatiku menghangat. "Terima kasih, my bestie!" seruku seraya menatap mereka haru.
Namun, mereka justru bereaksi seolah ingin muntah. Aku pun tertawa karenanya dan berakhir dengan kami yang tertawa bersama.
****
Langit sudah hampir gelap saat Arin dan Lisna mengantarku kembali ke rumah Azka. Begitu sampai, suasana begitu sepi. Mobil Azka yang terparkir di garasi menghilang, sepertinya pria itu sedang pergi karena begitu masuk ke rumah sama sekali tidak menjumpai batang hidungnya.
"Kenapa pergi tanpa mengunci pintu sih?" gerutuku saat memasuki ruang tamu.
"Kayaknya dia buru-buru deh," sahut Arin di belakangku.
"Buru-buru?" Aku tidak mengerti.
"Dia mungkin sedang mencari-cari kamu, Ke," timpal Lisna seraya menunjuk tumpukkan kardus barang-barang pindahan kami yang sama sekali belum berubah posisi di ruang tengah.
Melihat itu, aku mengembuskan napas berat. Rasa bersalah menyelimuti hatiku. Jika benar Azka pergi mencariku sampai tidak peduli dengan keadaan rumah, artinya aku sudah sangat merepotkannya dengan sikap impulsifku. Aku sangat keterlaluan.
"Mau kami bantu?" tawar Arin seraya menunjuk tumpukkan kardus itu dengan dagunya.
Aku tersenyum menatap kedua sahabatku. "Terima kasih banyak. Aku sayang kalian."
Arin memutar bola matanya malas, sementara Lisna langsung tertawa. Kemudian, kami pun segera bergerak membereskan barang-barang pindahanku tersebut. Sekitar tiga puluh menit, akhirnya pekerjaan kami pun selesai. Aku meminta Arin dan Lisna duduk dan beristirahat di ruang tengah, sementara aku membuat minuman dingin untuk mereka.
Dua gelas jus jeruk sudah tersaji di atas nampan, lalu saat aku sedang mencari makanan ringan untuk mereka di lemari kabinet, tiba-tiba saja seseorang memelukku erat dari belakang. Aku yang tidak siap pun sempat terhuyung karenanya.
"Azka!" seruku begitu menyadari siapa pelakunya.
Pria itu akhirnya melepaskan pelukannya, kemudian memutar tubuhku agar menghadap padanya. "Kamu ke mana?" Azka bertanya sembari melayangkan tatapan tajam padaku.
Aku menelan ludah gugup, kemudian melemparkan pandangan ke mana pun asal bukan padanya. "A-aku ... hanya jalan-jalan."
"Ke mana?" tegas Azka lagi.
Aku mendesah pasrah. "Maaf, setelah berkeliling kompleks aku pergi ke toko buku, lalu bekerja sebentar. Setelah menutup toko, aku, Lisna, dan Arin pergi ke kafe sebentar sebelum mereka mengantarku pulang," jelasku tanpa berani mengangkat kepala untuk melihat Azka. Mendengar Azka mengembuskan napas berat, membuat rasa bersalahku semakin bercokol.
"Ini salahku, maaf," ujarku lagi.
Tiba-tiba tangan Azka bergerak untuk mengangkat daguku, sehingga kini aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi pria itu. Meskipun tidak banyak yang dia tunjukkan, tetapi aku bisa melihat kekhawatiran yang terpancar dari kedua iris hitamnya.
"Jangan pernah seperti ini lagi, oke?" ujarnya yang langsung kubalas dengan anggukkan patuh.
"Janji?" katanya lagi dan aku kembali mengangguk.
"Good girl," ujar Azka kemudian mengecup bibirku dengan cepat.
Mataku sontak melotot, kaget dengan apa yang baru saja pria itu lakukan. Meskipun hanya sepersekian detik, tetapi jejak yang ditinggalkan mampu membuat jantungku berdebar sangat kencang. Belum sempat memproses semua yang terjadi, Azka sudah kembali mendaratkan bibirnya di bibirku. Saat itulah, aku mendengar teriakan dari ambang pintu sehingga buru-buru menjauhkan diri dari Azka hingga terlepas.
"Maaf, kami cuma mau izin pulang!" seru Arin yang kini langsung bergegas menarik Lisna menjauh dari pintu dapur.
Gila! batinku menjerit begitu menyadari apa yang terjadi. Rasa panas tiba-tiba saja menjalar di kedua pipiku.
"A-aku a-antar mereka pulang dulu," ujarku cepat, buru-buru menyusul kepergian Arin dan Lisna—kabur secepat mungkin dari Azka karena telanjur malu dengan apa yang baru saja terjadi di antara kami.
Itu ciuman pertamaku, ya Tuhan!
TBC
Dita Xian
29 September 2021.