tinatangi
(noun) special someone
****
Terkadang kita tidak menyadari
eksistensi istimewa dari seseorang,
sampai kita kehilangannya.
****
"Terima kasih atas kunjungannya," ujarku pada salah seorang pengunjung usai memberikan uang kembalian.
Gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu itu balas tersenyum dan mengangguk, sebelum pergi meninggalkan toko bersama temannya. Aku menghela napas lega, akhirnya keadaan toko sudah tidak sesibuk tadi dan sekarang aku bisa sedikit istirahat. Aku menoleh ke arah Arin yang tengah menata buku-buku baru ke rak. Tidak bisa kubayangkan bahwa selama aku mengambil cuti, dia mengerjakan semuanya sendiri di saat toko seramai tadi. Merasa tidak enak hati, aku pun bergerak untuk membantunya.
"Jadi, selama aku cuti kalian mengerjakan semua sendiri meski seramai tadi?" Aku melempar pertanyaan pada Arin sembari menyusun buku-buku baru ke raknya.
Arin tertawa. "Ya, bagaimana lagi, 'kan? Tenang saja, kami bisa handle itu kok!"
"Menurutmu apa perlu aku menambahkan karyawan lagi?" tanyaku pada Arin berusaha meminta pendapatnya. Mengingat jika keadaan toko selalu ramai begini pasti akan sangat kewalahan, belum lagi soal pembagian jam kerja. Sepertinya aku harus lebih mengoreksi lagi di beberapa hal mengenai sistem toko ini.
Arin menghentikan kegiatannya dan menoleh padaku. Dia mengetuk dagunya dengan telunjuk, seolah tengah mempertimbangkan usulku. "Sebenarnya aku dan Lisna masih sanggup sih, cuma memang kalau terus-terusan ramai seperti tadi kinerja kami jadi sedikit menurun."
"Kenapa kalian tidak bilang padaku soal itu? Kalau tahu lebih awal, aku pasti akan mencari karyawan tambahan supaya kalian tidak keteteran. Kamu juga pasti sibuk sekali dengan jadwal kuliah yang sudah masuk semester akhir," ujarku sedikit kesal dengan diriku sendiri yang kurang becus mengurus toko.
Arin terkekeh, bahkan kali ini gadis itu tidak segan untuk menyentil keningku pelan. "Kau 'kan pengantin baru, mana mau kami mengganggu kalian," ujarnya diiringi dengan kedipan genit.
Aku mendengkus sebal mendengar godaan Arin yang tidak rampung juga sejak pagi. Terlebih saat gadis itu melihatku diantar kemari oleh Azka, juga adegan saat aku berpamitan pada Azka dengan mencium tangannya yang dihadiahi balasan ciuman di kening. Hal itulah yang membuat Arin tidak berhenti untuk terus menggodaku.
Pagi tadi setelah selesai sarapan, tiba-tiba Azka mendapatkan telepon darurat dari rumah sakit yang memintanya untuk segera datang. Azka pun mau tidak mau harus mengorbankan masa cutinya, mengingat ada nyawa pasien yang dipertaruhkan. Jadilah, daripada aku kebosanan di rumah sendiri, aku pun izin untuk berangkat ke toko saja. Azka tidak melarang, asal dia sendiri yang mengantarku ke toko seperti pagi tadi.
"Ya sudah, nanti aku akan membuat informasi lowongan kerja untuk karyawan baru. Kalian tidak masalah, 'kan?" Aku menatap Arin serius, sekaligus berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku tidak masalah, Lisna pun sepertinya sependapat. Bisa kita diskusikan lagi nanti."
Aku mengangguk setuju. Setelahnya, kami pun sibuk merapikan dan menambah beberapa buku sembari berbincang ringan. Kemudian menuju jam makan siang, toko kembali didatangi beberapa pengunjung yang kebanyakan adalah siswa sekolah menengah. Mungkin karena musim ujian sudah tiba. Hal ini juga membuatku terinspirasi soal ide baru mengembangkan toko buku yang nyaman untuk semua kalangan.
Ketika jam makan siang tiba, toko kututup sementara agar aku dan Arin bisa istirahat dan makan siang dengan tenang. Aku memesan bakso, sedangkan Arin lebih memilih ayam geprek super pedas. Untuk menghilangkan stres katanya. Namun, kegiatan makan siang kami harus mendapat interupsi saat pintu toko tiba-tiba terbuka meski sudah kami pasang papan tutup sementara. Lalu, hal yang membuatku sangat terkejut adalah karena yang datang Lisna bersama Reikhan. Keduanya tampak lebih dekat daripada biasanya. Apa ada sesuatu yang aku lewatkan tentang mereka?
Kudengar Arin berdeham cukup keras untuk menggoda Lisna yang sekarang terlihat salah tingkah. Bahkan wajahnya tampak memerah karena malu. Sesuatu yang entah mengapa terasa begitu mengusik ketenanganku. Padahal, seharusnya bukan masalah jika Reikhan dan Lisna dekat. Terlebih aku juga tahu bagaimana perasaan Lisna pada Reikhan, hanya saja ..., mengapa rasanya berat untukku melihat mereka bersama?
"Kean? Kenapa kamu berangkat? Bukankah masih ada cuti dua hari lagi?" seru Lisna, tahu-tahu dia sudah duduk di sampingku.
Tersadar dari piciknya pikiranku, aku menanggapi Lisna dengan senyuman. Mendadak aku merasa seperti tokoh jahat dalam sebuah cerita, begitu egois dan munafik. Bagaimana mungkin aku berpikir tidak rela jika Reikhan berakhir dengan Lisna, sementara aku sendiri sudah menikah. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan agar tidak disadari oleh mereka.
"Suaminya harus kerja lagi, jadi daripada bosan di rumah dia ke sini. Kalau saja kamu apa yang tadi pagi kulihat!" sahut Arin, dengan begitu semangat dia menceritakan kembali kejadian yang dilihatnya pagi tadi.
Aku mendengkus kesal, lalu tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan Reikhan yang sudah duduk di seberangku, tepat di sebelah Arin. Sejenak, aku sama sekali tidak dapat memahami jenis tatapan Reikhan padaku saat ini. Kemudian seulas senyum dia tampilkan membuatku sedikit kikuk.
"Kalau kamu dan Reikhan sendiri bagaimana, Lis?" tanyaku seraya menatap Lisna menyelidik.
Lisna terlihat sedikit gelagapan, wajahnya kembali bersemu merah. "Ta-tadi tidak sengaja bertemu di jalan," jawabnya, "aku beres-beres dulu, ya? Kalian lanjutkan makan saja."
"Kabur dia!" ujarku sembari terkekeh sendiri melihat Lisna yang sudah bergerak memakai rompi toko dan memulai pekerjaannya.
Arin juga tertawa melihat Lisna yang salah tingkah. Sayangnya, kode sejelas ini saja tetap tidak membuat Reikhan peka. Lihat saja bagaimana pria itu masih duduk tenang seolah tidak ada yang terjadi dan malah menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti.
"Aku pergi dulu." Reikhan akhirnya buka suara. Dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiriku. "Syukurlah kamu sudah baik-baik saja."
Tepat setelah mengatakan itu, tangan besarnya mengusap kepalaku dengan lembut. Sejenak, aku merasa waktu seolah berhenti. Namun, aku segera menampar diriku dengan realitas yang ada. Aku tidak boleh egois.
Aku tersenyum. "Terima kasih."
Ya, terima kasih untuk selalu ada di sampingku dan menolongku, Reikhan Fatkhurrozi. Sahabatku.
****
Aku menatap bangunan dua lantai di hadapanku. Setelah menempuh perjalanan panjang selama kurang lebih dua setengah jam dari toko, akhirnya mobil yang kutumpangi ini sampai di tempat tujuan. Tidak pernah kusangka kalau keluarga Husein adalah keluarga seterpandang ini. Melihat tempat tinggal mereka yang berada di kawasan elite, rumah yang besar dan megah dua lantai dengan halaman luas, sudah pasti mereka bukan dari kalangan biasa. Beberapa mobil mewah tampak terparkir di garasi, menandakan tamu yang datang malam ini juga bukan dari keluarga biasa.
"Ayo turun."
Aku menoleh, menatap Azka yang kini juga tengah menatapku. Setelah menutup toko sore tadi, Azka datang menjemputku. Kemudian dia mengabarkan bahwa hari ini keluarga besarnya ingin bertemu denganku dan mengadakan acara makan malam bersama di rumah orang tuanya. Tentu saja aku sempat menolak karena begitu mendadak dan aku tidak mempersiapkan diri. Selain itu, mengingat ibu mertua yang terlihat tidak menyukaiku meski bukan secara terang-terangan membuatku semakin enggan. Namun, aku juga tidak ingin dicap sebagai menantu yang tidak punya sopan santun karena menolak hadir di acara keluarga. Jadi, akhirnya aku pun setuju hadir. Aku mengembuskan napas pelan karena kegugupan yang tiba-tiba melanda. Ini akan menjadi bencana kalau aku tidak bisa menahan kegugupan dan mengakibatkan penyakit sialan itu kambuh.
"Apa sungguh tidak apa-apa seperti ini?" tanyaku pada Azka. Aku khawatir oleh banyak hal, apalagi penampilanku yang tidak sempat untuk berganti pakaian dan merapikan diri. Bahkan aku hanya membeli kue sebagai buah tangan di perjalanan tadi.
Azka mengangguk. "Kamu tetap cantik."
Entah bagaimana kalimat yang dilontarkan Azka meskipun tanpa ekspresi itu tetap mampu mengundang semu di kedua pipiku. Aku segera membuang muka demi menghindari tatapannya dan menyembunyikan reaksiku atas kalimatnya barusan.
"Bukan itu maksudku, tapi ... apa kita bisa tidak ikut saja?" Kedua tanganku saling menggenggam erat, menahan kekhawatiran-kekhawatiran yang mulai bermunculan. Aku menggigit bibir bawah untuk menghilangkan kegugupan, sayangnya hal itu sama sekali tidak berguna. Makin aku pikirkan, rasanya makin membuat gelisah dan takut. Bagaimana kira-kira keluarga Azka akan memandangku? Ibunya sendiri terlihat tidak menyukaiku sejak awal. Bagaimana jika aku tidak bisa bersikap baik? Bagaimana jika kehadiranku ditolak? Dibuang? Tidak diharapkan? Bagaimana jika .... Tiba-tiba seseorang menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya. Aku tahu pasti siapa itu, hanya saja aku tidak menyangka akan mendapatkan seulas senyuman juga dari wajahnya yang selama ini terlalu irit berekspresi. Sungguh hal yang sangat tidak kuduga.
"Semua akan baik-baik saja. Ada aku di sini, oke?" ujar Azka seolah tahu apa yang aku takutkan saat ini.
"Tapi—"
"Kita tidak akan lama, hanya makan malam. Setelah itu kita langsung pulang jika kamu merasa tidak nyaman."
Mendengar bujukan itu, akhirnya aku mengangguk. Kali ini sedikit merasa lebih tenang. Setidaknya ada Azka, jadi aku tidak akan dikucilkan bukan? Setelah berdiam diri cukup lama untuk menenangkan hati, akhirnya aku segera turun dari mobil menyusul Azka yang sudah turun terlebih dahulu, kemudian menyejajarkan diri di sampingnya.
"Jangan meninggalkanku sendiri di sana, ya?" pintaku. "Aku ... sedikit sulit bersosialisasi."
Azka kembali menunjukkan senyuman menenangkannya, tangannya bahkan beralih menggandeng erat tanganku yang bebas, karena sebelah tangan kugunakan untuk menenteng kotak kue sebagai buah tangan. Untuk pertama kalinya, aku memberanikan diri menatap Azka langsung di matanya demi mencari kesungguhan di sana kalau-kalau pria ini tidak akan bohong atau ingkar.
"Semua akan baik-baik saja, tidak menakutkan seperti yang kamu pikirkan," ucapnya meyakinkan.
Aku mengangguk pelan. Selanjutnya aku hanya bisa pasrah saat Azka menggandeng diriku memasuki rumah. Sebelum masuk, aku kembali mengembuskan napas pelan untuk menenangkan diri. Tenang Kean, semua akan baik-baik saja, batinku, berusaha meyakinkan diri.
"Assalamualaikum," sapaku berbarengan dengan Azka saat menginjakkan kaki di ruang tamu yang besar ini.
"Wa'alaikum salam."
Sahutan salam dari ruang tengah terdengar cukup ramai, membuat jantungku semakin berdebar gugup. Kupikir tidak ada orang, melihat ruangan ini kosong. Namun, sepertinya semua orang berkumpul di ruang tengah. Aku belum pernah bertatap muka langsung dengan keluarga besar Azka selain orang tuanya. Seolah mengerti kegugupanku, Azka mengeratkan genggamannya di tanganku. Kami pun segera melangkah masuk ke ruang tengah, saat itulah mataku menangkap begitu banyak orang yang sedang duduk-duduk sambil bersenda gurau, sebelum beberapa detik setelahnya pandangan mereka semua tertuju ke arah kami. Lalu, yang paling membuatku tidak menyangka adalah kehadiran wanita yang sepertinya tidak asing lagi untukku. Wanita dengan gaun bunga-bunga berwarna biru pastel yang tadi tengah bergurau dengan ibu, wanita yang berhasil mengembalikan memoriku tentang hari pertama kepindahanku ke rumah Azka.
Renata. Dia juga ada di sini.
TBC
Dita Xian
Banjarnegara, 5 Oktober 2021.