Chereads / Timeless Love: Benang Takdir / Chapter 13 - Bab 10 - Whelve

Chapter 13 - Bab 10 - Whelve

whelve

(verb.) to bury something deep; to hide

****

Terkadang,

beberapa hal yang terjadi lebih baik tetap menjadi rahasia.

Terkubur dalam daripada terkuak menyakitkan.

****

Setelah Lisna dan Arin memilih pulang, suasana canggung di antara aku dan Azka tidak dapat dihindari lagi. Aku terus mencoba menghindar, tetapi pada akhirnya aku harus menyerah dan berakhir dengan kami yang duduk bersama menonton televisi. Tayangan drama Korea yang biasanya amat kusukai, saat ini sama sekali tidak dapat mengusir ketidaknyamananku. Aku melirik Azka yang duduk tenang di sampingku. Matanya memang tertuju pada kotak ajaib di hadapan kami, tetapi aku yakin pikirannya sedang tidak berada di sini.

Aku berdeham. "Kamu yakin akan menonton drama ini?" tanyaku berusaha memecahkan kebekuan di antara kami.

Tatapan Azka kali ini terarah padaku. "Ya," sahutnya singkat. Raut wajahnya menegaskan bahwa dia sama sekali tidak terganggu atau risi.

Aku hanya mengangguk, lalu kembali mengalihkan fokus pada televisi yang menampilkan adegan di mana seseorang dari masa lalu si tokoh pria kembali hadir di kehidupannya, mengguncang hubungan yang baru saja membaik di antara kedua tokoh utama. Kini ketiganya terjebak dalam alur percintaan yang rumit. Mengapa rasanya drama ini tengah menyindir hidupku meski dengan sedikit berbeda, ya?

"Apa ... aku boleh menanyakan sesuatu?" Telapak tanganku saling bertautan, sedikit ragu apakah ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan hal yang mengganggu pikiranku saat ini.

"Silakan."

Mendengar Azka yang menjawabku tanpa ragu sedikit membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa seyakin itu dan memberikanku izin untuk menanyakan hal yang mungkin saja ..., aku membuang napas berat saat sesak itu kembali menekan dadaku. Aku menatap Azka yang ternyata juga tengah menatapku. Dia tampak begitu tenang, air mukanya tidak terbaca, pun tatapan matanya. Meskipun memberikan izin padaku untuk bertanya, sepertinya dia tidak memberikanku izin untuk menyelami dirinya.

"Tolong berikan alasan kenapa kamu menikahiku." Aku menatapnya lurus di mata. "Jangan mengelak lagi. Aku perlu kejelasan."

Setelah beberapa menit hanya diam saling bertatapan, Azka menyerah lebih dulu. Pria itu membuang pandangan kembali ke depan. Apa ini artinya sungguh ada sesuatu yang dia sembunyikan? Apa ..., aku tersenyum miris. Mungkin dugaan terburukku benar adanya.

"Sepertinya aku tahu jawabannya," seruku, membuat Azka kembali menoleh padaku.

"Aku belum—"

"Aku sudah mengantuk, aku tidur duluan."

Setelah mengatakan hal itu aku segera bangkit, melarikan diri menuju kamar. Aku sempat mendengar Azka menyerukan namaku, tetapi untuk saat ini sepertinya aku yang tidak siap untuk menghadapi kebenarannya. Tubuhku luruh begitu pintu kamar berhasil kututup. Air mata melesak begitu saja oleh sesuatu yang tidak kutahu apa sebabnya. Aku membungkam mulutku, menahan isak tangis yang mungkin saja akan keluar. Rasanya begitu menyakitkan, seolah ada pedang yang menusuk-nusuk hatiku.

"Re-Reikhan ...," bisikku lirih, sebelum aku merasakan tubuhku seperti melayang dan kegelapan menyelimutiku.

****

Aku terbangun di sebuah tempat gelap yang asing. Sepanjang mata memandang hanya ada gelap dan hitam. Dinginnya begitu menusuk kulit dan aku sama sekali tidak bisa bersuara, seolah segalanya tenggelam dalam kesunyian. Ke mana pun kakiku melangkah mencari jalan keluar atau seseorang, hanya ada gelap dan kesendirian yang kutemukan. Rasanya begitu menyesakkan, aku seperti terjebak dalam sebuah kotak tanpa jalan keluar.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi padaku? Apa aku sudah mati?

Meskipun berpikir demikian, aku sama sekali tidak menemukan jawaban. Bahkan aku tidak ingat apa yang membuatku sampai harus terjebak di tempat gelap ini. Begitu membuka mata yang kulihat hanya hitam dan sunyi. Aku juga sama sekali tidak dapat mendengar suara detak jantungku sendiri. Jika memang aku sudah mati, mengapa aku malah terjebak di tempat seperti ini?

Aku memeluk diriku sendiri, menghalau dingin yang semakin menusuk. Tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu, tetapi tidak ada cahaya sedikit pun yang datang menemukanku. Mungkin aku memang akan berakhir seperti ini. Yang mampu kulakukan saat ini hanya duduk diam dalam kepasrahan. Aku tidak akan mengharapkan apa pun. Aku akan membiarkan diriku melebur bersama kegelapan dan kehampaan tempat ini. Sepertinya memang itulah yang terbaik. Toh, aku tidak memiliki apa pun. Biarkan saja ....

Baru berpikir demikian, sesuatu seolah menarik tubuhku dengan begitu tepat. Membawaku berpindah ke suatu tempat yang entah di mana. Kemudian cahaya yang begitu terang menghantamku dengan begitu keras, bersamaan dengan munculnya kebisingan yang menyapa indra pendengaranku. Makin lama suara itu makin terdengar jelas, isak tangis dari seseorang. Juga suara-suara yang memanggil namaku. Aku ingin membuka mata dan menyahut, tetapi begitu sulit. Cahaya itu begitu menyilaukan mata dan suaraku belum juga kembali.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi padaku? Apakah untuk mati juga sesulit ini?

****

Aku tersentak dalam tidur, begitu membuka mata yang pertama kali kulihat adalah langit-langit rumah berwarna putih. Perlu waktu beberapa menit untukku memproses semua yang terjadi, sampai aku menyadari terbangun di sebuah kamar asing. Hampir saja aku berteriak panik andai saja tidak menemukan sebuah foto di dinding. Di sana ada diriku yang mengenakan gaun berwarna putih, tangan kiriku memegang buket bunga lili putih, sementara tangan kananku menggandeng lengan seorang pria dengan setelan putih. Aku tersenyum lebar ke arah kamera, seolah begitu bahagia. Lalu, pria itu hanya menampilkan seulas senyum. Saat itulah rentetan ingatan mengenai pernikahan dan pindah rumah muncul kembali.

Aku menghela napas panjang dan memijit pelipis, kepalaku mendadak sakit saat memori-memori itu bermunculan kembali secara acak. Sepertinya sesuatu—yang tidak kuingat apa—telah terjadi hingga aku kembali mengalaminya. Namun sekeras apa pun aku mencoba menggali memori penyebabnya, aku tidak dapat mengingatnya.

Hal ini kerap terjadi semenjak aku mengalami kecelakaan dua tahun lalu, yang membuatku juga harus kehilangan ingatan masa laluku. Tidak seluruhnya, tetapi cukup banyak kurasa. Pasalnya sampai sekarang, mungkin hanya 45% ingatan masa laluku yang kembali. Sisanya benar-benar sulit untuk diingat. Semakin aku memaksa, maka semakin kepalaku terasa sakit.

Jam digital di nakas menunjukkan pukul 5.35 pagi. Pantas saja pria itu ... Azka, ya, pantas saja Azka sudah tidak ada di tempat. Sembari mengumpulkan ingatan yang terpencar, aku segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan sekaligus menenangkan diri. Sekitar empat puluh menit, aku sudah rapi dengan kaus merah muda bergambar kucing dan rok selutut bermotif kotak-kotak monokrom. Rambut panjangku hanya kuikat menjadi satu, menyisakan anak rambut di sekitar dahi. Setelahnya aku segera pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Sesampainya di dapur, aku malah dikejutkan dengan kehadiran Azka yang tengah sibuk berkutat dengan kompor dan beberapa bahan makanan di sana.

"Azka?"

Seruan spontanku barusan langsung menarik perhatian Azka. Pria yang tengah mengiris jamur itu seketika menoleh. Tatapan kami bertemu. Sekilas, aku merasakan iris gelapnya tampak melebar karena terkejut.

"Sudah bangun?" tanyanya dengan ekspresi datar yang tidak berubah dari ingatanku tentangnya terakhir kali.

Aku tersenyum sungkan dan mengangguk, kemudian menghampirinya. "Tidak ke masjid?" tanyaku, mengingat saat di rumahku waktu itu Azka pulang dari masjid sekitar pukul enam pagi. Saat ini aku cukup terkejut mendapatinya tengah berkutat di dapur.

"Sudah. Setelah salat langsung pulang," jawabnya lalu kembali sibuk memotong jamur di hadapannya. "Duduk saja, biar aku yang menyiapkan sarapan."

"Aku ingin membantu, apa ada yang bisa kulakukan?" tanyaku lalu mengambil posisi di sampingnya.

Sejenak Azka terlihat seperti mematung, sebelum dia memintaku untuk mencuci brokoli dan wortel lalu memotongnya. Tanpa banyak bicara aku segera melakukannya. Jika boleh jujur, saat ini aku tidak begitu ingat banyak hal tentang pria itu. Selain itu, aku juga ingin bertanya tentang apa yang terjadi padaku semalam. Namun, entah mengapa hal itu rasanya amat berat untuk kusuarakan.

Aku menatap Azka yang saat ini tengah sibuk menyiapkan wajan. "Aku baru tahu, ternyata kamu bisa memasak," ujarku berusaha membuka percakapan.

Azka tidak langsung menjawab, pria itu terlihat kembali mematung beberapa detik setiap kali aku berbicara. Aneh, apa yang terjadi sebenarnya?

"Aku tinggal sendiri selama kuliah, jadi mau tidak mau harus memasak sendiri agar lebih hemat," jelasnya sembari menggoreng nugget ayam yang sejak tadi dia siapkan.

Aku tersenyum lebar, sedikit tidak menyangka karena Azka mau merespons ucapanku. Dia tidak sedingin ingatanku terakhir kali dan ini membuatku bersyukur. Selesai mencuci, aku pun segera bergerak ke sisi Azka untuk memotong sayurannya.

"Apa kuliah kedokteran itu menyenangkan? Aku tidak terlalu ingat bagaimana masa kuliahku, tapi sepertinya kuliah bukan tempatku hingga waktu itu memilih berhenti," ujarku sembari tersenyum masam mengingat latar belakang pendidikanku yang berakhir buruk. "Apa kamu tidak malu memiliki istri tidak berpendidikan sepertiku?"

"Kenapa harus malu?"

Aku menoleh pada Azka dan mendapati pria itu juga tengah menatapku. "Karena kamu seorang dokter dari keluarga terpandang, sementara aku hanya orang biasa dari keluarga yang biasa juga. Mungkin kamu bisa diejek rekan kerja nanti." atau bahkan keluarga besarmu sendiri, lanjutku dalam hati.

"Keandita."

Mendengar namaku dipanggil seperti itu, aku pun menarik kedua sudut bibirku, mencoba tersenyum lebar mendapati Azka yang sepertinya tidak menyukai perkataanku tadi.

"Aku menikahimu bukan demi status ataupun pujian orang hanya karena latar belakang. Jadi, berhenti membandingkan dirimu seperti itu," ujar Azka begitu yakin dan tegas, hingga alis tebalnya sedikit menukik.

Kalau begitu karena apa? Perjodohan? Paksaan? Atau ... hanya karena kasihan?

Aku tersenyum kecil, menyembunyikan apa yang kupikirkan saat ini, lalu kembali menekuri pekerjaanku memotong wortel yang terakhir. "Jadi, kita mau masak capcai atau tumis jamur saja?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

Kudengar, Azka membuang napasnya. Entah apa artinya itu, mungkin lelah menghadapiku.

"Aku ingin masak tumis jamur," sahutnya lalu kembali sibuk dengan kegiatan menggorengnya yang sempat tertunda tadi.

"Siap, Pak Dokter!"

****

"Kean!"

Sebuah seruan menyentakku dari kemenungan. Saat menoleh, aku mendapati sosok Reikhan berlari ke arahku dengan tatapan tajamnya.

"Kenapa menungguku di sini? Seharusnya tadi langsung menemuiku saja!" serunya begitu berhenti tepat di hadapanku yang duduk di ruang tunggu. Dia bahkan tidak sempat mengatur napas, sepertinya Reikhan amat buru-buru menghampiriku.

Aku tersenyum, menarik pria itu untuk duduk di sampingku agar lebih tenang. Meskipun sudah tidak banyak orang di rumah sakit ini, tetap saja aku tidak mau menjadi pusat perhatian.

"Aku tidak mau mengganggumu yang sedang bekerja," ujarku.

Reikhan membuang napasnya kasar. "Tapi kamu juga tidak harus menungguku dari siang tadi. Kalau saja Nia tidak mengatakannya padaku, mungkin aku akan lebih lama lagi."

"Tidak apa-apa, aku hanya tidak mau sendirian di rumah."

"Sendirian?"

Aku mengangguk. "Azka mendapat panggilan darurat dari rumah sakitnya. Jadi, daripada di rumah sendirian, lebih baik di sini."

"Apa terjadi sesuatu?" Tatapan Reikhan tampak menyelidik.

"Tidak, kok. Kami baik-baik saja."

"Maksudku kamu, Ke. Apa terjadi sesuatu?" desak Reikhan seraya memegang kedua bahuku.

Melihat kekhawatiran yang begitu nyata dari kedua mata cokelat Reikhan, hatiku jadi sakit. Namun, hanya dia yang bisa membantuku untuk ini meskipun aku tidak ingin membuatnya khawatir padaku. Aku menunduk, tidak sanggup melihat ekspresi Reikhan saat ini.

"Hal itu ... terjadi lagi. Aku ... tidak ingat beberapa hal setelah mimpi itu."

Setelah mengatakan itu, Reikhan langsung membawaku ke dalam dekapannya. Dia selalu tahu tanpa perlu aku menunjukkannya. Tangannya yang hangat mengusap punggungku, kehadirannya membuatku tenang. Ketakutan yang sejak pagi kusembunyikan, saat ini menguar dalam lindungan Reikhan. Seseorang yang paling memahamiku saat ini.

"Aku ada di sini. Aku di sini," ujarnya, yang kubalas dengan pelukan yang sama erat.

Aku sangat ketakutan.

TBC

Dita Xian

Banjarnegara, 4 Oktober 2021.