Ineluctable
(adj.) unable to be resisted or avoided; inescapable.
****
Ketika sesuatu tak lagi mampu dihindari,
menerjangnya sekuat asa, atau
binasa.
****
Angin berembus lembut membelai beberapa anak rambutku yang mencuat. Langit tampak begitu gagah dengan kepekatannya. Suara kendaraan di jalanan hanya sesekali terdengar, sementara langkah manusia sudah tidak seramai sore tadi. Dalam keheningan malam ini, aku duduk sendirian di salah satu bangku taman rumah sakit. Setelah rentetan kejadian yang begitu tiba-tiba, aku memerlukan waktu sendiri untuk mengembalikan kewarasanku.
Aku menatap dedaunan yang melambai diterpa angin. Sesuatu yang datang tanpa bisa dicegah seperti itu ..., tidak ada cara lain selain bertahan menghadapinya. Embusan napas berat terlontar begitu saja dari mulutku. Aku memijat pangkal hidung, kepalaku menjadi semakin pening oleh berbagai pikiran yang kian berkecamuk. Andai saja Reikhan ada di sini ....
Aku terkesiap saat merasakan sesuatu melingkupi bahu dan punggungku, menepis hawa dingin yang sejak tadi setia menemani kesendirianku. Ketika mendongak, seorang pria jangkung tanpa ekspresi menjulang di belakangku.
"Terima kasih," ujarku seraya merapatkan jaket hitam besar yang kini menyelimutiku. Aroma mint bercampur citrus menyegarkan indra penciumanku, sedikit mampu meredakan gejolak di kepalaku. Setelahnya aku kembali membuang pandangan pada dedaunan di depan. Saat ini aku sama sekali tidak ingin bertengkar atau berdebat, jadi kubiarkan saja pria itu melakukan apa pun sesukanya. Aku sudah sangat lelah.
Tanpa diduga, pria itu mengambil duduk di sisi kananku. Setelahnya, kami hanya duduk diam, terlarut dalam pikiran masing-masing. Sampai kemudian aku mendengar embusan napas pelan dari sisiku. Aku menoleh dan mendapati gurat lelah tampak jelas di sisi wajah tegas pria itu.
"Kenapa kamu memilih melamarku, padahal ada banyak wanita yang lebih baik di luar sana. Dan aku juga yakin ada banyak di sekitarmu." Aku mencoba membuka suara, selain itu, sepertinya ini adalah kesempatan yang bagus untuk mengobrol dengannya dan mendapatkan kejelasan.
Azka, pria itu menoleh dan menatapku tepat di mata. Meskipun hanya ada sedikit cahaya yang menyorot ke arah kami, tetapi dari jarak ini aku dapat melihat dengan jelas garis wajahnya. Matanya yang sipit dan beriris gelap itu menatapku lurus. Hidungnya terpatri tegas dan indah, garis rahangnya tegas, dan bibir tipisnya itu tampak agak kemerahan. Alisnya yang tebal menukik indah, menambah karisma dari sosoknya yang—selalu—sedikit berekspresi melalui wajah.
Jakunnya naik turun, kemudian dia membuang muka menghindariku. "Haruskah aku jawab?"
Aku mendengkus kesal. "Tidak. Aku rasa aku sudah tahu jawabannya."
Azka kembali menoleh padaku, kali ini dahinya sedikit terlipat. Sepertinya dia tertarik untuk tahu lebih lanjut maksud dari kalimatku barusan.
"Tentu saja kamu pasti sudah gila karena hanya kamu yang bersikeras ingin memperistri orang gila sepertiku," ujarku dengan sarkasme, tidak peduli lagi dengan bagaimana pria itu akan memandangku. Jika hal ini membuatnya memutuskan untuk membatalkan pernikahan kami, bukankah itu juga baik?
"Kamu menerima lamaran itu demi ayahmu?"
Aku tertawa sumbang mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba, tetapi kemudian aku mengangguk. "Ya, demi Ayah. Ayah ingin sekali melihatku menikah denganmu dan hidup bahagia. Kamu keberatan?"
"Tidak," jawab Azka tanpa ragu, "aku yang menjanjikan hal itu pada ayahmu, meskipun mungkin tidak selalu bisa membuatmu bahagia, tapi aku akan berusaha semampuku."
Bahaya. Aku tidak pernah menduga seorang pria seperti Azka yang bicara seperlunya, kini mengucapkan kalimat paling panjang yang pernah aku dengar. Belum lagi dia mengatakan itu semua dengan penuh kesungguhan—tanpa ragu. Sekarang, jantungku berdebar hebat oleh kejutan yang dia berikan.
Buru-buru aku membuang pandangan pada kegelapan di depan sana. Tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Meskipun begitu, aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku? Bukankah di dunia ini tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan?
"Kuharap, kamu tidak akan menyesal," ujarku kemudian bangkit dan pergi meninggalkan pria itu.
Ya, kuharap dia tidak akan menyesal memasuki kehidupanku.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika aku sampai di rumah sakit. Sejak Ayah masuk rumah sakit, toko buku hanya dibuka sampai sore. Untungnya Lisna dan Arin dapat memahami keadaanku, sehingga mereka dengan senang hati membantuku mengurus permasalahan di toko. Setelah dirawat intensif selama satu minggu penuh, kondisi Ayah sudah mulai membaik. Dari kabar yang diberikan Klara siang tadi, ada kemungkinan kalau Ayah bisa pulang besok.
Dengan langkah yang terasa sedikit lebih ringan, aku berjalan menuju ruang rawat Ayah sembari membawa sekeranjang buah. Suasana hati yang baik membuatku tanpa sadar bersenandung sepanjang jalan. Kemudian saat tinggal beberapa langkah untuk sampai di depan pintu, seseorang yang aku rindukan keluar dari ruangan Ayah.
Kami saling terpaku di tempat begitu menyadari keberadaan masing-masing. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya, sinar mata yang biasanya menyorot hangat itu juga menghilang. Aku bahkan sangat menyadari, kalau dia berusaha menjauh dariku sejak saat itu. Sekarang, aku tidak tahu harus bagaimana.
"Sudah datang?" tanya Reikhan disertai senyuman yang kutahu sangat dipaksakan.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Meskipun sejujurnya ada banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, tetapi semua kalimat itu hanya mampu tertahan di tenggorokan. Tidak tahu berapa lama kami hanya diam saling memandang di tempat masing-masing, sampai kemudian pria yang kini mengenakan pakaian santai itu berjalan menghampiriku dan tangannya bergerak menyapu wajahku. Saat itulah aku baru tersadar bahwa air mata diam-diam membasahi pipi.
"Jangan menangis," ujar Reikhan tepat setelah menghapus jejak air mataku. "Maaf."
Aku tidak mengerti untuk apa kata "maaf" yang dia ucapkan. Namun saat itu, air semakin merembes dari sudut mataku. Kemudian, kurasakan seseorang merengkuhku dalam pelukannya. Tangannya yang hangat bergerak mengusap kepalaku dengan lembut. Aku sangat merindukannya.
"Maafkan aku, Ke," bisiknya lagi sembari mengeratkan dekapannya. "Aku memerlukan waktu."
"Jangan pergi." Hanya satu kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku sekarang. Di antara ribuan hal yang ingin aku luapkan, satu hal tersebut yang sangat aku takutkan.
"Aku selalu di sini. Aku tidak pergi," sahut Reikhan.
Baru saja hendak membalas pelukan, suara dehaman yang cukup keras itu membuatku dengan spontan memisahkan diri dari Reikhan. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang pria dengan jas putih tengah memandang kami dengan tatapan datarnya. Sebuah stetoskop hitam juga mengalung di lehernya. Dia berdiri tepat di depan pintu masuk ruang rawat Ayah.
"Az ... ka?" gumamku lirih, tidak menyangka akan mendapati kehadiran pria itu juga saat ini.
Sentuhan hangat Reikhan di wajahku membuatku seketika mendongak dan mengalihkan perhatian padanya. Sebuah senyuman hangat terlukis indah di bibirnya, hingga memunculkan lekukan di pipi.
"Aku pergi dulu. Sampai jumpa," ujarnya, lalu melangkah pergi. Namun sebelum itu, dia masih sempat mengacak rambutku dengan gemas.
Setelah kepergian Reikhan, udara terasa membeku. Aku masih bergeming menatap sosok Azka yang tidak juga bergerak atau buka suara. Tatapan pria itu lurus padaku, membuatku merasa seperti sedang dihakimi olehnya. Kemudian, dia bergerak ke arahku dan berdiri tepat di hadapanku. Aku mendongak, mengingat tinggiku hanya sebatas bahunya, berusaha menatap langsung padanya.
"Maaf, aku lupa membawa jaketmu," kataku begitu mengingat jaket yang dia pinjamkan seminggu lalu.
"Bisa kita bertemu setelah aku merampungkan jadwalku hari ini?" Azka sedikit memiringkan kepalanya ke kanan, sementara aku termangu mendengar apa yang baru saja dia katakan. "Tunggu aku," imbuhnya seraya menyentil dahiku, kemudian pergi begitu saja meninggalkanku yang mengaduh karenanya.
Aku menatap kesal punggung Azka yang semakin menjauh dari pandangan. Ada apa, sih, dengan pria itu? Dia memang sudah gila, tidak heran, di antara banyaknya wanita yang bisa dia nikahi malah memilihku. Tidak ingin mengacaukan perasaanku hari ini, aku memilih untuk mengabaikan hal itu dan bergegas untuk menjumpai Ayah.
Begitu memasuki ruang rawat, senyuman hangat Ayah langsung menyambutku. Sementara itu, Ibu tampak sedang mengupaskan jeruk di sampingnya. Aku mendesah ketika mendapati keranjang buah yang sudah dibuka di nakas. Jika tahu sudah ada yang membawa buah, aku juga tidak akan membawa buah.
"Siapa yang membawa buah? Kean juga membawa buah," ujarku sedikit kesal sembari mengangkat keranjang buah di tanganku dan berjalan mendekati mereka.
Ayah tersenyum. "Reikhan yang membawanya."
"Pantas saja tadi dia tersenyum menyebalkan begitu," tuturku. Ibu dan Ayah langsung tergelak, padahal sama sekali tidak ada yang lucu. Meskipun begitu, melihat mereka tertawa membuatku bahagia.
Aku meletakkan keranjang buah yang kubawa di sofa panjang di tepi ruangan. Setelahnya aku menghampiri Ayah dan Ibu, mencium pipi mereka dan duduk di samping kiri Ayah. "Bagaimana keadaan Ayah? Dokter bilang apa?" tanyaku penasaran.
Ibu yang berada di seberang, tersenyum lebar. "Dokter itu akan jadi suamimu, loh," ujarnya, membuatku seketika mendengkus tidak suka.
"Ayah sudah baik-baik saja. Nak Azka bilang, jika kondisi Ayah stabil, besok sudah boleh pulang." Ayah yang sepertinya mengerti kalau mungkin saja terjadi perdebatan, segera menengahi pembicaraan.
Mendengar itu, aku tersenyum lega karena persis seperti yang dikatakan Klara. Bukan hanya kalimat penghiburan semata. Aku segera memeluk Ayah erat. Selama ini, beliaulah yang menjadi tempatku bersandar. Aku tidak pernah bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku kehilangannya. Itu hal yang sama sekali tidak kuharapkan. Baik Ayah, maupun Ibu—Klara juga. Mereka adalah sumber kekuatanku bertahan di dunia ini.
****
Embusan angin menerbangkan helai rambutku yang tergerai. Lampu-lampu kendaraan tampak berkilauan di seberang sana, seperti kunang-kunang berhamburan di tengah kota. Kebisingan sedikit teredam oleh kejauhan. Sementara itu malam bertakhta dengan apik. Aku mengembuskan napas berat. Suasana sunyi ini begitu nyaman, tetapi terasa sedikit menakutkan. Apalagi hanya ada aku dan si pria minim ekspresi di tepi danau ini. Sudah lebih dari dua puluh menit sejak Azka membawaku ke tempat ini untuk membicarakan sesuatu, tetapi sudah selama itu pula dia tidak buka suara.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan sampai harus membawa saya ke tempat seperti ini?" tanyaku sembari menoleh ke luar jendela mobil demi memuaskan kewaspadaan yang sejak tadi menyergap.
Tidak mendapatkan jawaban, aku pun mengalihkan pandangan pada Azka yang duduk diam di sampingku. Pria itu tampak bergeming memandang lurus ke depan. Meskipun tubuhnya berada di sini, tetapi aku yakin jiwanya sedang berkelana entah ke mana.
"Halo? Kamu tidak membawa saya ke sini hanya untuk menemanimu melamun, bukan?" seruku kesal, membuat Azka akhirnya menoleh. Aku kembali membuang napas. "Jika kamu menyesal untuk menikah denganku dan berniat membatalkannya, aku akan dengan senang hati menerima itu."
Tidak sesuai seperti yang kuharapkan, saat ini Azka justru menarik salah satu sudut bibirnya dan menyeringai. "Apakah kamu sangat tidak menginginkan pernikahan kita?"
"Menurutmu? Apa kamu akan senang saat tiba-tiba seseorang memaksamu menikah atau melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan?" sahutku sinis.
Azka tampak diam, raut wajahnya kembali datar. Dia kembali membuang pandangan ke depan, pada deretan kendaraan di seberang sana. Keheningan kembali menyelimuti kami, sampai kemudian aku mendengar Azka sempat menggumamkan sesuatu yang entah apa.
"Apa?" tanyaku meminta penjelasan.
"Bukan apa-apa," sahut Azka, "besok ayahmu sudah boleh pulang dan minggu depan, aku beserta keluarga akan datang ke rumahmu untuk lamaran resminya."
"Ha?" seruku kaget. "Bukankah tidak perlu yang seperti itu? Bukankah ... tunggu! Kamu sungguh ingin menikah denganku? Sebenarnya apa yang kamu cari dariku? Aku yakin sekali ada sesuatu sampai kamu menikahiku."
Aku menatap Azka penuh selidik. Setelah sekian waktu, ini adalah saat yang tepat untukku menginterogasi pria itu. Aku yakin sekali ada sesuatu di balik seluruh rencana pernikahan ini.
Azka menatapku tepat di mata, tetapi aku tidak bisa membaca apa pun maksud dari tatapannya tersebut. Meskipun begitu, aku merasakan ada luka tersembunyi di sana hingga rasa sakitnya turut merambah ke dalam hatiku. Apakah ini juga yang dimaksud mata adalah jendela hati?
"Maafkan aku."
Hanya satu kalimat itu saja yang terlontar dari mulut Azka. Setelahnya, dia memilih untuk bungkam meskipun aku terus mendesaknya memberikan penjelasan lebih. Kemudian pada akhirnya aku hanya bisa menyerah, membiarkan rasa penasaran dan curiga bercokol dalam benakku karena kalimat tersebut.
TBC
Dita Xian
Banjarnegara, 8 September 2021