Éclosion
garis yang diukir
****
Setiap langkah yang ditempuh,
sudah diatur Tuhan.
Cukup perankan saja dengan baik
garis yang sudah diukir.
****
Waktu bergulir begitu cepat, seakan tidak ingin membiarkanku mengubah jalan hidup yang satu ini. Semesta seakan sepakat untuk membuatku tunduk pada takdir. Aku hanya mampu pasrah memainkan peran sebagai Keandita Rasheena yang sebentar lagi akan menjadi istri Fariz Azka Husein.
Ini sudah kesekian kalinya embusan napas keluar dari mulutku. Namun, hal itu sama sekali tidak dapat menghilangkan kegundahanku tentang hari ini. Ada satu rahasia yang selalu berusaha aku sembunyikan dari semua orang, sebuah fakta jika diriku begitu pengecut karena takut akan sebuah pernikahan dan jatuh cinta. Bukan tanpa alasan, aku tahu betul jikalau dua hal itu sewaktu-waktu bisa menimbulkan luka yang cukup dalam. Aku tidak suka merasakan sakit itu. Terlalu—pengecut—tidak suka.
Namun tentu saja, Tuhan selalu punya kejutan dalam setiap jalan yang dituliskan-Nya. Seperti tentang aku yang pada akhirnya tetap harus menikah, meskipun sangat menghindarinya karena takut terluka.
Aku masih duduk diam memperhatikan pantulan diriku sendiri di cermin saat ini. Para perias sudah pergi meninggalkanku seorang diri di kamar, duduk cemas menanti ijab kabul dilaksanakan. Aku yang terbiasa tampil adanya, kini sudah didandani bak seorang putri raja. Rambutku yang sudah kembali berwarna hitam, disanggul dan dihias dengan pernik bunga. Menyisakan poni dan beberapa anak rambut yang menggantung anggun. Wajah yang biasanya hanya dibedaki sedikit dan lip gloss menghias bibir, kini tampak lebih ayu dengan natural make-up. Belum lagi kebaya putih yang kini sudah melekat pas di tubuhku. Bukankah terlihat sempurna? Namun, mengapa semua ini membuatku resah tidak karuan?
Kemudian ingatanku tertuju pada kejadian tiga hari lalu, di mana aku memaksa Azka untuk bertemu. Setelah merenung cukup lama, tiba-tiba aku merasa menjadi ragu untuk melanjutkan kesepakatan kami hingga ke pernikahan. Ketakutan akan hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi terus membayang di kepalaku. Terlebih aku tidak mengenal sosok Azka. Bagaimana jika apa yang kami jalani justru berakhir dengan luka paling dalam? Jadi, aku pun bertekad menemui Azka. Itu adalah jalan terakhir yang bisa kulakukan untuk membatalkan pernikahan kami.
"Ada hal yang harus aku katakan padamu," ujarku saat itu, begitu duduk di seberang Azka. Sementara itu, Azka sendiri terlihat santai dengan secangkir americano yang masih mengepulkan sedikit asap dari cangkir di hadapannya—tanda bahwa kehadiran pria itu belum terlalu lama.
Azka sama sekali tidak menyahut apa pun saat itu. Dia hanya melemparkan pandangan lurus padaku. Merasa ini adalah kesempatan terakhir untuk mengubah pikiran Azka, aku pun buru-buru mengatakan, "Aku ... memiliki gangguan mental dan aku takut dengan pernikahan, terlebih jatuh cinta." Namun, Azka masih bergeming di tempat. Aku kembali melanjutkan, "Dengan kata lain, aku tidak waras."
Aku melirik Azka, tetapi air mukanya sama sekali tidak berubah sejak tadi. Dia kemudian bergerak meraih cangkir kopi di hadapannya dan menghidu.
"Aku sangat tahu, orang tuamu pasti tidak akan suka dengan hal ini. Terlebih, ketika mengingat reputasimu sebagai seorang dokter. Pasti itu akan sangat memalukan. Oleh karena itu, aku ingin menanyakan hal ini, sekali lagi, apa kamu yakin mau menikah denganku?"
Setelah mengatakan hal itu, aku sangat berharap Azka memilih membatalkan pernikahan kami. Akan tetapi, yang terjadi justru pria itu langsung mengunciku dengan tatapan yang tidak kumengerti, membuatku tertegun di tempat dengan rasa takut dan cemas menyerang secara bersamaan.
Tiba-tiba Azka menghela napas, tatapannya padaku terlihat melembut. Kemudian kalimat yang tidak pernah aku duga justru terucap olehnya.
"Kita mungkin memang belum dapat saling mencintai. Namun, itu bukan berarti aku bermain-main dengan pernikahan kita. Hal yang harus kamu tahu, semua ini sudah aku pikirkan sejak lama. Cukup kamu percaya dan berada di sisiku saja untuk saat ini."
"Ke ...."
"Kean? Apa yang kamu lamunkan, Nak?"
Suara Ibu serta sentuhan lembutnya di bahu, menyadarkanku dari kemenungan. Ibu sudah berdiri di sisi kananku dengan raut khawatir. Tidak ingin membuatnya merasa terbebani, aku buru-buru menarik kedua sudut bibirku.
"Kean hanya ... semua ini tidak pernah Kean sangka, Bu," ujarku lirih.
Ibu tersenyum hangat. "Ibu juga tidak pernah menyangka, putri sulung Ibu sudah menjadi istri seseorang. Alhamdulillah, Nak Azka lancar mengikrarkan kabulnya, Sayang."
Aku tersenyum lirih, kemudian berdiri menghadap Ibu. "Ibu ...," panggilku sebelum kemudian memeluknya erat. "Kean sayang Ibu. Maafkan Kean, kalau selama ini Kean menyusahkan Ibu dan Ayah."
Kurasakan Ibu balas memelukku, tangan hangatnya mengusap punggungku pelan. "Ibu juga menyayangimu. Kami semua sangat menyayangimu. Jadi, sekarang berbahagialah dengan kehidupanmu yang baru," bisik Ibu, kemudian beliau mengurai pelukan kami, mengusap sudut matanya yang berair, sebelum kembali menampilkan senyuman menenangkan. "Sudah! Ibu tidak mau merusak hari bahagia ini dengan air mata. Ayo, suamimu sudah menunggu di depan!"
Aku hanya mampu pasrah saat Ibu menggiringku menuju ruang keluarga, tempat di mana ijab kabul tadi dilaksanakan. Segalanya sudah berubah ketika kata "sah" tadi berkumandang. Sekarang, aku telah resmi menjadi istri dari dokter bernama Fariz Azka Husein.
Memasuki ruang keluarga, aku menjumpai beberapa orang dari kedua keluarga sudah duduk menantiku. Di tengah ruangan ada Ayah, penghulu, Reikhan, serta seseorang yang kini tampak gagah dalam balutan jas berwarna putih. Mata sipitnya terbingkai oleh kacamata, sementara kepalanya dibalut oleh peci berwarna putih dengan sulur emas. Aku sempat terkejut, mendapati penampilan Azka yang terasa berbeda dari biasanya. Entah ini karena efek cahaya mentari yang berasal dari jendela atau memang Azka begitu memesona.
Aku segera menunduk saat Klara menghampiriku dan menggantikan Ibu untuk membawaku duduk di samping Azka. Tiba-tiba saja jantungku bertalu kencang berada pada jarak sedekat ini dengan seseorang yang telah resmi menjadi suamiku. Saking merasa gugupnya, aku bahkan tidak berani mengangkat kepalaku untuk menatap Azka. Setelah mengisi berkas-berkas pernikahan, seorang ustaz kemudian memberikan tausiah pernikahan. Saat itulah, Azka tiba-tiba saja berbisik di telingaku.
"Terima kasih, istriku."
****
Hari sudah beranjak sore, tetapi belum ada tanda-tanda seluruh rangkaian acara ini akan berakhir. Segala tetek bengek telah dilakukan, mulai dari aku yang harus kembali didandani dan mengganti pakaian, sampai hal lain seperti menyempatkan diri untuk makan siang terlebih dahulu sebelum resepsi dimulai. Sejujurnya tidak banyak tamu yang diundang, tetapi tetap saja semua ini membuatku lelah. Apalagi sekarang aku harus duduk di pelaminan, menyalami tamu undangan sambil terus menunjukkan senyuman lebar—aku bahkan merasakan kram di pipiku.
Aku menarik napas dalam, berusaha membuat diriku setenang mungkin, tidak ingin gangguan kecemasan tengik itu menguasaiku. Berada di keramaian manusia adalah salah satu hal yang masih kubenci. Akan tetapi, mengingat ini adalah hari yang penting, aku tidak bisa mempermalukan kedua keluarga. Aku harus menahan semua ini dengan baik. Menampilkan ekspresi bahagia sebaik mungkin, setidaknya demi tidak membuat Ayah dan Ibu khawatir.
Aku tersentak saat seseorang tiba-tiba menggenggam tanganku yang sejak tadi sibuk meremas ujung gaun demi menahan gejolak dalam diri. Jantungku kembali berdebar kencang begitu mendapati Azka yang melakukannya dan dia tengah menatapku melalui iris sehitam malamnya. Aku menelan ludah gugup, menyadari betapa tampannya Azka saat ini. Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat bulu matanya yang panjang dan lentik. Lalu, ada sebuah titik hitam kecil di dekat sudut mata kirinya. Azka juga memiliki hidung yang terpatri sempurna. Ini adalah kali pertama aku benar-benar memperhatikan sosok Azka dengan benar dalam dua bulan kami berinteraksi. Hanya saja untuk menebak bagaimana karakternya aku masih kesulitan. Dia selalu tidak terduga. Lalu, apakah aku bisa menjalani pernikahan ini bersamanya dengan baik? Aku ... masih takut.
"Bertahanlah sebentar lagi, tapi jika kamu sudah merasa sangat tidak nyaman, kita bisa segera beristirahat. Yang lain pasti akan mengerti," ujar Azka begitu tenang.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain dan menarik tanganku yang berada dalam genggaman hangatnya, kemudian berdeham kecil demi meredakan kegugupan. "Terima kasih, aku masih bisa bertahan sebentar lagi kok. Tamu undangannya juga sudah tidak banyak."
Tepat saat itu, kurasakan seseorang mengusap kepalaku dengan lembut. Menyadari pelakunya tidak lain adalah Azka, membuatku mematung seketika. "You did well, Kean, tapi kuharap kamu tidak memaksakan diri."
"Aku tidak memaksakan diri!" sahutku seraya melayangkan tatapan kesal pada Azka karena kalimatnya yang terdengar seperti meremehkanku.
"Syukurlah kalau demikian."
Aku mendengkus, kemudian menjauhkan tangan pria itu dari kepalaku. "Aku tidak memaksakan diri, tetapi bukankan di sini kalian yang memaksaku untuk berada di posisi ini sekarang?" sindirku lirih, mengingat masih ada banyak orang di sekitar kami.
Azka menaikkan satu alisnya usai mendengar apa yang baru saja kukatakan. "Kalian?"
Melihat Azka yang tidak mengerti atau hanya pura-pura tidak mengerti membuatku semakin kesal. Tidak ingin menciptakan keributan, aku memilih membuang kekesalan itu ke udara, kemudian mengibaskan tangan, tanda agar apa yang kukatakan tadi tidak dibahas lebih lanjut. Entah dosa apa yang sebenarnya telah aku lakukan hingga suamiku adalah seorang manusia beku seperti Azka.
"Meskipun pernikahan ini mungkin terpaksa bagimu, aku tidak pernah merasa demikian. Aku serius dalam menjalani pernikahan ini bersamamu, Kean. Jadi, kuharap kamu tidak akan lagi merasa terpaksa dan kita bisa bersama-sama menjalani semua ini."
Kali ini aku kembali mematung di tempat. Bukan hanya karena rentetan kalimat yang baru saja kudengar, tetapi juga sebuah kecupan hangat yang mendarat di pelipis kananku. Begitu menoleh, aku tersentak mendapati wajah Azka hanya berjarak beberapa senti meter saja dariku. Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana iris sehitam malam itu melucuti keberanianku lewat tatapannya. Seolah terhipnosis, aku bahkan tidak menyadari wajah Azka bergerak semakin dekat hingga dapat kurasakan embusan napas hangatnya menerpa wajahku. Kemudian tatapanku secara tidak sengaja jatuh pada bibir merah mudanya. Aku menelan ludah gugup, jantungku bahkan seperti meninju-ninju tulang rusuk. Jarak antara kami semakin terpangkas, semakin dekat, dekat, dan—
"Bisakah kalian lakukan itu nanti?"
Ya, Tuhan. Aku ingin sekali menenggelamkan diri ke rawa-rawa saat ini!
TBC
Dita Xian
Banjarnegara, 26 September 2021