nebulochaotic
[Adj.] A state of being hazy and confused
****
Tuhan sepertinya ingin bermain dengan takdirku.
Satu demi satu hal tak terduga Dia hadirkan dalam cerita hidupku.
****
Aku mematung di ambang pintu begitu melihat kehadiran pria tanpa ekspresi pagi tadi di toko. Dia tidak sendirian, ada dua orang asing lagi di sana. Seorang pria paruh baya dan seorang wanita seusia ibu yang aku yakini adalah orang tuanya. Semua pasang mata di ruang tamu kini tertuju padaku, termasuk tatapan datar pria itu—seperti biasa. Tubuhku mendadak berkeringat dingin dan perutku mulai bergejolak saat menyadari perhatian mereka. Untung saja, Ayah segera bersuara sehingga aku bisa kembali mengendalikan diri lagi.
"Kean, beri salam pada Pak Husein dan Bu Yuni."
Mendengar itu, aku tersenyum tipis dan segera melangkah menghampiri mereka, kemudian memberi salam pada orang asing yang Ayah sebut sebagai Pak Husein dan Bu Yuni. Meskipun masih tidak dapat aku mengerti tentang bagaimana pria tanpa ekspresi itu bisa datang ke rumahku bersama keluarganya dan bertemu Ayah. Ada banyak hal yang muncul di kepalaku sebagai dugaan, tetapi aku berusaha menepisnya dan bersikap senormal dan sesopan mungkin.
"Wah! Bapak tidak menyangka Kean dan Klara begitu mirip seperti ini."
Mendengar penuturan Pak Husein, aku hanya tersenyum tipis. Sudah bukan hal baru lagi, kalau menurut orang-orang aku dan Klara begitu mirip, bahkan pernah disangka kembar. Padahal jarak usia kami terpaut sekitar lima tahun. Sepertinya hal itu juga lantaran tinggi badan kami yang hampir sama, dengan aku yang terpaksa rela lebih pendek beberapa senti meter dari Klara. Hal yang biasanya mudah untuk membedakan kami saat ini adalah warna rambut dan gaya berpakaian. Aku memang suka mewarnai rambutku dan gayaku lebih feminin dari Klara. Sementara Klara hampir mirip dengan Arin yang terkesan tomboi, dengan rambut hitam lurus sepunggung.
Berbeda dengan Pak Husein yang terlihat ramah, bukannya tidak menyadari, hal yang sebaliknya terjadi pada Bu Yuni. Beliau terlihat seperti tidak menyukai sesuatu dari diriku. Hal itu terlihat dari tatapannya yang tidak seramah Pak Husein, meskipun beliau tetap memberikan senyuman tetap di bibirnya. Mungkin beliau tidak suka dengan aku yang mengecat rambut. Namun, apa pun itu yang jelas aku akan mengabaikannya, lagi pula kami juga tidak saling mengenal.
Tidak ingin berada di situasi aneh ini lebih lama, aku bersiap untuk undur diri dengan alasan untuk membersihkan diri. Namun, Ayah sepertinya menyadari gelagatku dengan cepat, sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata. Beliau langsung memintaku duduk di samping kanannya, sehingga saat ini posisi Ayah terapit oleh aku dan Ibu.
"Kean, tunggu sebentar Nak. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu." Ayah menggenggam tangan kananku yang dingin.
Meskipun sangat enggan terjebak dalam situasi ini, tetapi aku tidak bisa kabur. Dengan jantung yang berdebar gugup, menatap Ayah. Mengalihkan pandangan dari pria tanpa ekspresi yang duduk di seberangku. Kudengar Ayah menarik napas dalam, sebelum kemudian mengembuskannya sedikit kasar. Tatapan teduhnya mengarah padaku. Jika sudah begini, artinya ada hal penting yang akan Ayah sampaikan. Saat ini aku sungguh tidak ingin mendengar apa pun dan ....
"Sebenarnya, kehadiran Pak Husein dan Bu Yuni ke sini bersama dengan Nak Azka, adalah untuk melamarmu."
Blarrr!
Saat itu juga rasanya seperti ada petir yang menyambar kepalaku. Apa yang Ayah katakan hanyaan hanya menjadi bagian ilusiku saja, bukan? Aku pasti salah dengar, 'kan?
"Apa maksud Ayah?" Dari sekian banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku, hanya kalimat itu saja yang mampu aku utarakan. Aku masih sangat berharap bahwa tadi hanya salah dengar. Sepertinya aku terlalu lelah sehingga indra pendengarku mengacau. Namun sayang, jawaban yang Ayah berikan benar-benar bukan hal yang aku inginkan.
"Ayah sudah mempertimbangkannya dengan matang dan memilih menerima lamaran itu. Ayah ingin kamu menikah dengan Nak Azka, putra Pak Husein."
Sekarang mendadak kepalaku terasa pening. Jantungku berdebar cepat saking kagetnya mendengar apa yang baru saja Ayah katakan. Rasanya semua emosi berkumpul menjadi satu di dalam kepalaku, kemudian menyebar hingga ke dadaku. Aku masih sangat berharap kalau ini hanya mimpi belaka, atau setidaknya hanya sebuah prank dari Ayah.
Menikah? Bahkan kata itu sendiri belum terlintas sedikit pun di kepalaku. Aku belum memikirkannya, kalaupun demikian, untuk saat ini aku tidak menginginkanya. Lagi pula sekarang aku bisa bahagia dengan diriku sendiri. Pernikahan tidak menjamin kebahagiaan seseorang, bukan?
"Benar, Nak. Kedatangan kami ke sini karena ingin melamarmu untuk Azka, putra kami. Kami sangat berharap kamu juga bisa menerimanya. Bapak yakin, kamu adalah wanita yang baik untuk Azka," timpal Pak Husein berusaha menjelaskan situasi ini dengan lebih lanjut.
Tidak tahu harus bereaksi bagaimana karena terlampau kaget, yang bisa kulakukan hanya tertawa sumbang sambil menatap Ayah. "Ayah pasti sedang bercanda dengan Kean, 'kan? Ya ampun, Yah! Kean baru 27 tahun!" seruku diiringi kekehan kecil. "Kean belum berpikir sedikit pun untuk menikah dan Ayah yang paling mengerti Kean, 'kan?"
Bukannya menanggapi dengan gurauan seperti biasa, Ayah malah mengembuskan napas berat, lalu tangannya dengan penuh kehangatan mengusap kepalaku pelan. Berusaha meredamkan gejolak emosiku yang semakin memuncak.
"Keandita, Ayah sudah tua. Ayah ingin melihatmu menikah dan hidup bahagia, sebelum Ayah tidak lagi memiliki kesempatan untuk itu."
"Ayah—"
"Ayah mohon, Nak. Kabulkan permintaan Ayah ini. Ayah ingin kamu menikah dengan Nak Azka. Dia adalah pria yang baik. Ayah yakin, dia bisa menjagamu dengan baik dan membuatmu bahagia," pinta Ayah dengan sorot mata penuh permohonan terarah padaku.
Aku menatap Ibu yang masih diam, tetapi tatapannya menyiratkan hal yang sama dengan Ayah. Lidahku kelu. Otakku mendadak seperti berhenti bekerja. Aku yang tidak mampu mengungkapkan apa yang dirasakan memilih tetap bungkam dan segera pergi ke luar.
Aku sungguh memerlukan udara segar agar dapat berpikir jernih!
****
Aku tertawa getir merenungi apa yang baru saja terjadi pada hidupku. Padahal, baru saja aku merasa semuanya akan baik-baik saja seperti biasa, tetapi ternyata langsung berubah kacau setelah pulang ke rumah. Kejutan apa ini? Ulang tahunku masih lama! Aku sendiri bahkan tidak pernah menyukai kejutan atau hal-hal mendadak tanpa rencana. Dan lagi, semua ini tidak ada dalam daftar keinginanku sekarang.
Menikah? Apalagi ini menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Lucu sekali bukan? Aku tidak menyangka Ayah akan melakukan ini padaku—pada hidupku.
Aku menyandarkan punggung pada bangku taman yang berada sisi rumah, lalu menarik napas dalam. Menatap langit yang mulai beranjak gelap, diam-diam juga membuatku takut terjebak dalam kegelapan. Sesuatu yang asing dan tidak bisa aku jabarkan kini bergejolak dalam hatiku. Sebuah perasaan aneh sebagai akibat dari mendengar kalimat Ayah atau justru menyadari pria tanpa ekspresi itu bukan sekadar pengunjung toko buku. Namun yang jelas, rasa takut yang mendominasi untuk saat ini.
"Kak?"
Suara Klara yang terdengar dari arah pintu samping membuatku langsung memejamkan mata karena sesuatu seolah menghantam kepalaku dengan begitu keras. Aku menghela napas.
"Jangan ganggu Kakak dulu, Ra," ujarku tanpa menoleh sedikit pun pada Klara yang sepertinya datang karena diminta menyusulku.
"Ada yang ingin bicara dengan Kakak," ujarnya lagi.
"Sudah Kakak bilang! Jangan ganggu Kakak!"
"Kak!"
Merasa kesal, aku langsung berdiri dan berbalik ke arah Klara sambil menatapnya tajam. Namun sedetik kemudian, aku malah dikejutkan oleh kehadiran pria jangkung yang menatap datar ke arahku dan berdiri tegap di samping adikku.
"Klara pergi dulu," ujar Klara sebelum dia berbalik pergi meninggalkanku bersama pria tanpa ekspresi itu.
Sebagai ganti Klara, aku melayangkan tatapan tajam pria yang masih terlihat santai di kejauhan. Rasa kesal dan marah semakin membakarku, mengingat pria tanpa ekspresi dan menyebalkan itulah sumber kekacauanku saat ini. Selain itu, aku merasa memang pantas membencinya atas apa yang terjadi. Tidak tahu kapan pria itu melangkah, tahu-tahu tubuh jangkungnya sudah berdiri tepat di hadapanku.
"Bagaimana kabarmu, Kean?" tanyanya masih dengan tanpa ekspresi, meskipun saat ini ada kenaikan level pada cara bicaranya yang tidak lagi datar.
Ingin rasanya aku menamparnya. Siapa dia? Berani-beraninya datang mengusik ketenangan hidupku dengan sebuah 'lamaran', sementara kami saling mengenal saja tidak. Selain memang bertemu dua kali di toko dan sekali saat ini. Belum lagi sikap tenangnya dalam menghadapi situasi yang terjadi sangat membuatku kesal. Dia menganggapku apa sebenarnya? Apakah wujud balas dendamnya karena kugosipkan dengan Lisna pagi tadi? Tidak etis sekali!
Aku membuang napas kasar, berusaha menenangkan diri agar tidak terpancing emosi. Setelah dirasa cukup tenang, aku tampilkan senyum bisnis yang selalu menjadi caraku menyambut pengunjung di toko.
"Maaf, sebelumnya jika saya tidak sopan. Namun saya tahu, Anda pasti mengerti karena Anda bukan orang yang tidak berpendidikan, 'kan? Pertama, kita sama sekali tidak saling kenal. Kedua, pernikahan bukan hal untuk main-main. Ia sakral dan merupakan janji langsung di hadapan Tuhan. Terakhir, untuk saat ini pernikahan belum menjadi prioritas saya. Jadi, maaf, saya tidak bisa menerima lamaran atau apa pun itu dari Anda. Sekarang, bisa tolong Anda tarik semua hal yang sudah Anda dan keluarga Anda utarakan pada keluarga saya?"
Pria tanpa ekspresi itu masih diam usai mendengar ucapanku. Air mukanya masih sama, minim ekspresi. Sorot matanya sendiri tidak dapat kubaca. Namun aku harap, pria ini bisa mengerti maksud kalimatku tadi. Tadinya jika dalam hitungan ke-sepuluh pria ini tidak bereaksi atau berucap apa pun, aku akan langsung pergi meninggalkannya. Akan tetapi semua urung di hitungan kedelapan.
"Aku juga tidak pernah main-main dengan pernikahan," sahutnya tegas, "sebagai pria aku juga tidak mungkin menarik kembali apa yang sudah kuucapkan."
Kali ini aku tidak hanya membuang napas kasar, tetapi juga mengacak rambut karena frustrasi. Ternyata pria tanpa ekspresi bermata sipit ini jauh lebih menyebalkan dari yang kukira. Apakah dia tidak mendengarkan ucapanku tadi? Aku tidak ingin menikah dengannya! Atau haruskah aku garis bawahi kalimat itu agar lebih jelas, sehingga dia bisa paham?
"Tapi aku belum ingin menikah! Apalagi menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal!" seruku kesal. Aku sudah tidak lagi memedulikan sopan santun saat ini. Aku sudah terlampau kesal dan marah! Bayangkan saja, baru saja pulang setelah bekerja seharian,tetapi langsung disambut dengan lamaran dari orang yang tidak dikenal. Terlebih lagi ini terkesan seperti pemaksaan!
"Tolong Anda pahami, ya? Kita tidak saling mengenal. Lalu, saya juga hanya bertemu tiga kali dengan Anda, terhitung saat ini. Jadi mohon maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Anda, meskipun Ayah mengatakan sudah menerimanya. Permisi." Tidak ingin tenagaku terkuras sia-sia, akan lebih baik jika aku segera pergi dari hadapan pria menyebalkan ini. Mungkin mandi air hangat bisa meredakan stres dan lelah yang melandaku.
"Kenapa?"
Entah apa yang terjadi padaku, tetapi langkahku otomatis terhenti saat mendengar pria tanpa ekspresi itu kembali bersuara. Harusnya aku tidak peduli dan terus melangkah pergi. Namun yang terjadi aku malah hanya bisa diam di tempatku, seperti menanti apa-apa saja yang akan pria itu sampaikan.
"Fariz Azka Husein. Apa nama itu benar-benar sudah dihapus dari .. hidupmu?"
Fariz ... Azka Husein?
****
Usai mandi air hangat, aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas kasur empuk berukuran besar yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk melepaskan penat. Sembari menatap langit-langit kamar yang berhias stiker bintang warna-warni, pikiranku kembali melayang pada hal-hal yang membuatku begitu lelah hari ini. Hari yang penuh kejadian menyebalkan sejak pagi, lamaran mendadak, pria tanpa ekspresi itu, dan ... Fariz Azka Husein? Apa maksudnya itu?
Setelah pria tanpa ekspresi tadi menyebutkan namanya dan mengatakan hal yang tidak aku mengerti, aku memilih tidak mengindahkannya dan melanjutkan langkah menuju kamar melalui pintu samping. Tidak peduli lagi dengan sopan santun yang biasanya aku jaga, karena saat ini aku benar-benar lelah fisik dan pikiran. Kemudian semua berakhir seperti sekarang ini. Aku memang berbaring di kasur, tetapi pikiranku semakin berkelana ke sana kemari. Terlebih aku merasa ada sesuatu yang janggal di sini. Seperti ada hal yang ... hilang?
"Aishh!!! Apa sih yang sedang aku bingungkan sekarang?!" seruku sambil mengacak rambut panjangku yang masih sedikit basah.
Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang, rasanya membingungkan. Seperti ada sesuatu yang membuatku penasaran, tetapi juga kesal, marah, dan takut di saat yang bersamaan. Apakah ini efek sebuah lamaran dadakan?
Sedikit memiringkan tubuh, aku menatap beberapa gambar yang salah satunya berukuran besar, tertempel rapi di dinding kamarku. Gambar berukuran besar itu adalah foto Leeteuk, idolaku. Dia menatap ke arahku dengan senyuman manis dan lesung pipi yang khas. Hal sederhana yang mampu mengembalikan senyumanku hari ini. Melihat fotonya saja, sudah membuatku merasa lebih baik. Dia sungguh seperti charger semangat untukku, selain kehadiran Reikhan.
"Oppa[1] ...," panggilku lirih dengan suara yang terdengar lelah di telingaku sendiri. "Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi di hidupku saat ini."
Tuturku mulai bercerita tentang apa yang kurasakan hari ini. Dibandingkan dengan Reikhan, sejujurnya aku lebih banyak menceritakan perasaanku padanya. Ketika ada hal-hal yang tidak bisa kuceritakan pada siapa pun, maka dialah yang akan menjadi pendengarnya. Mungkin terdengar gila, tetapi hal ini cukup ampuh untuk diriku.
"Bagaimana mungkin seseorang yang sama sekali tidak aku kenal, tiba-tiba melamarku." Aku terkekeh kecil. "Kami saja hanya bertemu tiga kali termasuk hari ini. Gila sekali bukan? Masa hanya karena aku menggosipkannya pagi tadi dengan Lisna, dia jadi datang melamarku."
"Aku juga tidak menyukainya, aku tidak suka pria minim ekspresi seperti dia. Aku tidak suka sikap dinginnya. Aku tidak suka dia yang selalu menatapku datar. Aku tidak suka dia yang hanya bisa aku tatap punggungnya dari kejauhan. Aku ... tidak suka."
Deg.
Aku tertegun sendiri usai serentetan kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Rasanya semua kalimat itu terdengar tidak asing untukku. Terlebih tiba-tiba kurasakan jantungku berdebar kencang entah karena apa, kemudian air mataku terjatuh tanpa bisa dicegah. Awalnya hanya jatuh tidak terbendung, tetapi lama kelamaan aku terguguk sendiri. Isak tangis ini berubah menjadi sebuah tangisan yang terdengar begitu menyakitkan.
Sebenarnya aku kenapa? Apa yang terjadi padaku?
TBC
Dita Xian,
Banjarnegara, 26 Agustus 2021