dysphoric
[Adj.] generalized feeling of distress
****
Apa yang terjadi pada hidupku?
Segalanya berubah tanpa mampu kucegah.
****
Saat ini aku tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi, karena begitu membuka mata, aku sudah duduk seorang diri di pojok kantin dengan harap-harap cemas menunggu kehadiran seseorang yang entah siapa. Pandanganku pun terus tertuju pada pintu masuk. Padahal di sana aku tidak menjumpai apa atau siapa pun. Meski begitu, secara tidak sadar aku meyakini bahwa hal yang kutunggu itu nyata.
Belum sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja jantungku berdebar cukup kencang, seperti sebuah isyarat yang mengatakan bahwa apa yang aku nanti akan segera datang. Benar saja! Tidak berselang lama, seorang laki-laki yang masih mengenakan seragam SMA datang dari pintu masuk. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, tetapi hatiku mengatakan dengan tegas, dialah yang aku tunggu begitu lama.
Kemudian, tanpa bisa aku cegah, tubuhku bergerak sendiri. Aku bangkit dari dudukku dan bersiap untuk menghampiri laki-laki itu. Namun belum sempat beranjak jauh, secara mendadak aku jadi membatu saat melihat seorang gadis berambut panjang datang menghampiri laki-laki itu. Gadis itu juga menggandeng tangannya, lalu terlihat seperti mereka tengah tertawa bersama dengan begitu bahagia, sementara aku harus bergelut dengan rasa sakit yang tiba-tiba menghunjam dada.
****
"Ke, kau baik-baik saja?"
Suara Lisna yang terdengar bersamaan dengan sentuhan di bahu kanan membuyarkanku dari permenungan tentang keputusan apa yang harus kuambil soal lamaran dari pria tanpa ekspresi itu. Usai mengurung diri di kamar semalaman, paginya aku berusaha mendiskusikan pemikiranku pada Ayah tentang hal tersebut. Sejujurnya tidak ada paksaan dari beliau kala itu, hanya saja sorot mata penuh pengharapannya sungguh mengganggu diriku. Membuatku berakhir dengan meminta waktu untuk memikirkan semuanya dengan matang terlebih dahulu, dan Ayah memberikan jeda hingga Jumat depan.
"Aku baik-baik saja, Lis," sahutku sembari sedikit menambahkan senyum paksa, tetapi rupanya hal itu tetap tidak mampu menghilangkan raut khawatir di wajah Lisna.
Lisna yang tampak cantik dengan gaya rambut pendek barunya, menggelengkan kepala pelan. "Tidak. Aku tahu, ada sesuatu yang mengganggumu dalam beberapa hari ini. Wajahmu selalu terlihat murung dan seperti tengah memikirkan sesuatu yang berat. Kamu tidak bisa berbohong, Ke. Apa yang bisa aku bantu? Mau bercerita?" Gadis itu menarik salah satu kursi kosong di dekat loker, lalu mendudukkan dirinya di sampingku. Suasana toko yang masih sepi membuat kami tidak perlu khawatir untuk menghabiskan waktu dengan sedikit berbincang.
Entah aku harus senang atau tidak dengan tingkat kepekaan Lisna saat ini, karena yang jelas aku memang tidak bisa membohonginya lagi. Meskipun begitu, aku masih ragu. Haruskah aku menceritakan hal ini atau .....
Aku membuang napas berat. "Menurut kamu, pernikahan itu seperti apa?"
Mendengar pertanyaanku barusan, dahi Lisna sontak terlipat heran. Mungkin karena topik ini tidak biasa yang kuangkat dalam pembicaraan, atau justru karena seorang aku yang tumben sekali menanyakan hal itu. Namun tidak lama, kernyit itu menghilang berganti ekspresi geli disertai senyuman lebar khas seorang Febiana Lisna Pratiwi.
"Ya ampun, Ke! Jadi karena itu?" Lisna menggelengkan kepala. "Hm, berbicara soal pernikahan, menurutku pernikahan itu ... mengikat janji suci bersama di hadapan Tuhan. Dua orang yang saling mencintai berbagi sisa hidup mereka dan ... itu memang tujuan orang-orang yang jatuh cinta dan menikah, bukan?"
Aku terdiam merenungi jawaban yang diberikan Lisna, menggarisbawahi beberapa kalimat penting tentang definisi pernikahan itu sendiri. Ternyata memang tidak jauh berbeda maknanya dengan apa yang kudapatkan di internet, kalau menikah atau pernikahan itu adalah pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Akan tetapi ....
Aku menatap Lisna dengan serius. "Bagaimana kalau menikah tanpa cinta? Tidak! Jangankan cinta, kenal saja tidak. Menurutmu bagaimana jika menikah dengan orang yang tidak kita kenal sama sekali?"
Lisna kembali mengernyit, kali ini tatapannya terlihat penuh selidik. "Apa kamu yang akan menikah?"
"Siapa yang akan menikah?"
Aku dan Lisna sontak menoleh ke asal suara itu. Aku tersentak saat mendapati Reikhan dan Arin baru saja memasuki toko. Ekspresi keduanya sama-sama menunjukkan rasa ingin tahu.
Aku menggigit jari. Bagaimana ini? Reikhan sudah telanjur dengar, jika begini aku tidak akan bisa menghindarinya lagi.
"Kenapa tidak dijawab? Siapa yang akan menikah?" seru Reikhan sekali lagi.
Aku meneguk ludah susah payah, lalu beralih menatap Lisna hendak meminta bantuan. Namun sepertinya dia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Aku pun hanya bisa menghela napas, karena sepertinya tidak ada lagi jalan lagi untuk melarikan diri dari Reikhan dan topik ini.
Lalu, di sinilah aku sekarang. Duduk berhadapan dengan Reikhan di kedai es krim yang tidak jauh dari toko buku. Aku mengaduk es krim cokelatku dalam diam. Ini sudah sepuluh menit berlalu sejak aku merampungkan ceritaku pada Reikhan, soal pria asing yang tiba-tiba datang melamarku, serta kebimbanganku dalam menentukan keputusan. Namun Reikhan sama sekali belum menunjukkan respons apa pun selain menatapku dengan tatapan dingin yang semakin membekukan suasana. Padahal, es krim vanila pria itu sudah mulai mencair.
"Jadi, seseorang yang tidak kamu kenal datang melamarmu?" Reikhan mengangkat satu alisnya.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban usai mendengar tanggapan Reikhan. Entah mengapa, rasanya seperti ada yang tidak biasa dari tatapan pria itu usai mendengar ceritaku.
"Namanya Fariz Azka Husein?" tanya Reikhan lagi yang kembali kujawab dengan anggukan. "Rupanya lebih cepat, ya?"
"Lebih cepat?" Aku balik bertanya, tidak mengerti dengan maksud gumaman pria itu barusan.
Reikhan tersenyum tipis. "Bukan apa-apa. Jadi, kamu sendiri bagaimana? Mau menerima lamaran itu, atau menolaknya?"
Aku membuang napas kasar. Inilah yang aku bingungkan sejak kemarin. Aku sendiri bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menerima atau menolaknya? Di satu sisi aku tidak ingin, tetapi di sisi lain, baru kali ini aku melihat Ayah yang begitu menginginkan sesuatu dariku.
"Aku juga tidak tahu," jawabku lesu, "di satu sisi, aku memikirkan Ayah. Aku sangat tahu, Ayah tidak akan sembarangan menerima lamaran orang itu jika Ayah tidak mengenalnya dengan baik. Ayah juga tidak pernah menuntutku, dia selalu menerima apa pun keputusanku. Namun soal lamaran itu, Ayah terlihat seperti menggantungkan harapannya padaku. Ayah ingin aku menerimanya, tapi ...."
Tatapanku kali ini beralih pada Reikhan yang masih diam, setia mendengarkanku. "Di sisi lain aku juga merasa takut. Aku takut untuk menikah, apalagi dengan pria yang tidak aku kenal. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan perasaanku setiap kali melihat pria itu, meski tidak tahu dengan jelas perasaan apa. Menurutmu aku harus bagaimana? Aku tidak mengenalnya. Belum lagi, apa dia akan menerimaku yang begini?"
Aku tersenyum miris. Aku adalah salah seorang penyandang gangguan mental, yang masih harus meminum obat dan melakukan terapi setiap kali ada pemicu yang membuatnya kambuh. Jadi, apakah pria itu sungguh akan menerimaku yang seperti ini? Apakah keluarganya juga mau menerimaku?
"Keandita—"
Aku langsung menggeleng, tidak setuju dengan apa yang akan Reikhan katakan saat ini. Aku sudah hafal kalimatnya, "Keandita, tidak ada yang berbeda dari dirimu. Kamu hanya istimewa." Selalu begitu, setiap kali aku mulai berbicara soal diriku yang begini di hadapan pria itu. Padahal aku juga sadar diri, aku memang berbeda dari kebanyakan orang, meski memang sekilas terlihat normal seperti yang lain. Tidak ada yang berbeda secara fisik, tetapi akan sangat berbeda secara psikis.
"Saat itu aku juga bertemu dengan orang tuanya. Ayahnya memang tidak menunjukkan reaksi apa pun, mungkin beliau memang sengaja menyembunyikannya, tetapi aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi ibunya. Aku sangat tahu kalau tatapan itu mengandung arti tidak suka dan penolakan," jelasku lagi.
Aku sangat yakin mereka pasti sudah tahu kekuranganku dari Ayah. Karena bagaimana pun, mereka pasti menyelidiki terlebih dahulu soal diriku. Yang mengejutkan, mengapa pria tanpa ekspresi itu masih tetap mau melamarku? Padahal, ibunya sendiri terlihat sangat tidak menyukai diriku. Tidak akan ada pernikahan yang baik jika itu tanpa restu orang tua. Begitu menurutku.
Kurasakan seseorang tiba-tiba memelukku, menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya. Aku tersenyum, Reikhan memang selalu menjadi tempat ternyamanku untuk bersandar. Dia yang selalu ada untukku, tidak peduli bagaimanapun keadaanku. Menjadi penopang diriku, setiap kali aku kehilangan pijakan. Dia begitu baik, sampai terkadang aku berpikir, apakah ini sungguh dapat menjadi sebuah persahabatan yang murni?
"Terima kasih, Khan," gumamku sembari balas memeluk erat Reikhan yang kini mengusap pelan rambutku.
"Seperti apa pun dirimu, ingat, kamu masih punya orang-orang yang sayang padamu. Seperti Ayah, Ibu, Klara, Lisna, Arin, juga aku," ujar Reikhan, "saat ini aku hanya bisa menyarankanmu untuk mengikuti kata hati, karena yang paling tahu keinginanmu hanya dirimu sendiri. Kamu berhak bahagia, Ke."
Aku tersenyum lirih. Andai saja dia bukan sahabatku, atau andai Lisna tidak menyimpan rasa padanya, sudah pasti aku akan jatuh hati pada Reikhan. Namun aku masih cukup waras untuk tidak bersikap egois, aku tidak ingin kehilangan sahabat-sahabatku hanya karena perasaan rumit yang disebut cinta. Setidaknya, begini saja sudah cukup membuatku bahagia. Reikhan yang memelukku sebagai sahabatnya.
****
Hari sudah berganti malam ketika aku keluar toko. Aku memang sengaja lembur karena tidak ingin memikirkan apa pun yang berat. Baru saja selesai mengunci pintu toko, saat membalikkan badan, aku menemukan seorang pria jangkung dengan kemeja biru yang lengannya sudah digulung hingga siku, tengah berdiri tegap tepat tiga langkah di belakangku. Aku hampir berteriak kalau saja sedetik berikutnya tidak mengenal siapa pria itu.
"Apa yang Anda lakukan di sini?" tanyaku setengah berteriak pada pria tanpa ekpresi di hadapanku ini. Sedikit menyesal sebenarnya karena sudah bersikap tidak sopan, tetapi semua sudah telanjur. Mungkin juga dengan begini, pria itu akan menyesal dan menarik lamarannya.
"Datang menjemputmu."
Sesaat aku tertegun mendengar jawaban singkatnya. Menimbang kalau apa yang aku dengar barusan bukan sebuah kalimat salah dengar saja. Tadi pria tanpa ekspresi itu sungguh mengatakan kalau dia datang menjemputku, 'kan?
Aku tersenyum sinis. "Maaf, tidak perlu. Adik saya yang akan datang menjemput." Aku menolak dengan tegas, lalu melangkah menjauh dari pria itu. Namun baru saja memberi jarak, pria itu tiba-tiba mencekal lenganku.
"Lepas!" seruku sembari melepaskan cekalan tangannya dengan kasar hingga terlepas. Aku sangat tidak suka orang asing menyentuhku sembarangan.
"Maaf," ujar pria itu usai melepaskan cekalannya. Meskipun mengatakan penyesalan, sejauh ini aku tidak melihat perubahan pada raut wajahnya.
Aku melayangkan tatapan tajam padanya, yang dibalas dengan tatapan menyimpan penyesalan. Sekarang aku mulai mengerti, dia mungkin bukan menunjukkan apa yang dirasakan melalui raut wajah melainkan lewat tatapan mata. Aku hanya bisa membuang napas kasar, tidak ingin lagi membuang energi untuk pria seperti dirinya. Sudah terlalu banyak kejadian hari ini dan aku sangat lelah, jadi akan lebih baik jika aku segera pergi ke halte depan untuk menunggu Klara. Namun lagi-lagi langkahku harus terhenti karena pria menyebalkan itu menghadang langkahku.
"Klara tidak akan datang menjemputmu, dia masih ada jadwal jaga," ujarnya sebelum aku kembali menyemburnya dengan amarah.
"Anda—"
"Kamu bisa menanyakannya langsung di telepon," imbuh pria itu.
Mendengar itu, aku segera mencari ponselku di tas dan mengeceknya. Seharusnya jika memang benar demikian, Klara akan mengirimkan pesan padaku kalau dia tidak bisa datang menjemput. Benar saja, sebuah pesan masuk dari Klara terpampang di layar. Bocah itu bilang dia tidak bisa menjemput karena ada jadwal jaga malam dadakan. Hal ini membuatku langsung mendengkus sebal. Apa bocah itu juga yang menyuruh pria tanpa ekspresi ini untuk datang menjemputku?
"Ayo!" seru pria itu seraya mengarahkan tangannya pada mobil sedan berwarna hitam yang terparkir di sisi jalan.
"Tidak, terima kasih. Saya masih bisa naik bus terakhir." Aku kembali menolak dengan tegas, lalu berjalan menjauhi pria itu.
"Keandita."
"Tidak mau!" seruku, berusaha tidak menghiraukan pria yang kini melangkah di belakangku itu.
"Keandita Rasheena."
Deg.
Sebuah perasaan asing tiba-tiba menyergap hatiku saat mendengarnya menyebutkan nama lengkapku. Terlalu aneh sampai membuatku mematung di tempat. Sekelebat bayangan asing juga berputar acak di dalam kepalaku. Menimbulkan perasaan gelisah dan takut secara bersamaan. Kemudian seperti ada tangan tidak kasatmata yang meremas jantungku setelahnya. Sakit dan sesak.
"Sebenarnya kamu itu siapa?" Suaraku kini terdengar bergetar Aku menatap nanar pria yang sedari tadi menggangguku ini, lalu tersenyum sinis. "Kenapa mendadak datang di kehidupanku yang tenang dan mengacaukan semuanya?"
Matanya sipit pria itu tampak bereaksi sebentar dengan sedikit melebar, tanda bahwa dia sepertinya kaget dengan apa yang kukatakan. Dengan begini aku semakin tidak mengerti dibuatnya. Siapa dia? Meskipun asing, aku merasa hal tersebut juga tidak sepenuhnya benar. Ada sesuatu juga yang membuatku merasa seperti kami pernah bertemu sebelumnya. Lalu kehadirannya yang tiba-tiba, sangat janggal. Hal inilah yang semakin membuatku takut.
"Sudah larut, biar aku mengantarkanmu pulang."
Ternyata dia menghindari topik utamanya.
"Aku selalu merasa ada yang tidak beres dengan kehadiranmu yang tiba-tiba. Apalagi dengan lamaran, sementara kita ini hanya dua orang asing. Bagaimana mungkin kamu datang melamarku dan Ayah bahkan menerimamu? Sebenarnya kamu ini siapa di hidupku, sampai Ayah rela menyerahkan diriku padamu?"
Setelah cukup lama menyimpan semua kegelisahan ini sendiri, aku rasa ini adalah saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang terjadi dan apa yang pria itu inginkan, sehingga aku bisa mengambil keputusan soal lamaran itu. Aku harus mendapatkan kejelasan darinya.
"Kamu tidak akan menjawab pertanyaanku?" tanyaku lagi ketika pria tanpa ekspresi itu masih diam dan mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Kalau begitu, jawaban saya sudah jelas untuk lamaran Anda waktu itu. Saya—"
"Seseorang yang kamu cintai."
Kali ini aku yang terdiam di tempat. Aku pikir dia sedang bercanda atau apa, sehingga aku hendak menertawakan dengan keras. Namun saat melihat iris hitamnya yang tertuju padaku itu menegaskan kalau dia serius dengan apa yang diucapkannya barusan, aku hanya mampu mematung.
"Bagaimana jika aku adalah seseorang yang kau cintai?" ujarnya lagi.
Baik. Walaupun sebenarnya aku yang mengalami gangguan mental, tetapi sepertinya pria itulah yang sudah gila.
TBC
Dita Xian,
Banjarnegara, 24 Agustus 2021