Chereads / Timeless Love: Benang Takdir / Chapter 6 - Bab 05 - Cloudburst

Chapter 6 - Bab 05 - Cloudburst

cloudburst

(n.) a sudden and very heavy rainfall

****

Selayaknya menghentikan hujan turun,

Semuanya percuma, takdir telah mengikat

kita.

****

Kekacauan melandaku sejak tiga hari lalu. Tepatnya setelah menyatakan keputusanku untuk tetap tidak menerima lamaran si pria tanpa ekspresi itu. Padahal, seharusnya aku merasa tenang karena berhasil terlepas dari hal yang tidak kuinginkan. Namun setelah itu aku malah merasa bersalah sendiri. Terutama ketika mengingat kembali senyum dan tatapan Ayah kala itu. Aku merasa begitu berdosa karena telah membuat beliau kecewa. Belum lagi mimpi-mimpi aneh yang terus menghantuiku. Aku tidak pernah bisa tidur nyenyak hingga hari ini

Aku lelah dan frustrasi. Namun di saat seperti ini, aku justru kesulitan bertemu dengan Reikhan. Sejak pertemuan terakhir kami di kedai es krim, pria itu menjadi sulit dihubungi dan ditemui. Aku bahkan sempat datang ke rumahnya, tetapi Mbak Della—kakak perempuan Reikhan—mengatakan kalau Reikhan selalu pulang tengah malam dan berangkat pagi sekali. Tidak sampai di sana, ketika aku datang ke rumah sakit pun dia sulit kutemui, seperti pagi tadi. Seorang petugas mengatakan padaku kalau dia  sedang sangat sibuk mengurus pasien-pasien yang tinggal di bangsal rawat.

Padahal aku sangat membutuhkannya. Ada hal yang tidak bisa aku bagikan pada orang lain, meskipun itu Lisna dan Arin. Satu-satunya orang yang bisa kuajak bercerita hanya Reikhan untuk saat ini. Aku tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi padaku dan aku butuh jawaban segera.

Setelah begitu putus asa tidak tahu harus bagaimana—tidak bisa pulang, pun tidak bisa pergi bekerja—aku pun memilih melepaskan diriku. Pergi ke mana pun kakiku melangkah dan berakhir duduk sendirian di sebuah bangku panjang yang berada di tepi sebuah lapangan basket. Letaknya tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit tempat Reikhan bekerja. Tadinya aku sempat ingin pergi ke salon untuk kembali mengganti warna rambut dengan yang lebih "menyala" sebagai pereda stres, tetapi langkah kaki justru malah mengantarkanku kemari.

Lapangan basket ini sangat sepi, hanya ada aku yang duduk memandang jaring bola, ditemani suara kendaraan melintas sesekali di jalan raya depan. Mungkin karena cuaca hari ini yang memang mendung sejak pagi, sehingga tidak banyak orang beraktivitas di luar rumah.

Aku kembali membuang napas kasar ketika perasaan yang mengganjal di dadaku tidak kunjung hilang. Aku tidak tahu harus bagaimana saat ini, selain menjambak rambut sepinggangku dengan frustrasi. Harus berperang dengan perasaan ini sendirian, sangat menjengkelkan. Seharusnya Reikhan ada di sisiku dan membantu, bukan malah sulit ditemui seperti ini.

Tidak peduli dikatai gila karena aku memang sudah gila, aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Reikhan tentang bagaimanapun dia harus datang ke tempatku saat ini, atau aku akan nekat melakukan hal yang tidak akan pernah dia duga. Begitu pesan terkirim, aku langsung mematikan ponselku dan menyimpannya di dalam tas. Jika memang harus menunggu seharian di sini, aku tidak peduli dan tetap akan menunggunya datang. Sembari menunggu, yang bisa kulakukan saat ini hanya diam menyandarkan punggung di bangku, lalu menengadahkan kepala menatap langit yang kini berselimut awan kelabu. Lama kelamaan mereka menyatu dan menggumpal semakin pekat. Aku menikmati setiap detik penantianku dengan memandangi mereka berarak di atas sana.

Entah sudah berapa lama  aku menghabiskan waktu hanya dengan berdiam diri, karena ketika tersadar, langit sudah mulai menjatuhkan tangisan. Ketika biasanya dimulai dengan rintik sedu, kali ini ia langsung jatuh dengan derasnya—tanpa aba-aba. Aku yakin, akan ada banyak orang yang kelabakan karena tidak siap dengan kehadirannya.

Hujan.

Aku tersenyum tipis menyambut kehadirannya. Ternyata Tuhan sedang baik, dia memberikan obat kepadaku melalui hujan. Membiarkan mereka mengeroyok tubuhku, berharap dengan kerasnya pukulan itu, perasaan buruk yang bergelayut di dadaku beberapa hari ini akan ikut luruh bersamanya.

Kemudian tanpa bisa kucegah, air di sudut mataku juga turut menetes jatuh—tanpa bisa dicegah—ketika aku menundukkan kepala. Aku tidak tahu mengapa aku harus menangis. Apakah memang ada yang membuatku sedih? Oh, ada. Aku sedih telah membuat Ayah kecewa. Akan tetapi aku harus bagaimana? Aku takut menerima lamaran pria itu, sekalipun Ayah pasti memilihkan yang terbaik. Aku juga sedih, karena di saat aku membutuhkan seseorang yang bisa kuajak berbagi, dia malah sulit ditemui dan dihubungi. Rasanya sungguh menyesakkan. Mengapa hal seperti ini terjadi padaku? Apakah tidak cukup hanya dengan menyiksa jiwaku selama ini? Haruskah aku mati?

Tidak. Aku menggeleng cepat saat pemikiran itu terlintas di kepalaku. Tidak boleh! Aku tidak mau jatuh ke dalam kegelapan itu lagi! Reikhan pasti akan segera datang menemuiku di sini, lalu aku bisa bercerita padanya. Pasti dia ....

Aku tertegun saat melihat sepasang sepatu pantofel hitam melangkah mendekat padaku dan berhenti tepat di depan sepatu loafers cokelat yang aku kenakan. Saat itu juga hujan berhenti mengeroyok tubuh kecilku, padahal aku tahu ia jatuh semakin deras dan keras. Seulas senyuman akhirnya terbit di wajahku. Seseorang yang kunantikan akhirnya datang.

"Reikhan!" seruku riang sembari mendongak untuk melihat siapa sosok di hadapanku. Namun kegembiraan dan senyumanku itu seketika lenyap begitu melihat dengan jelas seorang pria jangkung dengan ujung rambut yang basah, berdiri di hadapanku bersama payung transparan di tangannya bukanlah Reikhan.

Aku tercengang, tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Bagaimana mungkin justru orang ini yang berada di sini dan bukannya Reikhan? Bukankah aku hanya mengatakan lokasiku berada hanya pada Reikhan, tetapi bagai mana bisa dia—.

"Kamu?!" seruku kaget, seraya  bangkit dari dudukku, berusaha menyamakan tinggi badanku dengan pria itu meskipun aku hanya mampu mencapai sebatas dadanya. Namun lagi-lagi pria itu hanya menampilkan ekspresi datarnya yang tidak bisa aku tebak.

"Sedang apa kamu di sini?" lanjutku lagi ketika pria itu tidak kunjung membuka suara.

"Ayo," ujarnya sembari mengulurkan tangan kanannya yang bebas padaku.

Aku termangu, menatap tangan dan wajah pria itu secara bergantian karena tidak mengerti. Sayangnya, belum sempat aku memberikan respons untuk kata ajakan yang dia berikan, tangan besar pria tanpa ekspresi itu sudah lebih dulu menyambar tanganku dan menariknya hingga badanku mendekat padanya. Tindakan yang mendadak  itu membuat otakku kosong selama beberapa saat. Saat tersadar, aku sudah berjalan beriringan di bawah payung yang sama dengan pria yang menggandeng tanganku erat ini.

Entah karena tubuhku yang kedinginan oleh hujan atau apa, aku merasakan genggaman tangan pria tanpa ekspresi itu begitu hangat dan nyaman saat ini. Bahkan perasaan yang sejak beberapa hari mengganjal di dadaku kini menghilang. Aku tidak tahu efek apa yang dibawa pria itu padaku, tetapi ini berimbas pada jantungku yang berdebar sangat kencang saat ini.

Belum lagi, biasanya aku selalu merasa tidak nyaman dengan sentuhan orang asing di kulitku, pun saat pria ini menarik lenganku tanpa izin di malam dia menjemputku karena Klara memiliki jadwal jaga mendadak. Akan tetapi kenapa hari ini jadi terasa berbeda? Genggaman tangannya malah membuatku nyaman, sama seperti yang kurasakan saat Reikhan yang menggenggam tanganku.

"Masuklah."

Aku tersentak kaget saat mendengar suara berat itu menyapa telinga. Kesadaranku akhirnya kembali dan entah bagaimana sekarang aku sudah berdiri di samping sebuah mobil SUV berwarna putih yang kemudian pintunya dibuka, tepat beberapa waktu setelah aku merasakan genggaman tangan pria itu dilepas.

Apa yang terjadi rasanya begitu cepat, hingga aku bahkan tidak mampu mencerna dengan baik rentetan kejadiannya. Tahu-tahu, aku sudah duduk manis di dalam mobil yang sedang melaju membelah jalanan ini.

Aku menoleh dan mendapati Azka—pria tanpa ekspresi yang berhasil menghipnosisku—sedang fokus menyetir. Matanya yang memiliki iris gelap itu menatap lurus jalanan di depan. Setelah memperhatikannya dari jarak yang agak dekat ini, aku baru menyadari kalau dia sepertinya juga kehujanan. Ujung rambutnya basah, kemudian ada jejak air di sepanjang bahu kemeja kremnya.

"Kenapa Anda yang datang menemui saya dan bukannya Reikhan?" tanyaku untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Reikhan yang memberitahu pria ini?

Pria tan—baiklah, aku akan mulai menyebutnya Azka. Dia menoleh padaku, sebelum kemudian tatapannya kembali terarah pada jalanan di depan. "Apakah itu penting?"

Aku mendengkus kesal. "Tentu saja! Aku hanya memberitahu Reikhan mengenai tempat di mana aku tengah berada tadi. Aku memintanya datang menemuiku, tetapi kenapa malah kamu yang datang? Apa Reikhan yang menyuruhmu? Dia yang memberitahukan keberadaanku padamu? Lalu, ke mana sekarang kamu akan membawaku? Kenapa—"

"Ada hal penting."

Aku berteriak frustrasi. Rasanya ketenanganku tadi sudah menguap bersamaan dengan kesadaran—atau justru kegilaan—ku yang kembali. "Hal penting apa? Kamu tidak sedang memata-matai saya, bukan? Atau kamu mau menculik saya karena saya menolak lamaranmu? Dan bagaimana mungkin aku dengan bodohnya mengikutimu? Sial!"

"Psikiater itu yang memberitahu."

Psikiater?

"Maksudmu Reikhan?" tanyaku sekali lagi. Sayangnya Azka hanya mengangkat bahunya tidak acuh. Jika benar itu Reikhan, kenapa bukan dia saja yang datang menemuiku? Kenapa malah memberitahu Azka? Dan bagaimana Reikhan bisa tahu Azka? Padahal, aku tidak pernah mengatakan apa pun soal pria ini padanya.

"Kamu dan Reikhan saling kenal? Bagaimana kalian bisa tahu satu sama lain? Apa hubungan kalian?" Aku tidak dapat menahan rasa ingin tahuku lagi. Untukku ini sangat aneh jika mereka saling mengenal. Aku mengenal Reikhan dengan baik, selama ini aku tidak pernah menjumpai Azka ada dalam lingkup lingkungan yang sama dengan Reikhan, selain fakta kalau mereka berada dalam bidang yang mirip. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

"Aku tidak kenal," tutur Azka usai menghentikan laju mobilnya di depan sebuah butik. "Kamu ganti pakaianmu dulu."

Belum sempat aku menyahut, pria itu sudah lebih dulu melepaskan sabuk pengamannya dan keluar dari mobil dengan payung di tangan. Beberapa saat kemudian, pintu mobil di sisi kiriku terbuka. Aku hanya bisa menghela napas saat ini. Tanpa ingin berpikir lagi, aku segera menyusul turun dari mobil, lalu kembali hanya mampu terdiam saat Azka kembali menggenggam erat tanganku.

****

Begitu mobil berhenti di tempat parkir, seperti orang kesetanan, aku langsung berlari memasuki rumah sakit di mana Ayah dirawat. Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata tujuan pria tanpa ekspresi itu datang menemuiku sebenarnya adalah karena ayahku masuk rumah sakit. Padahal dia sempat mengajakku membeli baju dan berganti pakaian, lalu mengajakku makan siang. Tentu hal ini membuatku sangat marah, karena bagaimana mungkin dia baru mengatakannya setelah aku melakukan semua itu. Aku seperti ditipu olehnya. Kenapa dia tidak mengatakannya di awal? Tidakkah dia tahu? Ini membuatku semakin merasa bersalah karena sempat memanjakan diri padahal Ayah tengah terbaring di rumah sakit.

Tidak peduli pada orang-orang yang menatapku aneh saat ini, aku berlari seperti orang gila mencari ruangan di mana Ayah berada, usai menanyakannya di meja informasi.

"Ayah!" seruku begitu masuk ke dalam ruang rawat Ayah yang berada di lantai 3, pintu ke-lima di sisi kiri.

Langkahku terhenti di ambang pintu yang terbuka, saat melihat Ayah yang sangat aku sayangi kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tanpa mampu kucegah, air mata kembali berjatuhan dari pelupuk mata.

"Nak? Kamu kenapa?" suara lirih Ayah terdengar saat aku berjalan mendekatinya.

"Ayah, maaf." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku saat ini, melihat bagaimana Ayah yang masih saja mengkhawatirkanku di saat seperti ini sungguh membuat tangisku pecah. Aku sangat merasa bersalah.

Kurasakan Ibu langsung memelukku erat, memberikan kehangatan dan kekuatan di atas kerapuhanku saat ini. Padahal aku tahu, beliau sendiri juga sedang tidak baik-baik saja. Setelah aku merasa lebih tenang, barulah dia membiarkan aku berbicara pada Ayah.

"Ayah yang kenapa? Kean kan sudah sering bilang, Ayah tidak boleh terlalu lelah! Ayah tidak boleh terlalu banyak pikiran! Maafkan Kean, Kean ...." Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Ini semua pasti salahku. Aku selalu membuat mereka semua khawatir hingga detik ini. Kemudian, aku merasakan kehangatan menyelimuti telapak tanganku. Ayah tersenyum hangat. Tatapan teduhnya membuatku jauh merasa lebih tenang.

"Maaf ..., Kean belum bisa menjadi anak yang baik untuk Ayah," lirihku, lalu menunduk lemah.

Kurasakan genggaman tangan Ayah semakin erat. "Kamu dan Klara adalah keajaiban terbaik yang kami punya. Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Ayah baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan memang."

"Tapi—"

"Ayah sudah baik-baik saja, Kak. Kakak tidak perlu khawatir lagi. Iya, 'kan, Yah?"

Aku menoleh ke kanan dan mendapati Klara yang berbicara di sampingku. Seolah baru tersadar akan kehadiran orang lain, aku segera mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati ada beberapa orang di ruangan ini. Termasuk Reikhan, pria itu berdiri di dekat pintu sembari menatapku. Tatapan yang tidak aku tahu apa artinya.

Kemudian aku mendapati kehadiran Bu Yuni dan Pak Husein, sehingga mau tak mau aku pun menghampiri mereka untuk bersalaman dan menyapa sebentar sebagai bentuk sopan santun. Meskipun masih tidak terlalu ramah, aku bisa merasakan kalau tatapan Bu Yuni sekarang sedikit berubah. Tidak ada lagi raut kebencian, meskipun masih ada rasa tersirat kalau beliau tidak suka padaku.

"Kamu yang tabah, ya, Nak. Kamu anak yang baik dan kuat," ujar Pak Husein usai aku menyalaminya. Aku sendiri hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasan.

"Kean, bisa Ayah bicara berdua denganmu sebentar?"

Mendengar permintaan Ayah itu aku pun mengangguk. Orang-orang sepertinya juga mengerti, sehingga tanpa perlu diminta, mereka segera keluar meninggalkan ruangan ini menyisakan aku dan Ayah saja.

Aku tersenyum menatap Ayah begitu duduk di sisinya. "Apa yang ingin Ayah bicarakan dengan Kean?"

Tatapan lembut Ayah kini sepenuhnya terarah padaku. Beliau tersenyum lemah, sorot matanya terlihat penuh harap menatapku. Ini artinya, ada hal yang Ayah inginkan dariku. Sesuatu yang sangat beliau harapkan.

"Nak ..., kamu tahu? Ayah, Ibu, Klara, kami semua sangat menyayangimu."

Aku mengangguk dan aku pun tahu hal itu. "Kean juga sayang kalian."

Kali ini Ayah tersenyum hangat, lalu tatapannya beralih ke arah lain, menerawang.

"Ayah sangat ingin kamu bahagia. Ayah juga ingin kamu memiliki seseorang yang bisa menjagamu seperti Ayah. Seseorang yang bisa kamu jadikan sandaran, setelah Ayah tidak ada."

"Ayah! Apa yang Ayah bicarakan? Ayah akan sehat dan selalu menjadi sandaran Kean!" seruku cepat. Aku tidak suka dengan kalimat terakhir yang baru saja Ayah katakan.

Ayah menoleh padaku, tangannya menggenggam tanganku erat. "Ayah ingin melihatmu menikah dan hidup bahagia, Nak."

"Ayah ...," ujarku parau. Air mata kembali membasahi pipiku. Aku kembali kacau karena rasa bersalah yang semakin bertumpuk, juga ketakutan yang diam-diam menggerogoti jiwaku. Aku tidak mau kehilangan. Aku tidak mau seseorang yang aku sayangi pergi dari hidupku.

"Boleh Ayah meminta sesuatu dengan sedikit egois satu kali saja?" Ayah terkekeh. "Kamu tahu? Nak Azka adalah pria yang baik. Dia seorang dokter spesialis jantung di rumah sakit ini, dia yang merawat Ayah selama ini. Dia juga pria yang bertanggung jawab dan Ayah yakin dia bisa membuatmu bahagia."

Aku terdiam mendengar ucapan Ayah. Jadi, Ayah sungguh mengenal pria tanpa ekspresi itu dan berharap aku menikah dengannya?

"Namun jika itu terlalu berat untukmu, Ayah hanya ingin kamu menikah dengan orang yang memang kamu cintai dan hidup bahagia."

"Mengapa Ayah begitu yakin kalau Azka pria yang baik untuk Kean?" tanyaku lirih.

Ayah tersenyum. "Karena Ayah sudah melihatnya sendiri selama ini. Ayah yakin, kalian akan berbahagia bersama."

"Apa Ayah sungguh ingin melihat Kean menikah dan bahagia?"

"Tentu saja. Orang tua mana yang tidak menginginkan hal itu? Lebih dari itu, Ayah hanya ingin melihatmu bahagia."

"Apa Ayah sungguh seyakin itu terhadap Azka?"

"Ayah yakin karena Ayah bisa melihat kesungguhan di matanya, setiap kali pria itu menyatakan keinginannya."

Aku tersenyum tipis, menyadari bahwa Ayah memang begitu yakin akan hal tersebut. "Baiklah jika itu yang Ayah mau, akan Kean lakukan. Kean akan menikah dengan Azka."

Mendengar jawabanku, binar di mata Ayah semakin terlihat bersinar. Raut bahagia terlihat jelas di wajahnya.

"Sungguh, Nak?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya terdengar ucapan penuh syukur dan raut bahagia di wajah Ayah. Ya, jika yang Ayah inginkan adalah melihat aku bahagia, maka ini keputusannya. Bagiku, melihat Ayah dan orang-orang yang kusayangi bahagia adalah kebahagiaanku. Meskipun sejujurnya, aku juga ragu, apakah ini memang sebuah keputusan atau malah keputusasaan.

TBC

Dita Xian

Banjarnegara, 29 Agustus 2021.