pluviophile
sebutan bagi mereka yang menyukai hujan, dan merasakan kedamaian saat hujan turun.
****
Hujan pagi ini bukan hanya
mengantarkan kedamaian padaku,
tetapi juga hadirmu.
****
Hari Senin pagi ini disambut oleh gerimis pertama di bulan November. Hawa dinginnya benar-benar membuat siapa pun malas beranjak dari pembaringan dan selimut tebal, atau mungkin secangkir cokelat hangat dan sebuah buku sudah cukup membantu untuk menikmati suasana seperti ini. Hal sederhana yang sungguh membuatku merasakan kedamaian.
Sayangnya, kedua kegiatan damai tersebut hanya sanggup menjadi anganku saja saat ini. Bagaimana tidak? Pagi-pagi sekali aku sudah berada di toko, duduk sendiri di balik meja kasir sambil menatap ke luar jendela kaca yang kini menyuguhkan rintik air.
Aku mendesah lelah. Bukan! Bukan karena membenci hujan. Sebaliknya, perlu kalian tahu kalau aku seorang pluviophile. Aku hanya merasa kesepian karena Lisna bilang, dia akan sedikit terlambat sampai di toko. Sementara itu, Arin saat ini tengah mengajukan cuti karena mengikuti jadwal kuliah pagi.
"Sepi ...." gumamku lesu.
Andai saja Reikhan tidak sedang sibuk, sudah pasti aku akan menghubunginya untuk membantu dan menemaniku di sini. Pria jangkung itu sudah pasti bersedia. Berbicara soal Reikhan, aku jadi teringat kegiatan jalan-jalan kami beberapa hari lalu ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Bandung untuk menonton di bioskop. Tidak akan ada yang menyangka, kalau dokter satu itu begitu penakut dan tidak bisa menonton film horor.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku yang kini menunjukkan pukul setengah sembilan lebih sepuluh menit. Itu berarti sudah dua jam lebih aku menunggu sendirian di sini. Kemungkinan Lisna datang ke toko masih lama, apalagi hujan turun semakin deras. Toko juga sudah kubuka sejak satu jam yang lalu, tetapi hingga sekarang belum ada satu pun pelanggan yang datang. Yaa ..., siapa juga yang akan pergi ke toko buku saat hujan deras seperti ini?
Aku mendesah lelah. Kesunyian semakin membelengguku. Tidak ingin membiarkan diri berpikir terlalu jauh, aku memilih untuk memutar lagu dari ponsel, berharap hal itu bisa mengusir sepi yang terus menderaikan pikiranku. Lagu Paper Umbrella milik Yesung kini menemani diriku. Alunan yang lembut, suara yang merdu, dan memiliki makna yang sedih, tetapi lagu ini sekarang dapat menerbitkan senyuman di bibirku. Tentu saja karena hal tersebut mampu memunculkan beberapa ide cerita di otakku. Tanpa menunggu lagi, kuambil note book bersampul cokelat kesayanganku yang kusimpan di tas. Membuka lembar barunya, lalu mulai menuliskan satu persatu ide itu dengan bolpoin gel berwarna merah muda dan merangkainya menjadi sebuah cerita baru yang mungkin bisa kutulis. Ini adalah cara terampuh yang kulakukan untuk membunuh sepi.
Detik demi detik berlalu, membuatku lupa akan sekitar, hingga suara lonceng yang berdenting dari arah pintu masuk membuatku segera mengangkat kepala dan menoleh ke sana.
"Lisna! Akhirnya kamu dat—" Kalimatku langsung terputus begitu mendapati seseorang yang datang bukanlah Lisna, melainkan seorang pria jangkung ber-coat cokelat dengan rambut hitamnya yang terlihat sesdikit basah.
Sesaat aku terpaku melihat pria yang kini juga menatapku dalam diam di sana. Menilik wajahnya, membuatku teringat pada pria tanpa ekspresi tempo hari yang membeli banyak buku medis. Rupanya pria itu datang lagi.
"Ah! Selamat datang di toko kami!" seruku seraya berdiri menyambut kedatangan pria itu, begitu tersadar kalau dia adalah pengunjung.
Menyambut pembeli dengan ramah memang salah satu aturan wajib di toko kami. Ini didasarkan oleh pengalamanku sendiri yang sangat tidak suka jika mendapatkan bad service dari pegawai toko. Jadi, bersikap ramah pada pembeli menjadi poin penting untukku demi kelangsungan toko buku ini dan kenyamanan semuanya.
Meskipun telah mendengar sambutanku, pria itu tetap tidak berekspresi sama sekali. Menunjukkan reaksi pun tidak. Dia hanya diam menatapku selama beberapa detik, sebelum kemudian membalikkan badan dan menghamburkan diri pada deretan rak buku. Menjengkelkan sekali bukan? Namun yang bisa kulakukan saat ini hanya menghela napas panjang, demi menahan dongkol atas sikap tidak sopan pria itu.
Kamu harus sabar, Kean .... Orang sabar, rezekinya lapang.
Aku terus berusaha mengasumsikan diri untuk berpikir positif. Mengabaikan apa yang dilakukan pria tanpa ekspresi tadi, aku kembali mendudukkan diri. Namun saat ini ide cerita dan buku catatanku sudah tidak lagi menggoda. Ide-ide yang tadinya berkumpul di kepala mendadak buyar. Kacau sudah suasana hatiku. Bahkan lagu Wild Flower yang dinyanyikan oleh penyanyi kesukaanku, saat ini sama sekali tidak bisa membangkitkan keinginanku menulis. Kekesalanku pada pria yang tengah membuka lembar demi lembar buku di pojok rak sana sangat mengusikku. Sungguh, aku sangat berharap Lisna bisa segera datang atau aku akan benar-benar mati menelan kesal.
"Kean, maaf aku datang terlambat!"
Seruan dari arah pintu masuk yang terdengar bersamaan dengan suara lonceng dan kemunculan Lisna dengan baju yang agak basah, langsung membuatku tersenyum lebar. Bahkan tanpa sadar, aku hampir berlari menubruknya dengan pelukan, kalau saja tidak ingat ada orang lain di tempat ini.
"Lisna!" seruku riang, "akhirnya kamu datang juga! Aku bisa mati kesepian di sini."
Lisna terkekeh geli, lalu menyimpan payung kuningnya di belakang pintu masuk. Dia melepas jaket hitamnya, lalu berjalan menuju loker. Setelah memakai apron toko, dia pun mebghamoiriku.
"Maaf, hujan membuatku kesulitan mencari kendaraan untuk ke sini," ujarnya dengan raut tidak enak hati Sejurus kemudian, tatapannya terarah pada deretan rak buku nomor dua sisi kanan, di mana pria tanpa ekspresi itu tengah berada. "Wah? Sudah ada pengunjung?"
Aku mengangguk lesu dengan bibir yang mengerucut sebal. Lisna yang mengerti, langsung menatapku penuh selidik.
"Ada apa?" tanyanya seraya mencondongkan sedikit tubuhnya padaku. "Apa dia mengganggumu selama aku belum ke sini?"
Aku menggeleng, lalu melirik sekilas pria yang sepertinya sama sekali tidak terganggu dengan percakapan antara aku dan Lisna. Meskipun begitu, aku tidak mau mengambil risiko. Aku membawa Lisna ke arah loker. Kuambil sebuah handuk kecil dari lokerku dan menyerahkannya pada Lisna. Gadis itu pun menerimanya dengan senang hati.
"Pelanggan itu menyebalkan!" desisku lirih sambil sesekali melihat ke arah pria itu, memastikan dia tidak sedang mendengar pembicaraan kami.
Lisna yang tengah mengeringkan rambut dan bajunya menaikkan satu alis, tanda tidak mengerti. Dia menatapku dan pria itu secara bergantian.
"Kamu mengenalnya?"
Aku langsung menggeleng.
"Tapi dia menyebalkan?"
Aku pun mengangguk cepat, kemudian menceritakan pada Lisna apa yang terjadi tadi dengan lirih. Namun reaksi yang kudapat dari gadis itu sungguh di luar dugaan. Dia malah terkekeh geli.
"Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?" tanyaku tidak senang.
Lisna menganggukkan kepalanya usai tawanya reda. "Baik-baik, dari ceritamu dia memang sedikit menyebalkan," tuturnya dan aku setuju. "Tapi dia tampan," lanjutnya lagi dengan berbisik.
Mendengar itu, secara spontan bola mataku berotasi karena kesal. "Tetap saja, dia tidak setampan Leeteuk-ku dan lebih menyebalkan dari Kyuhyun," ujarku tanpa memedulikan kalau-kalau pria itu mendengarnya. Toh, aku yakin kalaupun dia dengar, dia tidak akan mengerti apa yang sedang kami bicarakan.
Beruntungnya, percakapanku dan Lisna soal pria itu tidak berlangsung lama karena beberapa pengunjung mulai berdatangan ke toko. Ternyata hujan sudah reda dan kesibukan melayani pengunjung membuatku melupakan kekesalan yang tadi sempat tertelan karena pria tanpa ekspresi itu.
****
"Selamat sore Kakak-kakakku!"
Aku yang baru saja selesai menyusun buku baru ke rak fantasi seketika menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara nyaring yang amat kukenal. Meskipun hanya mampu melihat siluet sosoknya saja dari sudut ini, aku sudah hafal sekali siapa itu. Jadi, aku pun segera menemuinya. Benar saja, seorang gadis dengan kaus hitam berlapis jaket jin dan memiliki wajah mirip diriku itu datang sambil membawa paper bag berlogo salah satu toko kue kesukaanku. Dia sudah duduk dengan nyaman di sofa panjang berwarna cokelat tua yang berada di tengah ruangan dan digunakan untuk pengujung duduk dan membaca.
Tumben sekali bocah ini datang berkunjung ke toko sambil membawa makanan. Baru saja berpikir demikian, Reikhan yang tiba-tiba muncul dengan senyuman lebar sudah menjadi jawaban. Ya, tidak mungkin seorang Klara Rasheena—yang sialnya adalah adik kandungku satu-satunya ini—mengunjungi kakaknya dan membawa makanan.
"Ayo makan! Aku membawa makanan untuk kalian!" Reikhan menginterupsi sembari menunjukkan kantung plastik besar di tangan kanannya.
Jam memang sudah menunjukkan pukul lima sore, itulah mengapa aku sudah menutup toko dan tinggal membereskan pekerjaan untuk esok hari. Jadi, tidak heran juga jika Reikhan bisa datang berkunjung. Akan tetapi, bagaimana dia bisa bersama Klara?
Aku mendudukkan diriku di salah satu sofa panjang yang berseberangan dengan Klara. Aku langsung mendengkus sebal tatkala Klara justru beranjak dan menarik paksa Lisna yang sedang memberi label pada buku-buku baru untuk segera menghentikan kegiatannya. Tanpa sungkan, bocah itu mendudukkan Lisna di sisinya, kemudian berceloteh entah apa sambil membuka bungkusan yang dibawanya itu di meja. Sekotak cheese cake lembut kini tampak menggoda Dengan sigap, Klara memotongnya menjadi beberapa bagian, lalu menaruh salah satunya pada piring kertas yang dia bawa dan dia berikan pada Lisna. Padahal, di sini akulah kakaknya, tetapi bocah itu malah lebih memberikan perhatiannya pada Lisna.
Reikhan yang sepertinya memperhatikanku, langsung terkekeh dan mendudukkan dirinya di sisiku. "Tidak perlu cemburu begitu, Ke," ujarnya, "kami juga membawa donat kesukaanmu." Dia memperlihatkan sekotak donat dengan merek toko langgananku.
"Aku tidak cemburu!" ujarku berusaha menyangkal perkataan Reikhan.
Tangan Reikhan bergerak mengacak rambutku gemas, yang tentu saja langsung kutepis. Dia terkekeh geli lalu menyodorkan donat Oreo kesukaanku. Ini jadi terlihat seperti dia tengah menyogokku agar tidak marah dan ya, aku harus mengakui kalau itu memang sedikit berhasil, karena aku tidak akan mungkin menolak makanan manis favoritku ini.
"Bagaimana hari ini?" celetuk Reikhan usai aku menggigit donat pertamaku.
"Hari ini sedikit menyebalkan," ujarku mengingat beberapa kejadian tadi yang sungguh menghancurkan mood-ku hingga sekarang.
"Menyebalkan?" Reikhan menatapku tidak mengerti.
Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Reikhan dan memilih memakan donatku, tidak ingin mengingat hal-hal menyebalkan hari ini.
"Kean sebal dengan sikap salah satu pelanggan pagi tadi," tutur Lisna yang mungkin menyadari jika Reikhan masih membutuhkan jawaban.
Aku kembali mendengkus sebal. "Sudahlah, aku tidak ingin mengingat itu lagi. Bukan hal besar. Lebih baik kalian jelaskan padaku, bagaimana hari kalian sendiri sebagai dokter dan calon dokter?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan, usai merebut segelas kopi mocca dari tangan Klara dan meminumnya.
"Hei, Kak! Itu punyaku!" seru Klara kesal dan hanya kubalas dengan mengangkat bahu tidak peduli. Menjailinya sesekali sepertinya bukan masalah. "Lihat itu, Kak Rei! Bukankah Kakakku sangat menyebalkan?"
Reikhan terkekeh mendengar penuturan Klara. "Menyebalkan, tapi Kakak tetap sayang," sahutnya sembari mengusap kepalaku dengan lembut.
Uhuk!
"Reikhan!" teriakku kesal sembari menepis tangan pria yang mengenakan kemeja hitam itu karena ucapannya barusan membuat Lisna tersedak minumannya.
"Gara-gara Kak Reikhan, nih, Kak Lisna jadi tersedak! Tanggung jawab, gih!" omel Klara yang kini tengah menepuk punggung Lisna.
"Lah? Kok jadi aku?" ujar Reikhan tidak mengerti seraya menunjuk hidung bangirnya sendiri.
"Iya! Gara-gara kamu!"
"Iya! Gara-gara Kakak!"
Aku dan Klara kompak menyudutkan Reikhan. Sayangnya, meskipun seorang psikiater yang peka dalam menilai orang, dia tetaplah seorang pria yang pada dasarnya memang tidak peka terhadap perasaan wanita. Pria itu terlihat kebingungan mengapa kami menyalahkannya saat Lisna tersedak. Padahal sudah sangat jelas, Lisna kaget mendengar gurauan Reikhan untukku tadi. Ya, Lisna memiliki perasaan pada Reikhan.
Lisna tersenyum tipis. "Sudahlah, aku baik-baik saja," ujar Lisna usai batuknya reda. "Aku ke kamar mandi dulu, ya?" imbuhnya sebelum kemudian beranjak menuju kamar mandi toko yang berada di luar bangunan.
Aku dan Klara kompak membuang napas kasar usai kepergian Lisna. Sekarang, rasa tidak enak menyergap diriku. Bagaimana perasaan Lisna, ya?
"Bercandamu keterlaluan, Khan!" seruku kesal.
"Bercanda yang mana? Aku tidak mengerti dengan kalian bertiga," ujarnya.
"Sudahlah, lupakan saja Kak!" timpal Klara sambil mengibaskan telapak tangannya di udara.
Kali ini aku mengangguk, setuju dengan ucapan Klara. Untuk hal yang satu ini kami tidak berhak menjelaskannya. Biar Lisna saja yang bertindak, mengingat ini adalah urusan perasaan gadis itu pada Reikhan. Aku tidak berhak ikut campur terlalu jauh.
Sudah bukan rahasia lagi bagi aku, Klara, dan Arin perihal perasaan Lisna pada sahabat baikku yang sayangnya tidak peka juga, Reikhan. Aku hanya mampu mendoakan, semoga segalanya berakhir bahagia untuk mereka.
****
Setelah kedatangan Lisna dari kamar mandi, gadis itu meminta pulang duluan karena sang ayah meneleponnya. Aku mengangguk setuju, mengingat hari juga sudah semakin sore. Awalnya Reikhan berniat untuk mengantarkan aku dan Klara pulang, tetapi aku segera menolaknya karena aku membawa Si Upi, sekaligus tidak ingin membuat Lisna semakin salah paham dengan perhatian pria itu padaku. Jadi, aku pun memilih untuk pulang bersama Klara dengan Si Upi dan meminta Reikhan untuk mengantarkan Lisna saja.
Ditemani oleh sisa-sisa hujan di jalanan, aku duduk di bangku penumpang sambil tertawa mendengar cerita Klara mengenai rekan koasnya di rumah sakit. Bocah ini bilang, pria itu begitu menyebalkan dan amat mengganggu.
"Gimana aku nggak kesel coba, Kak!" seru Klara menutup akhir ceritanya.
"Suka sama kamu kali, jadi usil terus, Ra!" sahutku lalu kembali tertawa.
"Ih, enggak! No way! Aku mah ogah sama orang kayak dia yang menyebalkan sampai rasanya ingin kumutilasi!" Klara bergidik.
"Sadis, Mbak!" Aku berkomentar dan kembali tertawa.
Perjalanan pulang selama tiga puluh menit ke rumah bersama Klara seperti ini memang paling bisa menghiburku. Sayangnya, cerita dan senda gurau kami harus terhenti saat memasuki halaman rumah. Lebih tepatnya, aku yang berhenti tertawa saat melihat sebuah mobil sedan hitam terparkir di sisi halaman.
"Mobil siapa, Ra?"
Aku bertanya pada Klara yang sudah melepaskan helm di kepalanya. Gadis itu melirik mobil yang kumaksudkan, kemudian mengangkat bahu.
"Entah, mobil kolega Ayah kali?" ujarnya tidak yakin.
Aku hanya mengangguk menyetujui pendapat Kean. Usai melepas helm dan memasukkan Si Upi ke garasi, aku segera menyusul Klara masuk ke rumah. Rasanya hari ini sungguh melelahkan, aku sudah tidak sabar untuk segera mandi, solat, lalu berbaring di kasur kesayanganku.
"Assalamualaikum," seruku ceria seperti biasa begitu masuk ke dalam rumah. Akan tetapi ....
"Wa'alaikum salam."
Aku terperanjat begitu mendapati tiga orang asing tengah duduk berhadapan dengan Ayah dan Ibu di ruang tamu. Terlebih, saat mataku tanpa sengaja bertemu dengan salah seorang dari mereka.
Bagaimana pria itu bisa ada di sini?
****
Dita Xian
Banjarnegara, 23 September 2021