Nama gue, Damar Jati Diwangkara, terlalu keren menurut gue. Omong-omong soal nama, Mak Salmah biasanya langsung ceramah, sampai membuat telinga gue merah. Mungkin karena terlalu lama, tapi selalu benar adanya. "Lu tuh harusnya bersyukur punya nama bagus, nama itu doa dari orang tua buat lu jadi orang."
Mendengar ceramahnya menjadikan gue tersenyum sendiri, memangnya gue bukan orang? Ada-ada saja Mak gue. Begitulah Mak Salamah, wanita hebat yang telah melahirkan dan membesarkan gue seorang diri. Walaupun ia mantan kupu-kupu malam, tapi ia mendidik gue dengan rasa optimis yang tinggi, agar gue selalu yakin akan ada masa depan didepan sana.
Kalau gue tanya siapa abah gue, dia bilang sudah mati. Di situ kadang gue sedih, sebenarnya gue anak siapa? Atau kadang gue berpikir, abah gue adalah salah satu pelanggan Mak Salmah sehinga ia tidak tahu dengan pasti tentunya. Jadi inilah gue, anak yatim yang tidak tahu benar yatim atau bukan karena tidak tahu abahnya siapa. Mak gue, Mak Salmah walaupun mantan pelacur tapi gue bangga, karena ia tidak melacurkan harga dirinya, ia hanya melacurkan tubuhnya, terlebih enggak sampai melacurkan negara dan bangsanya.
Semenjak empat tahun lalu gue lulus SMA dan bekerja di resto D-Blue, gue meminta Mak berhenti melacur, gue ngeri dia kenapa-kenapa. Gue bekerja sambil kuliah, itupun atas dorongan Mak Salmah agar gue punya masa depan dengan pendidikan tinggi. Tahu sendiri bagaimana dunia pelacuran, penyakit kelamin yang menular, kekerasan sampai narkoba.
Gue dan Mak mengontrak disebuah rumah petak dengan ruang tamu, kamar tidur serta dapur dan kamar mandi. Jangan pikir itu mewah, rumah petak berdinding batako tanpa plester dan ubin tanpa keramik, hanya lantai diplester semen. Mau tahu luasnya? Panjang tujuh meter, lebar dua setengah meter, ruang tamu dua meter, kamar tidur tiga meter, dapur plus kamar mandi dua meter dengan lebar semuanya tentu dua setengah meter. Jadi sebenarnya itu rumah yang disekat menjadi tiga bagian, tanpa pintu di setiap ruangannya, kecuali pintu masuk utama dan kamar mandi.
Kami hidup di pinggiran kampung Surga, sedangkan di tengah kampung Surga itulah roda kehidupan bernapas. Bar elite sampai warung remang-remang pun ada. Di sinilah bisnis ilegal berkembang dengan pesat. Gue tidak tahu kenapa kampung Surga tetap ada tanpa tersentuh hukum. Berdasarkan desas desus yang terdengar, ada backing kuat terhadap kampung ini, tapi gue malas ikut mikir.
Gue kerja di resto D-Blue di kota tua. Bangunan-bangunan tua disulap menjadi kafe atau resto, sehingga terawat dan terlihat indah. Bangunan yang terbengkalai banyak terdapat di dekat terminal kota. Pernah dulu atapnya ada yang roboh, untung tidak ada korban, karena hal tersebut banyak pemulung menempati bangunan tidak berpenghuni itu untuk tinggal secara ilegal. Walaupun berbahaya tentu saja, seperti atap atau dindingnya yang bisa saja roboh kembali. Sekarang dengan penataan dan alih fungsi bangunan, membuat gedung - gedung bekas kolonial itu terlindungi, dengan renovasi yang ditangani oleh ahlinya. Membuatnya bukan hanya indah dipandang mata namun juga aman buat aktifitas.
Hari ini gue off, libur sehari dalam satu minggu. Semalam pulang jam satu dini hari, bisa tidur jam tiga pagi karena ngobrol dengan Udin. Udin ini teman gue, biasa dipanggil Gembor, entah kenapa. Dia itu sohib gue dari orok mungkin. Badannya gempal dengan pembawaan ceria seperti gue, tapi badan gue biasa. Pertemanan kami berdua sangat dekat melebihi saudara.
Kehidupan yang bebas di Kampung Surga membuat kami bebas juga, untung Mak selalu mengingatkan, boleh berteman dengan siapa saja asal jaga diri. Mimpi indah gue sepertinya harus berakhir karena dari tadi suara berisik berupa gedoran pintu tidak henti-hentinya terdengar dari luar kamar. Gue langkahkan kaki ke arah pintu dengan malas, sepertinya gue masih berasa mimpi. Pintu terbuka dan tiba-tiba muka cemberut Gembor terlihat.
"Lama amat pakai kamar gue?" ujar Gembor.
"Itu muka udah jelek, gak usah cemberut tambah jelek tau!" ucap gue sambil menguap.
"Sialan lu," ujar Gembor.
"Hai ganteng!" kata sosok perempuan di belakang Gembor.
Tubuh gue langsung bereaksi mendengar suaranya, maksud gue setelah tadi setengah mimpi sekarang terjaga, benar-benar terjaga. Memang gue biasa memakai kamar Gembor, berbagi kasur, rumah dia yang lumayan besar membuat gue sering menginap. Tapi Mak Salmah tidak suka gue menginap, karena bapaknya Gembor suka sama Mak Salmah, memang sih Mak gue masih cakep walau sudah punya anak sebesar gue.
"Eh, ada Mbak May," ucap gue dengan riang. Mbak Maya itu primadona di sini, tapi ia selalu pilih-pilih tamu. Kabarnya ia memasang tarif besar dalam sekali kencan.
"Cepetan keluar dari kamar gue, gue mau pakai!" ujar Udin Gembor tidak sabaran.
"Iya, gue ambil ponsel dulu," gue berlalu masuk dan mengambil ponsel. Ketika berbalik, gue terkejut bukan main. "Bushet, buju buneng, Gembor nggak sabaran amat," teriak gue. Saat ini Gembor mencumbui Mbak May dengan rakusnya.
"Berisik cepat sana pergi!" ujar Gembor.
"Mbak May nggak salah?" tanya gue.
"Dari semalem nggak ada yang cocok, mau coba brondong gendut, lucu kayaknya," kata Mbak May jenaka di sela-sela ciuman Gembor.
"Dam, lu mau liat gue main?" tanya Gembor dengan mata memicing.
"Najong, ogah gue," gue sedikit berlari lalu menutup pintu dengan agak keras. Mata gue lalu melihat seorang wanita keluar dari kamar Cang Burhan, bokapnya Udin Gembor. Sudah biasa pemandangan seperti ini, Cang Burhan selalu berkata akan setia bila Mak Salmah mau nikah dengannya. Sebagai mantan preman, Cang Burhan memang masih punya wibawa, sayang Mak Salmah tidak suka.
Mungkin selama ini Mak Salmah tahu kalau Cang Burhan suka tidur dengan banyak wanita. Siapa wanita yang nyaman mengetahui akan hal itu? Atau Mak punya pertimbangan lain, belum move on dari Abah, entahlah.
Gue pun keluar dari rumah Cang Burhan menuju rumah kontrakan gue, seketika langkah kaki terhenti mendengar bunyi ponsel berharga tiga ratusan ribu. Gue langsung memencet tombol hijau dan menempelkan ke telinga.
"Dam, lu dari mana aja? Mak telepon kagak diangkat-angkat?" suara Mak Salmah, dengan lantangnya membuat gue menjauhkan ponsel dari telinga. "Buju buneng Mak, gue kagak budek, kagak usah teriak - teriak!"
"Dari mana?"
"Maaf Mak tadi tidur, ponsel dimatiin."
"Dari Cang Burhan, ya?"
"Kok Mak tau?"
"Kebiasaan lu, matiin ponsel kalau tidur di kamar Gembor."
"He..he..he, cakep bener nebaknya." Gue suka sekali menggoda Mak Salmah yang pada akhirnya gue kena omelan, tapi itu gue anggap bentuk sayang dia ke gue, aneh tidak, ya?
"Cepet lu ke sini, gue SMS alamatnya!"
"Mak nggak di rumah?"
"Nggak, cepetan kemari!"
Sambungan telepon terputus dan SMS masuk dari Mak, setelah membaca alamat yang terkirim, gue langsung pulang ke rumah mengambil motor untuk ke alamat tersebut. Tidak sulit untuk sampai ke alamat yang disebutkan Mak di SMS yang dikirim tadi ke ponsel gue. Rumah yang sederhana namun pastilah lebih baik dari rumah kontrakan yang sekarang gue tempati bersama Mak Salmah. Gue memasuki pekarangan karena pagar terbuka, bahkan pintu rumah terbuka, sehingga gue bisa melihat Mak keluar menemui gue.
"Lu nggak nyasar kan, Dam?" ujar Mak Salmah.
"Nggak Mak, Damar gitu," ucap gue dengan bangga diri.
Mak menggiring gue ke dalam rumah, gue berjalan mengikutinya. "Gimana menurut lu, cakep kagak rumah ini?" tanya Mak sambil menatap gue seperti berharap.
"Lebih bagus rumah ini kemana-mana daripada rumah kontrakan kita, Mak," jawab gue dengan menelusuri rumah ini.
"Kalau lu ama gue tinggal di sini, mau nggak Dam?" tanya Mak lagi dengan mata seperti tadi.
"Orang bego kalau kagak mau, Mak," ucap gue. Sebenarnya gue agak curiga, Mak bertanya muter-muter, maksudnya apa coba?
"Kita akan tinggal di sini, bener mau ya?" ucap Mak seperti memohon.
"Memangnya ini rumah siapa, Mak?" tanya gue penasaran dari tadi.
"Teman Mak," jawab Mak.
Seingat gue, Mak selalu cerita tentang banyak hal ke gue begitupun sebaliknya. Tidak ada yang gue ingat, kalau Mak punya teman daerah sini.
"Nak Damar sudah datang?"
Gue menoleh ke arah suara di mana seorang lelaki paruh baya yang keluar dari salah satu kamar. Yang membuat terkejut adalah rambut basah habis mandi dengan hanya memakai singlet dan celana pendek. Gue juga melihat tampilan Mak yang juga basah rambutnya, seketika gue kesal dan bercampur marah. "Gue udah bilang jangan ulangi, menjadi pelacur atau simpanan pria brengsek itu!" ucap gue berapi-api.
Plak.
Plak.
Dua kali tamparan, pipi kanan kiri gue berdenyut perih dan panas, kuat juga gamparan Mak Salmah. Kenapa gue ditampar?