Lelah juga setelah mengunjungi cabang-cabang resto walau kemarin sudah berkenalan secara tidak resmi. Mempelajari laporan yang menggunung membuat kepala sepertinya sebentar lagi akan meledak. Gue perlu intermezzo, rehat sebentar agar mood balik lagi.
Saat ini kembali teringat dengan Bang Jaya, apakah sudah mendingan keadaannya. Gue tidak sempat menengoknya lagi karena isteri sah Abah tidak menyukai keberadaan kami. Mak Salmah mengalah buat pergi dari rumah sakit kemarin, kenapa ia begitu rela menyingkir dari keluarga Diwangkara? Padahal ia juga menantu keluarga ini.
Tiba-tiba terdengar ribut - ribut di luar ruangan. Sepertinya rehat tidak ada dalam kamus seorang Damar. Segera melangkah mendekati pintu, membukanya dan seketika gue mengerutkan dahi.
"Ada apa ini?" tanya gue.
Terlihat isteri sah Abah sedang berdiri dihadapan nenek-nenek yang gue nggak kenal, sedang sekretaris Bang Jaya yang sekarang menjadi sekretaris gue tampak kebingungan.
"Astaga, aku kira mereka berdusta, kamu benar-benar mirip dengan Danang," ucap nenek itu.
Terlihat binar dimatanya ketika nenek itu menoleh, lalu berjalan mendekat sambil merentangkan tangan, ingin memeluk namun gue mengundurkan diri. "Siapa Anda?" tanya gue. Nenek itu cemberut, mungkin karena penolakan yang terjadi.
"Damar, ini Oma, Ibu dari Papa mu," ucap nenek itu.
Jadi ini wanita yang membuat menantu Diwangkara sakit hati. Bisa terlihat Mamanya Bang Jaya seperti tertekan di dekat nenek-nenek ini. "Nak Damar, aku ingin bicara penting," sela mamanya Bang Jaya.
"Hei Setyawati, kamu tidak tahu, aku sedang bertemu dengan cucu ku?" bentak nenek-nenek ini.
"Ibu, saya kesini tentang....." ucapan mamanya Bang Jaya terpotong. "Diam, kamu bukan siapa-siapa lagi!" hardik nenek-nenek ini. Gue jadi kesal, walaupun dia memang nenek gue, tapi tingkahnya begitu menyebalkan.
"Ibu ini tentang Jaya, saya harus bicara dengan Nak Damar!" ucap mamanya Bang Jaya mengiba.
"Kurang ajar kamu, berani kamu pada ku?" ucap nenek-nenek menyebalkan ini.
Entah karena bicara mamanya Bang Jaya yang terlewat keras, atau memang nenek-nenek ini suka marah, ia begitu murka. Kejadian yang begitu cepat, ketika nenek-nenek itu mendekati mamanya Bang Jaya yang memejamkan mata saat tangan nenek-nenek itu melayang. Gue secara reflek bertindak maju melindungi.
Plak.
Terasa perih di pipi walau tidak begitu keras namun cukup menyakitkan. Menarik tubuh mamanya Bang Jaya ke dalam pelukan. Tamparan yang harusnya mendarat di pipinya sukses mendarat pada pipi gue.
"Damar, cucu ku, Oma tidak sengaja, hei kamu, Setyawati?" ucap nenek-nenek ini dengan amarah.
"Hentikan!" ucap gue agak keras.
"Ibu Sulis, silakan meninggalkan ruangan ini!" kata gue lagi. Bisa terlihat nenek tua itu terkejut mendengar pengusiran gue. Ia nampak kecewa sepertinya.
"Kenapa Oma yang harus pergi, bukannya Setyawati?" ujar nenek tua tidak terima.
"Karena Anda membuat keributan disini," ucap gue tegas.
"Oma hanya ingin melihat mu," ucap nenek tua pelan.
"Nak Damar?"
Om Utoro memasuki ruang dengan tergesa dan terkejut melihat keadaan di sini. Ruang ini memang tertutup dari luar. Ruangan dalam ruangan, begitulah penjabarannya, kacanya hanya bisa satu arah.
"Om Utoro bisa antarkan Ibu Sulis keluar dari ruangan ini!" ucap gue tegas.
Om Utoro segera mendekati Ibu Sulis, nenek tua itu akan protes namun gue bicara lebih dahulu.
"Gue akan ke rumah kalau Ibu Sulis ingin bertemu, minta ke Om Utoro nomer gue!" ucap gue.
Walaupun agak terdengar tidak sopan dengan kata-kata gue, nenek tua itu pergi juga. Hingga tersadar masih memeluk mamanya Bang Jaya. Kami melepasan diri dengan kecanggungan.
"Mari ke dalam Bu!" ucap gue. Mamanya Bang Jaya mengangguk dengan senyum kikuk di wajahnya. Sebelum melangkah masuk ruangan, gue berhenti.
"Ibu mau minum apa?" tanya gue pelan.
"Tidak perlu," ucap mamanya Bang Jaya. Kami akhirnya duduk di sofa yang ada di dalam ruangan ini. Masih agak canggung ketika hanya berdua seperti sekarang.
"Apa sakit?" ucap wanita paruh baya di depan gue.
Gue pertama kaget karena mamanya Bang Jaya mengelus pipi yang kegampar nenek tua tadi. Elusan lembut dan entah perasaan gue saja terasa begitu penuh kasih, membuat gue memejamkan mata. Hanya Mak Salmah yang memberi sentuhan penuh kasih walau jauh dari kata lembut.
Membuka mata ketika tidak merasakan sentuhan itu lagi. Serasa ada yang hilang. Gue merasa jadi melow karena kurang belaian, lupakan!
"Maaf karena perkataan ku tempo hari di rumah sakit?" ucap Ibu Setyawati.
"Kami sudah memaafkan dan melupakannya," ucap gue.
Itu benar, semua karena Mak Salmah yang begitu bijak menasehati gue. Sampai-sampai membuat terperangah seorang Damar Jati Diwangkara. Semoga tidak berdosa menyangsikan kebijakan seseorang yang melahirkan kita.
"Harusnya aku tidak menjauhkan ikatan persaudaraan kalian," ucap Ibu Setyawati. Mengernyitkan dahi, menjauhkan maksudnya apa? Gue diam menyimak.
"Jenguklah Abang mu, ia sangat rindu pada mu!" ucap Ibu Setyawati. Gue menatap wajah Ibu Setyawati takjub, benarkah apa yang terdengar. "Dengan Dik Salmah sekalian tentu saja, dia sepertinya juga menyayangi Jaya, kan?"
"Tentu saja, Mak Salmah bahkan lebih sayang padanya dari pada gue," ucap gue cemberut. Ibu Setyawati tersenyum. Entah apa yang terjadi hingga bertingkah seperti ingin bermanja dengan wanita paruh baya di depan ini.
"Boleh gue panggil Ibu dengan sebutan Mama, seperti Bang Jaya memanggil?" ucap gue pelan.
"Tentu, anak Bang Danang juga anak Mama juga," ucap Ibu Setyawati tenang. Ia mengulurkan tangan membelai kepala gue dan lagi-lagi mata terpejam meresapi sentuhan kasih sayang itu. "Mama selalu iri dengan Dik Salmah, ia mendapat hati Bang Danang dan tambah sempurna dengan memiliki kamu," ucap Mama Setyawati.
"Sudahlah! Kita semua keluarga, tidak ada iri-irian lagi!" kata gue sambil tersenyum.
"Dik Salmah mendidik mu dengan sangat luar biasa, semua yang ada di diri Bang Danang termasuk kebaikannya, ada pada diri mu semua," ucap Mama Setyawati.
"Gue tidak mau seperti Abah Danang," ucap gue serius. Mama Setyawati mengernyitkan dahi mendengar penuturan gue. "Kenapa?" tanya Mama Setyawati.
"Gue mau isteri cuma satu, satu saja tidak habis-habis." Tawa lepas Mama Setyawati berderai, apa ada bagian omongan gue yang lucu? Tolong kasih tahu gue!
"Damar, Bang Danang menikah dengan Mama karena perjodohan, tetapi dia berpegang teguh akan janji perkawinan, kalau kemudian dia jatuh hati ke Dik Salmah, itu bukan kesalahan, tapi takdir," ucap Mama Setyawati masih tersenyum.
Gue juga berpikir begitu, kita tidak bisa menolak ketika hati kita telah jatuh sejatuh-jatuhnya. "Sudah punya bini tapi mata jelalatan," ucap gue sambil cemberut. Mama Setyawati tertawa kembali sambil mengacak rambut gue sepertinya gemas.
"Kalau tidak jelalatan tidak akan ada kamu," ucap Mama Setyawati.
"Nggak Bang Jaya, nggak Mama sama jawabannya ," ujar gue mengerucutkan bibir.
"Cuma satu perbedaan kamu dan Bang Danang," ucap Mama masih terkikik.
"Memang ada?" tanya gue penasaran.
"Kamu ada lucunya, beda dengan Papa mu, lempeng dan kaku," ucap Mama.
"Kaku tapi bisa punya dua wanita yang selalu membelanya," ucap gue sambil menggelengkan kepala.
"Mama jadi penasaran, nanti berapa wanita yang membela dengan kelucuan mu ini?" ucap Mama dengan kerlingan menggoda.
"Apaan Mama sih?" ucap gue seperti merajuk.
Mama Setyawati kembali tertawa lepas, gue ikut tersenyum. Beruntung Abah punya dua wanita hebat, Mak Salmah dan Mama Setyawati. Betul-betul sangat beruntung, gue baru mau satu saja tidak jadi.
"Nenek tadi membuat Mama tertekan?" tanya gue hati - hati.
"Ibu Sulis itu seperti mertua pada umumnya, ingin yang terbaik buat anaknya," Mama Setyawati tersenyum tipis, gue tahu senyum itu tidak sampai matanya. "Mertua pada umumnya?" tanya gue lebih kepada ketidaksetujuan.
"Ya, seperti itu Damar," ucap Mama. Ia sepertinya ingin gue setuju dengannya, dengan mengelus pelan lengan gue lembut.
"Menyuruh anaknya menceraikan isterinya padahal ia yang menjodohkan?" tanya gue.
"Damar, Mama mandul, sedang Bang Danang itu anak satu-satunya keluarga Diwangkara," ucap Mama lembut. Gue nggak mengerti dengan pemikiran mertua Mama Setyawati dan itu nenek gue yang harus disebut. Apa yang terpikirkan nenek tua itu yang tega melukai wanita sebaik ini?
"Apakah dengan melakukan itu, nenek tua itu tahu, tidak hanya melukai Mama tetapi anaknya juga terluka?" ujar gue.
"Sudahlah! Semua sudah berlalu, kita semua baik-baik sekarang!" ucap Mama.
"Apa Mama tahu, apa yang dilakukan nenek tua itu terhadap Mak Salmah?" tanya gue. Mama Setyawati menatap gue lurus, memberi perhatian lebih terhadap pertanyaan gue. "Apa maksud mu, apa yang dilakukan Ibu Sulis terhadap Dik Salmah?"
Dengan raut wajah cemas, Mama Setyawati sepertinya tahu semua sifat nenek tua itu. "Ia menyuruh Mak Salmah hamil dan menyuruh menyerahkan anaknya kepada keluarga Diwangkara," ucap gue pelan. Terlihat Mama Setyawati begitu terkejut mendengar cerita gue, ia menutup mulutnya dengan tangannya.
"Ibu Sulis begitu mengerikan, bagaimana ia tega memisahkan ibu dari anaknya, padahal ia seorang ibu, tidak seperti Mama yang mandul?" ucap Mama Setyawati. Gue mendekat lalu mengelus punggung Mama Setyawati memberi kekuatan. "Nenek tua itu memberi sejumlah uang sebagai bentuk imbalan kepada Mak Salmah."
"Mama tahu, pasti Dik Salmah tidak mau menerima itu, karena itu dia menghilang." Mama Setyawati menghembuskan napas merasakan sesak yang sama dan menekan rasa kesal seperti gue kepada nenek tua itu.
"Jadi, setelah ini, apa Mama masih menganggap Ibu Sulis seperti mertua pada umumnya?" tanya gue. Tertawa getir bersama, kami pasti kuat menghadapi semuanya, itu yang selalu gue sugesti pada diri. "Ibu Sulis mungkin type mertua khusus dalam hal ini," ucap Mama.
Gue cuma tersenyum mendengar jawaban Mama Setyawati. Abah benar-benar pria brengsek yang beruntung dengan dua wanita istimewa di sampingnya. Sekali lagi gue menekan rasa, rasa iri terhadap keberuntungan Abah gue.