Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 12 - Bab 12 Keluarga

Chapter 12 - Bab 12 Keluarga

Karena sudah sore sampai di rumah Bang Jaya, akhirnya kami semua langsung ke meja makan. Disana sudah ada Bang Jaya duduk menanti kami. "Malam Mak Salmah!" ujar Bang Jaya akan berdiri.

"Nak Jaya jangan berdiri, sudah, sudah, nanti kecapaian!" ucap Mak Salmah. Ia menghampiri Bang Jaya. Ia membiarkan Bang Jaya mencium tangannya yang tidak pernah gue lakukan, iri? tentu saja gue iri.

"Ayo, ayo, duduk semua!" ucap Mama Setyawati lembut.

Kami semua duduk dan segera bersiap makan. Gembor tentu saja dengan mata berbinar karena melihat menu di depan matanya yang tidak mungkin dilewatkan. "Itu iler seka dulu dari mulut, nanti ngeces!" ucap gue pelan.

Gembor serta merta mengusap sudut bibirnya, seketika dia sadar bahwa gue ngerjain dia. "Sia... kurang ajar lu!" ucap Gembor. Memang enak, mau mengumpat takut dengan Mak Salmah yang melotot dan tidak enak dengan yang punya rumah.

"Gembor, lu boleh makan semua yang lu suka, tetapi habis itu cuci piring," ujar Bang Jaya.

"Depannya enak Bang, belakangnya lu tetap bully gue, heran kenapa lu jadi seperti Damar sih," ucap Gembor sewot. Mak Salmah menggeleng, Mama dan Kak Aryati tersenyum kecil, sedang Bang Jaya terkekeh, gue? tentu saja tertawa lepas. Kapan lagi melihat Gembor dikerjai Bang Jaya.

"Lu kan tahu, gue dengan Bang Jaya saudaraan, jadi saling mendukung," cetus gue sambil tertawa.

"Lu mah, saudara pembawa dampak tidak baik buat Bang Jaya," ucap Gembor asal.

"Enak saja, karena gue, Bang Jaya selalu tersenyum," ujar gue.

"Sebenarnya dia mengelus dada, melihat kegilaan lu," ucap Gembor tidak mau kalah.

"Nggak lah, justru dia suka melihat kegilaan gue," kata gue asal.

"Abang memang menunggu kegilaan Damar kemarin sebelum pingsan, tapi dia nggak mau," kekeh Bang Jaya pelan. Gue langsung diam tetapi tidak buat Gembor, dia malah tertawa tidak berkesudahan. Nggak tahu saja kemarin Bang Jaya minta apa ke gue.

"Lu tega ya Dam, Abang lu cuma minta kegilaan lu, sampai pingsan lagi, parah, parah, parah," ucap Gembor ngawur.

"Lu sono gila, gue ogah!" ucap gue sewot.

"Emang kegilaan apa Bang?" tanya Gembor kepo.

Ini anak memang kurang ajar, gue juga sama seperti Bang Jaya jadi salah tingkah kalau Gembor ingin tahu kegilaan yang menjadi masalahnya. "Gue suruh buat ngurus semua resto tapi nggak mau padahal gue lagi sakit," ucap Bang Jaya beralasan. Gue dan Bang Jaya saling tatap, hanya kami yang tahu apa yang menjadi masalahnya.

"Benar itu Dam, lu tega dengan Abang sendiri, akhirnya Nak Jaya jadi benar - benar sakit kan?" ucap Mak Salmah tiba-tiba.

"Tidak begitu Dik Salmah, Jaya memang sedang kondisinya sedang ngedrop, jadi bukan salah Damar," kata Mama Setyawati.

"Nggak bisa begitu, kalau saudara minta tolong harus ditolongi, bukan malah dicuekin," ujar Mak Salmah meninggi.

"Bukan begitu maksud Mbak, Dik Salmah...." ucap Mama Setyawati terpotong.

"Damar itu anak gue, gue tahu siapa dia, bagaimana dia, dia harus dididik agar bisa tanggap, agar kejadian Nak Jaya tidak terulang lagi," cerocos Mak Salmah panjang lebar. Semua terdiam, gue menatap Bang Jaya meminta bantuan terhadap situasi ini.

"Mak Salmah, Jaya hanya bercanda kok, Damar tidak salah, Jaya yang memang lagi sakit," ujar Bang Jaya pelan.

"Bang Jaya, gue sudah senang Mak Salmah marahi Damar, malah lu bongkar rahasia, nggak asik lu Bang." Gembor terlihat kesal. Tiba-tiba ia teriak karena Mak Salmah menjewer kupingnya dengan kejam, gue tersenyum mengejek ke arahnya.

"Mak, auww..... sakit, ampun Mak?" ujar Gembor.

"Jadi lu senang, gue darah tinggi karena marah-marah ke Damar, begitu maksud lu?" ucap Mak Salmah setelah puas memelintir kuping Gembor.

"Nggak Mak," kata Gembor mengusap telinga.

"Apa nggak?" tanya Mak Salmah galak.

"Nggak lagi berani bercanda sama Mak Salmah," ujar Gembor pelan.

Bang Jaya sampai meringis melihat betapa kejamnya Mak Salmah membuat telinga Gembor memerah. Mama Setyawati hanya tersenyum tipis begitu juga dengan Kak Aryati,. Kelakuan Mak Salmah kalau sudah keluar aslinya tidak ingat tempat juga.

"Bagaimana resto, Dam?" ucap Bang Jaya.

"Semua terkendali, walaupun kepala mau pecah, kapan Bang Jaya bisa masuk kerja?" tanya gue lesu.

"Abang lu masih sakit malah ditanyain kapan masuk kerja, mikir dong, Dam!" sela Mak Salmah. Salah lagi ngomong, padahal cuma berkeluh kesah, nasib-nasib. Gue cuma nyengir menanggapi ucapannya.

"Saya juga ikut mantau kok Bu Salmah," akhirnya Kak Aryati bersuara.

"Damainya kalau bidadari ngomong," ucap Gembor polos.

"Bidadari, apaan yang bidadari Gembor?" tanya Mak Salmah.

"Di depan gue, Mak, bidadari," ujar Gembor. Tiba-tiba ia berteriak lagi. Kali ini pipinya yang menjadi tempat tangan Mak Salmah menyarangkan cubitannya.

"Mak sadis amat, bisa mati kalau gue jadi anak tiri Mak Salmah,' ucap Gembor sambil mengusap pipi sisa kesadisan Mak Salmah.

"Siapa yang mau punya anak tiri kayak lu, ogah gue, lu punya otak pasti mesum, Nak Aryati ini mantu gue, cukup lu sama si May!" ujar Mak Salmah penuh ancaman.

"Iya Mak, cukup Mbak May yang hebat di ...." ucap Gembor tidak melanjutkan bicaranya.

"Hebat di apa, si May hebat di apa?" tanya Mak Salmah murka. Gue sebenarnya mau tertawa. Melihat Gembor tidak berkutik begitu, jadi nggak tega juga.

"Mak Salmah, maksud Gembor...." ucap gue terpotong.

"Diam lu Dam, cukup gue yang tahu bagaimana kehidupan seorang pelacur, kalian jangan," ujar Mak Salmah sendu. Paling malas kalau pakai acara melow seperti ini. Nggak tahan melihatnya, langsung gue elus punggung Mak Salmah.

Gembor ikut mengelus punggung Mak Salmah. Mama Setyawati matanya berkaca-kaca, sedang Bang Jaya dan Kak Aryati menatap prihatin. "Maafkan Gembor, Mak, maaf?" ucap Gembor pelan.

"Gue tahu lu suka yang lebih tua, Gembor, kalau lu suka si May, kawinin maksud gue, nikahin dia dengan benar, perempuan itu bukan buat pemuas nafsu tapi dilindungi dan disayangi!" Mak Salmah memberi petuah pada Gembor. Ia hanya mengangguk-angguk, gue harap ia mengerti dengan apa yang diucapkan Mak Salmah.

"Lu tahu, Abahnya Damar selalu meminta dengan baik-baik, apapun yang diinginkannya terhadap Mak, karena hal itu, Mak merasa menjadi berharga walau kami sudah menikah sekalipun," ucap Mak Salmah lembut. Gue jadi heran bagaimana Mak Salmah bisa bicara dengan selembut itu, selembut Mama Setyawati kalau bicara. Ada rasa bangga terhadap Mak, bisa menempatkan diri dengan suasana dan kondisi.

Gue sih maunya Mak Salmah dalam mode on seperti ini lebih sering, tetapi apapun diri Mak Salmah, anak lu ini tetap sayang. "Ayo, ayo, makannya dilanjutkan!" seru Mama Setyawati. Akhirnya ada yang mencairkan suasana.

"Boleh nambah ya Bu?" ucap Gembor polos.

"Gembor, lu malu-maluin gue!" ujar gue menggeleng kepala.

"Anggap Nak Gembor di rumah sendiri, ayo, ambil yang disuka!" kata Mama Setyawati.

"Dia mah, pantang pulang sebelum habis makanannya," ujar gue mencibir.

"Rezeki nggak boleh ditolak," ucap Gembor santai.

"Malu dikit apa, Gembor!" seru gue.

"Malu itu lapar," ucap Gembor asal.

"Sudah! lu berdua ribut mulu, ayo pada makan, Gembor kalau lu sanggup boleh semau lu!" kata Bang Jaya.

"Abang sepertinya sangat pengertian dari pada orang yang ngaku teman gue," sindir Gembor.

"Lu nggak disuruh saja main embat, apalagi ditawari, masuk semua ke tembolok lu," ucap gue.

"Sudah Damar, biar Nak Gembor makan sepuasnya, Mama senang kalau masakan Mama habis!" ujar Mama Setyawati. Alis mata Gembor naik turun dan tersenyum mengejek pada gue, kurang ajar memang. "Bu, jangan panggil Nak Gembor, kesannya bagaimana gitu, panggil Nak Udin!" kata Gembor

Gue dan Bang Jaya tertawa, tentu saja gue yang lebih keras, lucu banget Gembor ngomongnya. "Nak Udin!" Mama Setyawati mengulum senyum sedang Gembor memerah mukanya, malu-malu meong.

"Ngapain Mbak Setyawati harus panggil Udin, lu nggak cocok dipanggil itu, Gembor?" sela Mak Salmah heran.

"Mak Salmah lama-lama seperti Damar, suka mencela gue, Kak Aryati nggak seperti mereka kan, yang suka membully gue?" ucap Gembor sok imut.

"Itu kenapa muka lu, terus mata kedip-kedip, bintitan lu?" tanya gue.

"Sialan lu, Dam!" ucap Gembor kelepasan.

Gembor segera menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menatap ke Mak Salmah memohon. Tampaknya ia bisa bernapas lega karena Mak Salmah justru mengambil gelas di hadapannya. "Aduh, sakit Mak Salmah!" jerit Gembor.

"Lu bisa sopan nggak, lu bisa bebas ngomong di depan Damar tapi nggak di depan orang tua!" ujar Mak Salmah tegas. Ia mencubit lengan Gembor lumayan keras. Semoga ia tidak kena pasal penganiayaan setelah ini.

"Iya Mak, keceplosan," ucap Gembor sambil mengelus-elus bekas cubitan Mak Salmah.

"Sudah tidak apa-apa Dik Salmah, namanya juga anak - anak!" kata Mama Setyawati lembut seperti biasa.

"Ma, kalau sebesar bayi gorila ini disebut anak-anak, bapaknya seperti apa?" tanya gue polos.

"Dam, lu ngatain babe gue, bapaknya bayi gorila?" tanya Gembor pura-pura.

"Aduh Mak Salmah, sakit!" Suara mengaduh gue membuat Gembor tersenyum lebar sambil memeletkan lidah, puas balas dendam sepertinya. Sakit sekali cubitannya.

"Mak nggak ngajarin lu, buat ngata-ngatain yang lebih tua, sedih Abah lu kalau gue nggak bisa didik dengan baik?" ucap Mak Salmah sendu. Astaga, kenapa melow lagi? Terlihat Mama Setyawati juga ikut sedih, habis sudah pertahanan gue.

Gue memeluk Mak Salmah, meminta maaf berulang kali. "Jangan ulangi lagi!" ucap Mak Salmah. Mengangguk, mengiyakan pernyataan yang lebih mirip perintah dan harus dijalani.

"Ayo dilanjut makannya, jangan sungkan-sungkan!" ujar Gembor.

Sontak kami tertawa dengan celutukan Gembor, perusak suasana sendu, sudahlah yang penting bahagia! Keluarga, inilah yang baru gue rasakan, kehangatan dan keakraban yang terjalin dengan alami. Walau Gembor di sini hanya teman namun dia sudah seperti keluarga sendiri.

Semoga di keluarga kami saling menguatkan. Apapun badai di depan mampu kami lalui dengan baik. Semoga Tuhan selalu memayungi kami, amin.