Pagi-pagi gue harus disibukkan dengan jemputan dari nenek Sulis. Ia bahkan ikut datang. Kenapa tidak sopir saja atau naik mobil sendiri? Sudahlah dari pada berdebat dengannya!
"Damar, nanti ada pengenalan diri mu kepada seluruh pimpinan hotel dan resort dibawah bendera Diwangkara," ucap nenek Sulis. Gue hanya mengangguk kemudian menatap jalanan, apa ini yang tiap hari Abah kerjakan? Terkekang dengan jadwal padat sebagai seorang pewaris Diwangkara.
"Damar, kamu akan mendapatkan apapun, Oma pastikan itu, kamu hanya tinggal tampil di publik agar Diwangkara Group stabil," ucap nenek Sulis. Gue menoleh dan mengangguk. Semua sudah diceritakan Om Utoro secara garis besar, entah berapa besar Abah menggaji Om Utoro sehingga ia adalah pengacara sekaligus tangan kanan Abah.
"Kamu tidak nervous atau mungkin biar Oma yang akan bicara nanti!" ucap nenek Sulis lagi. Gue biasa saja, apalagi setelah mendapat pemberitahuan dari Om Utoro. Apa-apa yang musti dilakukan dan macam-macam aturan serta wewenang sebagai Diwangkara.
"Mungkin ini baru bagi mu sehingga kamu agak nervous, gugup untuk yang pertama kali adalah biasa," ucap nenek Sulis. Gue hanya mengangguk lalu sedikit tersenyum. Kemudian kembali menoleh keluar jendela.
"Damar, nanti disana kamu....." ucap nenek Sulis terpotong.
"Nenek, bisa berhenti bicara tentang nanti! Bukankah nanti nenek yang bicara? Gue tinggal berdiri di samping nenek, jadi bisa nenek tidak bicara tentang pekerjaan sekarang!" ujar gue menatap datar nenek Sulis.
"Hah baiklah, bisa panggil aku, Oma! Dan bahasa kamu bisa sedikit formal nanti disana?" ucap nenek Sulis sambil menghela napas. Gue malas bila harus merubah gaya berbicara, nanti saja disana, dan manggil Oma, lidah gue kaku kayaknya.
"Nenek tahu gue Damar, suka tidak suka ya seperti ini, gue tidak akan membuat malu nama Diwangkara, kalau itu yang sejak tadi nenek risaukan," ujar gue menatap lurus nenek Sulis.
Akhirnya adem ini telinga, dari tadi nenek Sulis bicaranya berputar-putar. Masalah pekerjaan, gue tidak keberatan sebenarnya membicarakan pekerjaan asal bukan etika atau aturan-aturan di dalam bekerja, harus begini harus begitu. Semua orang punya gaya masing-masing dalam memimpin perusahaan.
Mobil yang kami tumpangi sudah mulai memasuki area hotel. Kami tentu saja parkir di tempat khusus direksi. "Turun Damar!" seru nenek Sulis.
Gue akhirnya beranjak dari tempat duduk, keluar mobil mengikuti nenek Sulis. Di sepanjang jalan dan koridor hotel, banyak orang menyapa nenek Sulis dengan hormat. Ia hanya mengangguk sedikit dengan mata menatap lurus ke depan.
Langkah kami berhenti sebentar karena ada Om Utoro dan pengacara nenek Sulis yang kemarin gue lihat di rumah Diwangkara, menyambut kedatangan kami di depan pintu ball room. Pintu terbuka dan seketika gue lihat orang-orang di dalam berdiri menyambut nenek Sulis. Gue dan Om Utoro serta para pengacara mengekori dari belakang, nenek Sulis memasuki ruangan dengan anggun dan aura mengintimidasi.
Nenek Sulis berjalan menuju panggung kecil yang sudah disiapkan. Disana ada mimbar dan delapan kursi yang dibagi dua kiri dan kanan. Kami dipersilahkan duduk, nenek Sulis dekat mimbar dan gue di sampingnya sedang Om Utoro serta pengacara nenek Sulis di belakang kami.
Gue lihat seorang pria paruh baya mendekati mimbar, kemudian membungkuk sebentar kepada nenek Sulis. "Saya ucapkan selamat datang Ibu Sulis dan juga cucu sekaligus pewaris Diwangkara Group, Bapak Damar Jati Diwangkara," ucap pria paruh baya yang adalah pimpinan hotel ini. "Terima kasih telah menggunakan hotel ini untuk pertemuan sekaligus perkenalan cucu pendiri Diwangkara group, sekali lagi, kami ucapkan selamat datang dan terima kasih." Sebelum turun panggung pria itu kembali menunduk hormat ke arah nenek Sulis yang dibalas dengan anggukan kecil olehnya.
Nenek Sulis akan berdiri tetapi gue sudah berdiri terlebih dahulu. Ia tampak bingung, kenapa berdiri? Gue lalu menunduk sedikit memberi hormat padanya yang masih terpaku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dengan tenang menghampiri mimbar, seulas senyum gue perlihatkan di wajah, sapukan mata ke semua orang yang hadir di sini sebagai bentuk penghargaan kepada mereka.
"Terima kasih terhadap waktu yang diberikan kepada G... saya." Hampir saja kelepasan. Susah benar bicara formal, terlalu biasa ngomong seenak jidat, jadi begini belibet, menyusahkan diri. "Pertama saya ucapkan terima kasih kepada nenek saya, Ibu Sulis Diwangkara yang selama ini telah memimpin perusahaan dengan sangat baik."
"Sampai saya dirasa mampu menjadi penerusnya, maka saya baru diperkenalkan, berhubung masih baru, saya minta anda semua membantu dan membimbing saya!"
"Kenapa Ibu Sulis memilih hotel ini untuk pertemuan, karena ini adalah contoh hotel terbaik yang kita punya, jika perforna hotel ini tetap terbaik sampai akhir tahun, saya akan beri bonus tahunan lebih tinggi dari tahun lalu dan itu berlaku buat hotel dan resort yang lain," ujar gue mantap.
Ruangan yang tadinya begitu tegang, berganti dengan tepuk tangan yang riuh dari orang-orang yang hadir disini. Tampaknya mereka senang dengan bonus yang gue janjikan. "Terima kasih atas kinerja kalian selama ini, selamat atas kemajuan Diwangkara group, selamat siang semuanya," ujar gue sambil tersenyum.
Menjaga image membuat kaku seperti robot, buat hari ini boleh formal selanjutnya akan dipikiran. Gue lalu turun panggung menghampiri para pimpinan hotel dan resort, menyalami mereka satu persatu yang ternyata diikuti nenek Sulis. Setelah itu mengikutinya menuju ruangan lain yang gue perkirakan adalah ruang kerjanya.
"Selamat siang, Bu!" seru wanita dengan pakaian, astaga, seperti kupu-kupu malam kampung Surga.
"Siang," kata nenek Sulis singkat. "Susetyo, kamu bisa meninggalkan ku sekarang!" Pengacara keluarga Diwangkara itu lalu undur diri. Akhirnya hanya gue dan Om Utoro yang mengikuti nenek Sulis masuk ke ruangannya.
"Apa maksud mu memberi bonus yang lebih besar dari tahun lalu?" tanya nenek Sulis. Gue menoleh ke arah Om Utoro yang langsung mengangsurkan map yang berisi laporan. Memberikan map itu kepadanya yang langsung dibukanya dan terkejut. Ia tiba-tiba memeluk sangat erat, lalu melepasnya memberi jarak.
"Kamu memang Diwangkara, nenek bangga pada mu, laporan tadi kapan kamu membuatnya?" tanya nenek Sulis antusias.
"Tidak mau dipanggil Oma lagi?" ujar gue jahil.
"Damar, kapan kamu bisa serius?" ucap nenek Sulis kesal.
"Ini juga serius, nek," ujar gue tersenyum.
"Terserah kamu, kapan kamu membuatnya?" tanya nenek Sulis lagi.
"Nenek pasti tahu, gue menyelidiki Diwangkara group, mulai itu gue menyusun laporannya," ujar gue.
"Ya sudah, ayo makan siang, temani nenek!" ucap nenek Sulis.
"Maaf, saya permisi," kata Om Utoro menyela.
"Om Utoro tidak ingin ikut kita makan?" tanya gue.
"Maaf, saya masih ada urusan, jadi permisi," kata Om Utoro sambil mengundurkan diri.
Setelah Om Utoro meninggalkan kami, nenek mengajak gue makan di restaurant bawah. Sebenarnya gue tidak terlalu suka dengan makan seperti ini. "Kamu sepertinya tidak nyaman?" tanya nenek Sulis.
Gue menghela napas, haruskah gue jujur? "Damar tidak suka makan di resto seperti ini," ujar gue pelan. Nenek Sulis mengernyitkan dahi, dia pasti heran kenapa seseorang yang selama ini bekerja di resto tapi tidak suka makan di meja resto.
"Damar tidak terlalu suka harus bersikap gentle bila makan di resto mewah, terlalu banyak aturan," ujar gue memberi alasan.
"Tapi kamu bisa bukan?" tanya nenek tidak pelan.
"Bisa tapi tidak biasa," ujar gue sambil memasukkan makanan ke mulut.
"Kamu akan tersiksa kalau menjadi seorang Diwangkara kalau begitu," ucap nenek Sulis.
"Kalau sudah tahu kenapa nenek memaksa gue?" tanya gue tidak mengerti.
"Terus selain diri mu, siapa lagi yang akan mengurusi Diwangkara group?" ucap nenek Sulis.
Gue terdiam tidak menjawab. Sekarang benar-benar serba salah, bagaimana sekarang hidup gue? Hidup baru yang lebih rumit. "Tentang Carla, aku harap kamu mempertimbangkannya," ucap nenek Sulis.
"Siapa Carla?" ujar gue tenang.
"Salah satu gadis yang ikut makan malam," ucap nenek Sulis.
"Pasti yang kecentilan itu, gue nggak mau, kenapa bukan yang diam saja?" ujar gue asal.
"Kamu mau sama Caroline?" ucap nenek Sulis menatap lekat. Hah, salah bicara, mana mungkin gue mau dengan gadis yang ayahnya menghina Mak Salmah.
"Tidaklah, bukan type gue, pokoknya nenek Sulis tidak boleh mengurusi pribadi Damar, seperti kesepakatan kita, atau gue nggak mau mengurusi Diwangkara group?" ujar gue tegas.
"Iya, iya, dan Caroline lebih suka anak angkat itu," ucap nenek Sulis. Gue berusaha mengerti apa yang nenek Sulis bicarakan, anak angkat dan itu membuat gue gusar.
"Sudah Damar bilang, kalau nenek Sulis tidak mau menerima keluarga Damar lupakan tentang kesepakatan kita! mereka hidup Damar," ujar gue dengan menekan kata.
"Jangan marah! Aku sudah berusaha keras menerima mereka, Damar," ucap nenek Sulis sendu sambil memegang tangan gue. Menghela napas, tidak tega dengan nenek-nenek di depan.
"Baiklah, nenek harus berusaha lebih keras lagi! Seperti gue berusaha memaafkan nenek yang ingin memisahkan gue dan Mak Salmah, juga tentang Mama, Bang Jaya serta Kak Aryati," ujar gue menatap lekat nenek Sulis.
"Iya, Oma janji," ucap nenek Sulis singkat. Gue tersenyum kecut, tetap tidak mau dipanggil nenek. "Aku cuma berusaha menepati janji, tapi tidak untuk panggilan," ucap nenek Sulis kesal.
"Nenek tambah tua kalau marah-marah, lihat jadi keriput," ujar gue sambil tersenyum.
"Tidak usah merayu, Oma tidak mempan yang begitu-begitu," ucap nenek Sulis.
"Bagaimana Kakek bisa mendapatkan Nenek?" tanya gue serius.
"Tidak perlu dibahas, ayo makannya dilanjutkan, kamu masih harus ke resto kan?" ucap nenek Sulis.
Gue tidak jadi bersuara ketika melihat Kak Aryati mendatangi sebuah meja Seorang pria sepantaran Bang Jaya mempersilakannya duduk. Kak Aryati adalah sesuatu yang baru dan rasa yang tidak bisa dikendalikan itu muncul.