Pertama Mak Salmah tinggal di rumah ini, ia sebenarnya agak curiga karena Bang Jaya dan Kak Aryati tidak tinggal sekamar. Ia memilih diam tidak ingin ikut campur. Sedang Mama Setyawati sepertinya tahu akan hal itu, memilih menerima keadaan tanpa bisa berbuat lebih jauh.
Gue sepertinya harus cepat-cepat memberitahukan keputusan untuk kebaikan Bang Jaya walau nantinya agak berat bagi gue. Kejadian sore tadi sebenarnya agak mengusik gue. Kak Aryati marah itu faktanya, sudah terjadi dan harus dihadapi. Memasuki rumah dengan langkah gontai, pertama harus mencari Bang Jaya, mungkin sudah di kamarnya karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan.
Tok.
Tok.
Tok.
Gue mengetuk pintu kamar Bang Jaya. Antara gelisah menanti tanggapannya atas kejadian sore tadi dan sesuatu yang secepatnya harus diberitahukan. Pintu terbuka, wajah datar Bang Jaya membuat gue agak gugup mau menyampaikan apa yang akan diucapkan.
"Ada apa?" tanya Bang Jaya mengernyitkan dahi.
"Boleh gue.... gue masuk?" ucap gue gagap.
Bang Jaya membuka pintu kamarnya lebar-lebar menandakan boleh masuk. Dengan langkah berat gue masuk dan langsung duduk di tepian ranjang. Sepertinya nggak sanggup buat berdiri sambil berbicara.
"Ada apa?" tanya Bang Jaya lagi.
Kenapa Abang ini orangnya to the point sekali? Biarkan mengambil napas dan menata hati dulu kek! Gue menghembuskan napas berat.
"Kalau lu bertanya gue marah karena kejadian sore tadi, pasti marah?" ujar Bang Jaya. Nada bicara datar Bang Jaya justru membuat gue tambah gusar. "Aryati sudah menceritakan semua, gue memakluminya, walau berat hati terpaksa menyetujui semua tindakannya," ujar Bang Jaya sambil berjalan dan duduk di kursi bulat di kamar ini.
"Maksud Bang Jaya?" tanya gue bingung.
"Mungkin gue harus percaya padanya, ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain," ujar Bang Jaya pelan. Mendengar Bang Jaya bicara seperti itu, yang sama dengan ucapan Kak Aryati sore tadi, membuat sesuatu dalam diri gue tidak rela kalau ia sepenuhnya mandiri.
"Bang Jaya rela Kak Aryati pergi dari hidup Abang?" tanya gue hati-hati.
"Tidak sepenuhnya melepasnya, gue akan selalu mengawasinya seumur hidup," ujar Bang Jaya sambil tersenyum kecut. Mendengar kata seumur hidup membuat gue miris. Kalau tidak mau dicangkok jantungnya, entah berapa lama Bang Jaya bisa bertahan dengan jantungnya.
"Bang Jaya tidak mencintai Kak Aryati?" tanya gue. Kenapa gue tidak rela mendengar Bang Jaya akhirnya mencintainya?
"Lu tahu alasan gue menikahinya, gue selalu menganggapnya adik dan selamanya akan begitu," ujar Bang Jaya. Mendengar itu kenapa gue malah merasa lega dan ganjalan rasa bersalah itu pupus, ada semangat baru saat ini juga.
"Tidak sedikitpun Bang Jaya suka terhadap Kak Aryati? Selama ini lu berdua kan bersama, walau tidak sekamar tapi satu atap," ucap gue memastikan. Bang Jaya malah tersenyum menatap gue, apa ada pertanyaan gue yang aneh? Karena setelahnya Bang Jaya terkekeh.
"Kenapa lu tertawa?" tanya gue bingung.
"Tahu tidak? Nada bicara lu seperti curiga gue ada rasa dengan Aryati," ujar Bang Jaya masih terkekeh. Jadi serba salah dan salah tingkah mendengar penuturan Bang Jaya, hanya mengusap tengkuk yang bisa gue lakukan.
"Bang Jaya menyukai orang lain?" tanya gue spontan. Ia langsung terdiam dan gue jadi curiga. Apalagi ia mengedarkan pandangan ke arah lain, tidak berani menatap gue.
"Bau-baunya ada yang lagi jatuh cinta," ucap gue tersenyum jahil.
"Apa sih lu?" ujar Bang Jaya.
"Siapa?" tanya gue penasaran.
"Bukan siapa-siapa," ujar Bang Jaya. Dari perkataannya malah membuat gue menarik kesimpulan, Ia benar-benar mencintai perempuan itu.
"Apa rumit hubungan Abang?" tanya gue lagi.
"Sudahlah tidak perlu dibahas!" ujar Bang Jaya. Gue menatapnya prihatin, ternyata percintaannya lebih rumit dari pada gue, memang gue ada kisah percintaan?
"Apa Kak Aryati bilang kalau dia tidak suka dengan gue?" tanya gue mengalihkan pembicaraan tentang kisah cinta Bang Jaya. Ia langsung menoleh pada gue dan mengernyitkan dahi.
"Maksud lu?" tanya Bang Jaya balik.
"Ia marah karena gue tuduh selingkuh," ucap gue. Mengusap wajah dengan frustasi, gue lelah dengan kebodohan ini.
"Lu bilang Aryati selingkuh?" tanya Bang Jaya. Kenapa ada nada terkejut di pertanyaan Bang Jaya, apa gue salah bicara lagi?
"Bukannya Kak Aryati sudah menceritakan semuanya?" tanya gue bingung.
"Aryati hanya bilang lu marah, jadi?" ujar Bang Jaya menatap tajam. Astaga, kenapa gue tidak berpikir jernih, harusnya gue tanya dahulu Bang Jaya, apa yang diceritakan Kak Aryati? Gue melihat Bang Jaya dengan rasa bersalah, alamat jadi kemana-mana masalahnya.
"Lu bisa cerita sebenarnya! Ingat, gue pasti tahu lu berbohong!" ujar Bang Jaya tegas. Gue menelan ludah dengan susah payah, kenapa justru gue yang diinterogasi? Mengacak rambut kesal dan penuh frustasi.
"Seperti Abang tahu kalau gue dan nenek Sulis berangkat bersama untuk memperkenalkan gue sebagai penerus keluarga Diwangkara." Bang Jaya hanya diam tidak bersuara, menyimak penuturan dan itu membuat gue agak terintimidasi. "Gue menemani nenek Sulis makan siang dan kebetulan bertemu Kak Aryati yang bicara dengan Randu, akhirnya gue mengantar Kak Aryati ke resto."
Bang Jaya tidak sedikitpun bersuara, gue menjeda bicara untuk menata hati agar bagian pentingnya bisa diutarakan. "Entah mengapa gue marah? Gue menuduhnya selingkuh, padahal gue tahu hubungan seperti apa antara lu dan Kak Aryati, dari situ gue tahu kalau ia tidak menyukai gue," ucap gue sambil menghembuskan napas.
"Dari mana lu tahu Aryati tidak suka lu?" tanya Bang Jaya. Gue menoleh, kenapa Bang Jaya bertanya seperti itu? Semua sudah jelas, apalagi Kak Aryati yang kemarin ingin mandiri tidak bergantung pada Bang Jaya apalagi ke gue.
"Kemarin dia bilang tidak ingin bergantung pada Abang atau pada gue apalagi gue nggak suka padanya," ucap gue pelan.
"Memangnya lu benar-benar nggak suka dengan Aryati?" tanya Bang Jaya.
"Maksud Abang?" ucap gue tidak mengerti.
"Pura-pura nggak mengerti lagi, menurut Aryati, lu nggak suka dia, menurut lu bagaimana?" tanya Bang Jaya.
"Gue...." ucap gue agak ragu.
"Nggak bisa jawab? Nggak tahu mau jawab apa? Atau lu ragu menjawabnya?" tanya Bang Jaya tanpa jeda.
Kenapa Bang Jaya bicara yang membuat bungkam seribu bahasa, saat ini bingung apa yang gue inginkan. "Menikahlah dengan Aryati, hanya lu yang bisa menjaganya dan gue hanya rela lu yang melakukannya!" ujar Bang Jaya. Gue mengusap wajah frustasi, menghela napas putus asa, kenapa semua masalah ini bermuara ke situ lagi, ke situ lagi?
"Apa Abang benar-benar ingin gue menikahi Kak Aryati, tidak ada cinta di antara kami," ucap gue lesu. Tiba-tiba Bang Jaya terkekeh bahkan tertawa pelan. Memangnya ada yang salah dengan apa yang gue katakan lagi?
"Kalau tidak cinta kenapa cemburu?" ujar Bang Jaya.
"Cemburu, siapa?" tanya gue bingung. Bang Jaya menatap gue dengan pandangan menuduh. Yang benar saja?
"Gue?" tanya gue sambil menunjuk dada.
"Siapa lagi yang cemburu di sini? bukan gue pastinya," ujar Bang Jaya santai.
"Asal ngomong saja, tidak mungkinlah gue cemburu," ucap gue.
"Kenapa gue larang Aryati ketemu Randu? Karena gue takut Randu masih terobsesi dengannya, kalau lu apa alasannya? Jangan bilang karena gue? Omong kosong kalau gue alasannya," ujar Bang Jaya. Gue terdiam, kalau bukan alasan itu, alasan apa lagi?
"Gue tahu kalian berdua saling suka," ujar Bang Jaya lagi. Gue menatapnya tidak percaya. "Lu marah karena Aryati bertemu Randu dan Aryati menangis lu tuduh selingkuh, apa ada alasan selain suka? Mungkin bukan suka tapi cinta?" tanya Bang Jaya tersenyum. Gue menoleh ke arah lain, malas dengan asumsinya yang seolah yakin.
"Aryati sangat mudah dicintai begitupun lu," ujar Bang Jaya pelan.
"Kenapa bukan lu saja yang belajar mencintainya? Kalau lu bilang mudah mencintainya," ucap gue.
"Masalahnya yang disukai Aryati itu lu bukan gue," ujar Bang Jaya.
"Bagaimana Bang Jaya bisa menarik kesimpulan itu? Kalau Kak Aryati suka sama gue?" tanya gue.
"Itu lagi pertanyaan lu? Dia menangis ketika cerita lu marah," ujar Bang Jaya. Gue jadi merasa bersalah, karena emosi yang tidak terkendali membuat Kak Aryati tersakiti. Harusnya pengendalian diri lebih baik dari itu, kenapa dada sesak jadinya.
"Bang Jaya tetap mau gue yang menikahi Kak Aryati?" tanya gue pelan.
"Lu mau?" ujar Bang Jaya.
"Gue...." ucap gue berhenti. Mata menekuri lantai, dada berdetak keras. Kenapa tadi seakan yakin dengan keputusan yang sudah gue ambil tetapi sekarang malah ragu untuk mengungkapkannya?
"Tidak perlu lu memikirkan gue! Karena lu tahu seperti apa hubungan kami sebenarnya," ujar Bang Jaya pelan.
"Apabila gue setuju menikahi Kak Aryati, apa Bang Jaya mau berjanji pada gue?" ucap gue sambil menoleh. Gue bisa melihat senyum di wajah Bang Jaya, padahal baru akan mau, belum bersedia. Tidak tahu apakah yang gue lakukan ini buat kebaikan semua, tetapi yang pasti buat keselamatan Bang Jaya, ia harus secepatnya menemukan donor dan mau dioperasi.
"Apa yang harus gue janjikan buat lu?" ujar Bang Jaya masih dengan senyuman di wajahnya.
"Gue akan menikahi Kak Aryati setelah lu dioperasi," ucap gue mantap. Menatap ke arah Bang Jaya yang terkejut mendengar permintaan gue, apa ia tidak mau? Tapi gue tidak akan mundur.
"Baiklah kalau itu mau lu," ujar Bang Jaya pelan. Gue harus merasa lega atau menyesal? Telah membuat kesepakatan ini, sudah kepalang tanggung. Bang Jaya kembali terdiam, gue jadi malah menebak-nebak, apa yang ada dipikirannya? Apa dia tidak suka karena gue punya satu syarat buatnya?
Gue akhirnya beranjak tanpa berpamitan. Malam ini akan menjadi malam yang panjang, terutama buat gue untuk merenung, merenung tentang keputusan yang gue buat. Semoga benar adanya.