Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 25 - Bab 25 Kemarahan Mak Salmah

Chapter 25 - Bab 25 Kemarahan Mak Salmah

Gue dan Bang Jaya melihat kertas yang ada di tangan Mak Salmah. Kami saling memandang wajah. Kami sama-sama tahu, isi kertas itu, surat perceraian Bang Jaya dan Kak Aryati serta surat pernikahan gue dengannya.

"Nak Jaya menceraikan Nak Aryati, dan ini surat pernikahan Damar sama Nak Aryati?" tanya Mak Salmah kecewa.

"Antara saya dan Aryati memang tidak terjadi pernikahan yang sebenarnya Mak Salmah," ujar Bang Jaya tenang.

Heran disaat seperti ini, Bang Jaya bisa tenang. Kalau untuk masalah resto dan juga perusahaan, gue bisa mengendalikan diri.. Lain perkara bila menghadapi Mak Salmah, apalagi di posisi yang salah.

"Dan Mbak Setyawati tahu itu?" tanya Mak Salmah.

Bang Jaya dan Mama Setyawati mengangguk mengiyakan. Kak Aryati tampak tertunduk, dilain pihak, Om Utoro tampak menghela napas pasrah. Mak Salmah menggeleng tidak percaya.

"Mbak Setyawati harusnya membuat Nak Jaya dan Nak Aryati rukun. Bukan malah mendukung. Gue kira kalian pisah kamar karena ada masalah jadi tidak ikut campur," ujar Mak Salmah.

"Saya menikahi Aryati untuk melindunginya," kata Bang Jaya pelan.

"Apa tidak ada jalan lain selain harus menikahinya?" tanya Mak Salmah.

Bang Jaya terdiam tidak bisa mengatakan apapun. Mak Salmah kalau sudah serius begini, siapapun akan kalah berdebat dengannya. Mending diam mengalah.

"Hanya itu, yang terpikirkan saat itu, Dik Salmah," ujar Om Utoro akhirnya angkat bicara.

"Anda seorang pengacara Pak Utoro, harusnya punya banyak cara dalam hal ini, buat apa gelar Anda?" ucap Mak Salmah.

"Dik Salmah, hanya itu yang terlintas dipikiran kami," ujar Mama Setyawati.

"Mbak Setyawati, perkawinan bukan untuk main-main, itu adalah komitmen yang harus dijaga kedua belah pihak," ucap Mak Salmah.

"Maaf, itu kesalahan saya, Mak," ujar Kak Aryati. Mak Salmah melihatnya dengan tatapan tajam. Ia tidak pernah segusar ini.

"Kenapa lu serakah? Sudah ada Nak Jaya tapi juga menginginkan Damar," ucap Mak Salmah.

"Maaf," ujar Kak Aryati masih menunduk.

"Gue memang menginginkan menantu seperti lu, tapi bukan harus jadi isteri Damar dengan meninggalkan Nak Jaya, apalagi Nak Jaya perlu dijaga pasca operasi," ucap Mak Salmah.

"Saya bisa menjaga diri Mak Salmah," kata Bang Jaya.

"Nak Jaya perlu orang buat menjaga seumur hidup dan itu hanya bisa dilakukan seorang isteri," ucap Mak Salmah.

Mak Salmah tiba-tiba berdiri. Kemudian berlalu dengan mendekati koper, yang sudah ada di dekat pintu. Kenapa gue tadi tidak melihatnya?

"Mak Salmah mau kemana?" tanya gue.

"Pikirkan baik-baik! Lu merebut isteri Abang sendiri. Walaupun ia bukan Abang kandung tapi tetap ia adalah keluarga. Jangan sekalipun kalian permainkan sebuah perkawinan!" ucap Mak Salmah bergegas pergi.

Bang Jaya menahan gue yang akan mengikuti Mak Salmah. Kenapa dicegah? Mau kemana dia? Karena kami tidak punya keluarga disini, membuat gue cemas.

"Biarkan dulu! Mak Salmah sedang emosi, setelah reda baru kita kasih tahu yang sebenarnya!" ujar Bang Jaya.

"Tapi...." ucap gue meragu.

"Dik Salmah akan menginap di rumah Udin," kata Om Toro.

"Bagaimana Om Toro tahu?" tanya gue.

"Tadi Dik Salmah yang telepon minta diantar kesana, Om pergi dulu, nanti kalau sudah reda marahnya, Om kasih tahu kalian," kata Om Toro sambil berlalu.

Gue dan Bang Jaya saling berpandangan Ada-ada saja Mak Salmah, merajuknya kok jadi lucu. Kami nampaknya harus lebih sabar, menghadapi masalah ini.

"Mama jadi tidak enak dengan Dik Salmah, ia cepat sekali emosi kalau menghadapi hal yang berhubungan dengan pernikahan," ujar Mama Setyawati.

"Nanti Abang akan jelaskan, sejelas-jelasnya ke Mak Salmah," kata Bang Jaya.

"Sekarang kamu susul Aryati ke atas, Dam! Ia pasti mau ikut kabur karena merasa bersalah," ujar Mama Setyawati.

Sampai tidak sadar, kalau Kak Aryati menghilang dari ruang tamu. Dengan menghela napas, gue sedikit berlari menaiki tangga. Tidak boleh ia pergi, itu bukan kesalahannya.

Baru juga satu hari menikah, sudah banyak cobaan yang menimpa hidup kami. Mulai Mak Salmah yang emosi sampai Kak Aryati ikutan labil. Belum lagi mencari Mbak Rani yang hilang tanpa kabar.

Mungkin karena tanpa restu Mak Salmah menikahnya. Bagaimana mau minta restu kalau akhirnya seperti ini? Tapi harusnya kami berjuang dulu meminta restu Mak Salmah, walau sulit.

Melihat pintu kamar Kak Aryati terbuka. Terlihat ia memasukkan baju ke koper. "Mau kabur juga?" tanya gue dengan bersandar di daun pintu yang terbuka.

"Ceraikan aku!" ujar Kak Aryati.

Gue berjengit mendengar permintaan Kak Aryati. Baru juga kuncup belum mekar, mau layu. "Kata Mak Salmah, jangan mempermainkan pernikahan! Kita baru nikah sehari."

"Pernikahan ini salah, dulu juga salah, aku memang salah." .

"Gue tidak pernah main-main dengan perkawinan. Kak Aryati pasti tahu, kalau gue pernah menolak ide ini bukan?" ucap gue sambil mendekat.

Kak Aryati tampak berhenti sejenak. Kemudian tetap melanjutkan memasukkan bajunya ke koper. Hanya bisa menggeleng, berusaha sabar.

"Gue berpikir ribuan kali untuk bisa menerima ide ini, pertama karena gue ingin Bang Jaya mau dioperasi," ucap gue.

Kak Aryati kembali berhenti sejenak karena mendengar perkataan jujur gue "Kamu tidak perlu menikahiku! Karena Bang Jaya pasti dioperasi juga."

"Dengan mengingkari janji yang dibuat, gue bukan orang seperti itu," ucap gue.

"Pondasi pernikahan tidak akan kuat, hanya karena janji kepada seseorang," ujar Kak Aryati.

"Benar, tapi gue berjanji juga kepada Tuhan, dihari pernikahan kita, itu cukup kuat bukan?"

Kak Aryati tidak bisa menyangkal sepertinya. Janji kepada Tuhan begitu sakral bukan? Sehingga kita akan berpikir ribuan kali untuk mempermainkan perkawinan, begitu menurut gue, entah kalian.

"Kak Aryati mau melarikan diri?" tanya gue walau sudah tahu jawabannya.

"Dengar! Mungkin kita tidak secara sadar mempermainkan perkawinan, lebih baik kita hentikan ini semua!"

Membalik badan Kak Aryati. Ada keengganan ketika tubuh kami sedekat ini. Ia berusaha memundurkan badan namun gue tahan.

"Lepaskan!" ujar Kak Aryati lirih.

Genggaman tangan gue pada lengannya membuatnya tidak bisa bergerak. Ia menunduk tidak berani menatap wajah. Dengan perlahan mengambil wajahnya agar menatap ke depan, tetapi terlihat matanya malah terpejam.

"Buka mata lu, Kak Aryati!" ucap gue pelan.

Perlahan mata indah itu terbuka, Entah gue yang terhipnotis oleh mata indahnya, atau ia yang tenggelam dalam tatapan mata gue. Cukup lama kami berdiam diri dalam posisi ini, hingga gue tersenyum mengagumi keindahan di depan mata.

"Gue memang menikahi Kak Aryati karena janji kepada Bang Jaya, tapi janji gue kepada Tuhan saat pernikahan kita itu serius dan tidak main-main," ucap gue dalam.

Punggung tangan gue perlahan menyapu pipi halus Kak Aryati. Kembali menatap mata indah itu, pandangan mata kemudian jatuh kepada bibir merekah yang sepertinya mengundang ingin dicicipi. Sial sekali, kenapa darah seakan mendidih membuat tubuh terasa panas.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Aryati.

Pertanyaannya membuat lamunan liar buyar, hampir saja benar-benar terjadi. Sialnya lagi, tubuh terhuyung ke depan dari daun pintu yang gue sandari. Secepatnya berusaha menguasai diri, agar tidak limbung.

"Kak Aryati bilang apa?" tanya gue salah tingkah.

"Aku bilang ceraikan aku, tapi kamu malah diam seperti patung," ujar Kak Aryati kesal.

Ia masih berbalik dengan pekerjaan, memasukkan baju-bajunya ke kopor. Jadi dari tadi gue hanya ngelonjor, ngelamun jorok. Benar-benar menyedihkan otak ini.

"Kamu ngelamun lagi?" tanya Kak Aryati.

"Kita baru satu hari menjadi suami isteri dan mau pisah?"

"Kita tidak mendapat restu, jadi pernikahan tanpa restu itu sangat tidak baik." .

"Kita bisa berjuang untuk meyakinkan Mak Salmah!"

Kak Aryati menghela napas, menatap gue dengan sendu. "Aku sudah beberapa bulan mengenal Mak Salmah, beliau sangat teguh pendirian. Jadi tidak mungkin ia akan mudah luluh.".

"Dan kita menyerah begitu saja? Pernikahan kita layu sebelum berkembang, gagal tanpa usaha?"

"Mungkin itu lebih baik, agar Mak Salmah bisa kembali kemar, dan tidak membenciku walau aku tidak yakin untuk itu," ujar Kak Aryati.

"Atau Kak Aryati akan kembali kepada Bang Jaya?" ucap gue tidak suka.

"Mungkin," ujar Kak Aryati pelan.

"Gue tidak setuju dan tidak pernah akan setuju," ucap gue kesal.

"Kenapa? Bukannya itu yang diinginkan Mak Salmah?" ujar Kak Aryati.

"Terus, Kak Aryati tidak mau tahu keinginan gue apa?" tanya gue makin kesal.

"Damar, kita tidak boleh egois!" ujar Kak Aryati.

"Dengan mengorbankan diri kita, gue mau tanya? Kak Aryati keberatan menikah dengan gue?" Sambil memicingkan mata menatap Kak Aryati. Walau hati cemas menanti jawaban.

"Itu..... Damar, kita tidak boleh mementingkan diri sendiri!" Kak Aryati lalu berbalik, berpura-pura nembenahi pakaian yang sudah rapi di kopor. Memangnya ia pikir gue tidak tahu? Ia tidak mau menjawab pertanyaan gue.

"Kak Aryati mau benar-benar pisah dengan gue?"

"Damar, lepaskanlah aku pergi! Mungkin nanti akan ada yang lebih baik dariku.".

"Kak Aryati bilang mungkin, berarti mungkin juga, tidak ada yang lebih baik dari lu buat gue."

"Damar, tolong permudah masalah ini, please!"

"Bukannya lebih mudah kita tidak bercerai, jadi tidak perlu repot mengurus percerian?"

"Damar!" ujar Kak Aryati terlihat putus asa.

"Baiklah, kalau memang itu yang Kak Aryati inginkan.".

Kak Aryati menghela napas seperti lega. Apakah dia merasa bebas berpisah dengan gue? Batin berteriak ketika mulut mengiyakan.

"Kak Aryati tidak menyesal berpisah dengan gue?" ucap gue berusaha menggoyahkan pikirannya.

"Demi kebaikan bersama."

"Tapi ada syaratnya?" ucap gue tersenyum sok misteri.

"Apa?" tanya Kak Aryati cepat.

"Gue minta hak gue sekarang sebagai suami," ucap gue puas.

"Damar! Kebanyakan bergaul dengan Gembor, jadi mesum kamu?" ujar Kak Aryati marah.

"Ada baiknya juga punya teman seperti dia."

"Damar, jangan mendekat! Atau...." ujar Kak Aryati mengancam.

"Atau apa?" Gue bisa melihat wajah pucat Kak Aryati. Ketika semakin mendekat, tubuhnya bergetar hebat.