Sebenarnya, ciuman gue dan Kak Aryati itu adalah yang pertama. Tapi tampaknya hal itu tidak akan membahas disini. Ada yang lebih penting.
Gue ataupun Kak Aryati dan Mbak Rani pasti tahu, bahwa Bang Jaya sangat terkejut dengan pertanyaan ini. Ia berusaha menenangkan dirinya. Namun kelihatan itu masih mengganggunya.
"Bang!" ucap gue tidak sabar.
"Dari mana kamu tahu?" tanya Bang Jaya dengan tatapan tidak fokus.
"Jadi benar lu ada hubungan dengan Caroline?" tanya gue ingin kepastian.
"Dulu setelah meninggalnya Papa, gue yang terpuruk dan tahu tentang lu menjadi hilang kontrol," ujar Bang Jaya lirih.
"Hubungannya dengan Caroline?" tanya gue malas berputar-putar.
Bang Jaya menghela napas frustasi. Memang ini adalah hal berat yang tampaknya membebani pikirannya. Berkali-kali ia mengusap wajah.
"Kami dijodohkan," ujar Bang Jaya menunduk.
Tampaknya bukan gue saja yang terkejut. Kak Aryati dan Mbak Rani tampak menutup mulut tidak percaya dengan berita ini. Bang Jaya semakin tertunduk.
"Tapi kenapa lu nikah dengan Kak Aryati?" tanya gue.
"Om Utoro dan Mama selalu mendorong gue agar bisa kokoh berdiri," ujar Bang Jaya.
"Tidak nyambung banget, gue tanya kenapa malah lu menikahi Kak Aryati?" ucap gue kesal.
"Gue dipaksa menerima perjodohan itu ketika Papa sakit, gue terpaksa menerimanya," ujar Bang Jaya.
"Bang Jaya!" ucap gue meninggi.
"Hanya cara itu agar gue nggak nikah sama Caroline, maaf Aryati," ujar Bang Jaya sendu.
"Jadi bukan karena Abang mau menjauhkan Kak Aryati dari Randu dan menyelamatkan panti" tanya gue menuduh.
Bang Jaya hanya bisa menunduk pasrah. Terlihat Kak Aryati tampak kecewa. Gue lalu meremas tangan Kak Aryati lembut dan tersenyum. Semoga mampu memberi kenyaman setelah mendengar kenyataan ini.
"Ada hal lain diluar itu yang masih Abang sembunyikan?" tanya gue menyelidik.
Bang Jaya menengadahkan wajah. Seperti memohon untuk mengakhiri pertanyaan berat ini. Tapi semua belum selesai.
"Katakan!" ucap gue singkat.
"Damar sudah!" kata Kak Aryati
Entah bagaimana gue sekarang mampu mengitimidasi lawan bicara. Mungkin karena terbiasa karena pekerjaan yang sering menuntut itu. Walau tidak tega tapi cukup berguna dalam hal ini. Jadi gue bisa melihat kalau Bang Jaya masih menyembunyikan fakta sebenarnya.
"Berapa kali Abang tidur dengan Caroline?" tanya gue datar.
"Damar!" ujar Bang Jaya meninggi.
Gue lihat Bang Jaya mengepalkan tangan dan rahangnya mengeras. Kak Aryati memegang lengan gue agar gue berhenti bertanya. Mbak Rani tampak menggeleng tidak percaya.
"Itukah alasan mengapa Bang Jaya tidak pernah menyentuh Kak Aryati, merasa bersalah?" tanya gue semakin menjadi.
"Itu tidak benar, gue mencintai orang lain," ujar Bang Jaya kelepasan.
"Gue jadi ingin tahu bagaimana reaksi wanita itu, bila tahu Abang pernah tidur dengan perempuan lain," ucap gue santai.
"Please Dam, hentikan!" Bang Jaya semakin frustasi. Ia tertunduk lemah, gue jadi iba. Apalagi menginterogasinya di depan Mbak Rani.
"Abang frustasi, karena cinta Abang kepada wanita itu tidak akan tersampaikan, hingga melampiaskannya dengan meniduri Caroline?" tanya gue masih penasaran.
Sebelumnya gue telah mengirim pesan ke Om Utoro tentang masalah ini. Dan terkejut dengan kenyataan yang terjadi., Tapi perlu kejujuran Bang Jaya di sini, untuk meluruskan serta mungkin membantunya.
"Tidak seperti itu, gue tahu salah," ujar Bang Jaya lemah.
"Kami ingin tahu kebenarannya!" ucap gue pelan.
"Maafkan gue," ujar Bang Jaya tidak berdaya.
"Kalau Kak Aryati mungkin secepatnya memaafkan Abang, apalagi sekarang dapat suami seganteng gue," ucap gue santai.
Seketika genggaman tangan Kak Aryati terlepas. Menoleh dan mendapati wajahnya merona, entah malu atau apa? Tapi sepertinya ocehan gue tidak berpengaruh ke Bang Jaya yang masih tampak kacau dan Mbak Rani tetap biasa atau berusaha mengendalikan diri.
"Terus kenapa Bang Jaya meniduri Caroline?" tanya gue lagi.
"Papa meninggal, resto goyang dan gue tidak mungkin memilikinya," ujar Bang Jaya pelan.
Gue menatap Bang Jaya tidak percaya. Hanya karena itu ia lepas kontrol? Benar-benar di luar kewajaran.
"Saat itu masih labil, hingga Caroline memanfaatkan gue yang sedang mabuk," ujar Bang Jaya lemah.
"Apapun itu harusnya Abang bertanggung jawab," ucap gue.
Bang Jaya menengadahkan wajah, lalu menggeleng. Ia tidak sependapat dengan gue. Bagaimana seorang pria meniduri wanita namun tidak mau tanggung jawab?
"Lu mau gue tanggung jawab, sedangkan Caroline menjebak gue, bahkan ia sudah terbiasa tidur dengan laki-laki?" ujar Bang Jaya kembali emosi.
"Bagaimana Abang tahu Caroline seperti itu?" tanya gue.
"Om Utoro menyelidikinya, ia punya semua bukti, ia juga yang melarang gue untuk menikahi Caroline," ujar Bang Jaya kembali tenang setelah menghela napas.
"Bapak tidak menikahi Caroline cuma karena pernah tidur dengan pria sebelumnya?" tanya Mbak Rani tiba-tiba.
Gue dan Bang Jaya menoleh. Mbak Rani yang tadi diam, akhirnya ikut bersuara. Tapi pertanyaannya membuat mengernyitkan dahi.
"Kamu mau aku menikahi Caroline?" tanya Bang Jaya sendu.
Mbak Rani tidak menjawab. Matanya tidak fokus dan menghindari bersitatap dengan Bang Jaya. Gue jadi seperti melihat drama di televisi.
"Aku akan melakukan apapun yang kamu perintahkan, kamu tinggal bilang," ujar Bang Jaya.
"Berapa kali Bapak tidur dengan Caroline?" kata Mbak Rani pelan.
Bang Jaya terkejut begitu juga dengan gue. Mbak Rani berani menanyakan itu. Kini ia menatap lekat dengan yang dituju.
"Untuk apa kamu tahu? Tidak ada bukan?" ujar Bang Jaya lemah.
"Berapa kali?" tanya Mbak Rani yang kali ini lebih menantang.
Bang Jaya tertawa miris sambil menggeleng kepala. Sepertinya tidak percaya dengan kengototan Mbak Rani. Gue sendiri juga heran.
"Untuk apa kamu begitu ingin tahu?" tanya Bang Jaya.
"Agar wanita yang Abang cintai tahu, seberapa besar kejujuran lu," ucap gue langsung.
Bang Jaya terkejut. Mbak Rani tampak tidak mengerti dengan ucapan gue. Terlihat ia menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Jadi, katakan Bang!" ucap gue.
"Tentu saja satu kali, itupun dalam keadaan tidak sadar," ujar Bang Jaya.
"Jadi bagaimana Mbak Rani,? Abang gue yang frustasi telah jujur," ucap gue.
Bang Jaya menatap kesal karena ucapan gue yang benar adanya. Senyum miring tertuju padanya. Lalu beralih menatap Mbak Rani yang terdiam.
"Maksud Pak Damar?" tanya Mbak Rani bingung.
Kalau tidak melihat Bang Jaya frustasi, sudah gue tinggal mereka berdua untuk bicara, tapi sepertinya ia butuh bantuan. Dapat Kak Aryati juga karena andilnya, jadi gue berusaha menyatukan mereka. Hubungan mereka akan begitu saja kalau tidak ada orang lain yang ikut campur.
"Mbak Rani masih mau menerima Bang Jaya yang kotor ini?" tanya gue pelan.
Kak Aryati langsung memegang tangan gue karena pertanyaan spontan gue. Seakan meminta gue untuk tidak asal bicara, ia mengeratkan genggaman. Bang Jaya tampak menatap tajam.
"Damar, lu!" ujar Bang Jaya tidak terima.
"Apa?" tanya gue.
Bang Jaya tertunduk pasrah. Ia tidak terima namun tidak bisa berbuat apa-apa. Gue kembali menatap Mbak Rani.
"Jadi, bagaimana Mbak Rani?" tanya gue ulang.
"Saya.... saya ..." kata Mbak Rani tergagap.
"Sudah nasib lu, Bang, Mbak Rani jijik sama lu," ucap gue memanasi.
"Gue memang tidak pantas buat kamu, Rani," ujar Bang Jaya masih menunduk.
Mbak Rani tampak ingin bicara tapi tidak jadi. Begitu terus, gue jadi kesal melihatnya. Berdua buat susah saja.
"Jadi Abang tidak akan bersalah kepada mendiang suami Mbak Rani, karena ia yang tidak mau dengan Abang," ucap gue.
Lengan terasa diremas. Gue menoleh dan tersenyum agar Kak Aryati percaya dengan usaha ini. Perlu sesuatu yang besar untuk menyatukan mereka.
"Bukan begitu Pak Damar," kata Mbak Rani akhirnya.
"Maksud Mbak Rani?" tanya gue memancing.
"Saya tidak mempermasalahkan masa lalu Pak Jaya," kata Mbak Rani yang kini menunduk.
Gue tersenyum dan menoleh. Terlihat Kak Aryati juga tersenyum, usaha gue berhasil bukan? Bang Jaya menengadahkan wajah, ia terkejut sepertinya dengan perkataan Mbak Rani. Gue malah kesal, kenapa Bang Jaya malah diam? Bukannya bertanya lebih lanjut.
"Mbak Rani maksudnya bagaimana?" tanya gue tidak sabar.
Jawaban Mbak Rani sangat berarti buat hidup Bang Jaya tentu saja. Di samping kebahagiaan dan kelangsungan hubungan gue dan Kak Aryati. Jadi seperti simbiosis mutualisme, sama-sama untung.
"Saya, saya akan menjalankan wasiat mendiang Mas Haris," kata Mbak Rani bergetar.
"Benarkah, kamu akan bersedia...." ujar Bang Jaya antusias.
"Mbak Rani, bisa tukar tempat duduk?" ucap gue.
Bang Jaya dan Mbak Rani tampak bingung. Gue langsung berdiri sehingga ia ikut berdiri, setelahnya kami tukar tempat. Mereka masih tidak mengerti.
"Jadi Mbak Rani?" tanya gue memastikan.
"Kenapa kalau cuma bertanya itu lagi harus pindah tempat, penting banget pindah tempat?" ujar Bang Jaya kesal.
"Abang dan Mbak Rani belum halal jadi tidak boleh dekat-dekat," ucap gue santai.
"Maksud lu?" tanya Bang Jaya tambah tidak terima.
"Abang lagi labil, tadi sedih sekarang antusias, dekat-dekat Mbak Rani bahaya," ucap gue.
"Bahaya, bagaimana bisa?" ujar Bang Jaya sewot.
"Bang Jaya mau peluk Mbak Rani kan?" tanya gue jahil.
Bang Jaya membelalakkan mata. Mbak Rani tampak merona lalu menunduk. Gue menaik turunkan alis.
"Lu ngomong sembarangan, memangnya lu, yang nyosor si Aryati nggak tahu tempat," ujar Bang Jaya.
Melirik Kak Aryati yang meringis mendapat ujaran dari Bang Jaya. Gue santai menanggapinya. Laki-laki mana ada yang tahan dekat wanita cantik, sah lagi?
"Kan sudah halal, jadi nggak masalah, betulkan sayang?" ucap gue tersenyum manis ke Kak Aryati.
Kak Aryati hanya menghela napas dan menggeleng melihat kelakuan gue. Bang Jaya menyibir dengan kentara. Mbak Rani tersenyum tipis.
"Jijik gue dengarnya Dam," ujar Bang Jaya.
"Memangnya Bang Jaya tidak pernah merayu Mbak Rani?" tanya gue.
"Apaan sih?" ujar Bang Jaya.
"Mosok Bang Jaya tidak pernah merayu orang yang dicintai," ucap gue.
Kak Aryati dan Mbak Rani tampak menatap Bang Jaya. Menunggu jawaban yang belum terjawab sampai sekarang. Tentang wanita yang dicintainya, sedang gue cuma butuh penegasan.
"Bang Jaya mencintai Mbak Rani sejak dulu?" tanya Kak Aryati tiba-tiba.
Bang Jaya tampak bungkam dan sesekali melirik Mbak Rani yang terkejut. Gue ingin memaksanya tapi itu terasa tidak perlu. Biarlah itu menjadi urusan mereka! Paling tidak gue sudah menyatukan mereka.
Memang belum terjawab apakah wanita itu, benar Mbak Rani adanya atau ada wanita lain. Menurut gue sih memang dia. Terjawab ataupun tidak, akhirnya kami bermuara kepada kebahagiaan, walau semua itu butuh proses yang panjang tentu saja.