Gue dan Bang Jaya saling pandang. Bukan Caroline yang itu kan? Mata kami seakan menyuarakan hal yang sama. Tidak mungkin ia melahirkan, apalagi di kamar kelas dua.
"Pak, Ibu Caroline dipersilakan makan dulu!"
Itu adalah suara karyawan pengantar makanan untuk yang kedua kali. Gue sangat penasaran, siapa Caroline ini? Tirai yang memutari tempat tidur, sekaligus pembatas antar pasien, membuat tidak bisa melihat dengan jelas wajah pasien lain.
"Ihh, resek bener, gue lagi nonton film nih."
Seketika gue dan Bang Jaya saling pandang, melebarkan mata, suara itu? Mama Setyawati, Mbak Rani dan Kak Aryati juga ikut terdiam, sepertinya mereka mengenali suara itu. Kami tahu pasien di seberang.
"Makan dulu!" .
Menoleh ke Kak Aryati. Ia sepertinya satu pemikiran dengan gue. Suara pria itu sangat mirip dengan yang kami kenal.
"Sudah gue bilang VIP, bukan kamar kelas dua kaya gini. Gue bisa bayar sendiri kalau lu nggak bisa bayar." Wanita yang suaranya mirip Caroline itu protes.
"Bagaimana kalau keluarga mu tahu?" Pria yang bersamanya bicara pelan. Gue semakin yakin dengan prasangka ini.
Memberi isyarat pada Bang Jaya, untuk melihat dan menguak kebenaran. Kami bergerak menuju tirai yang tertutup, Begitu tirai gue sibak, penasaran terjawab.
"Caroline?" ujar Bang Jaya yang sama terkejutnya dengan gue.
"Pak Damar!" Randu berkata gagap dan sangat terkejut melihat kedatangan kami. Caroline tadinya kaget, waktu berikutnya menatap malas ke arah gue dan Bang Jaya. Sedang pria bersamanya benar-benar memucat wajahnya, terlihat peluh di wajahnya padahal kamar inap ini memakai AC sentral yang lumayan dingin.
"Kalian bisa jelaskan!" ucap gue datar.
Randu menunduk takut-takut. Caroline memutar bola matanya jengah. Ia malah memainkan ponselnya, seakan tidak peduli dengan yang terjadi.
"Kalau kalian diam, gue akan telepon Om Prasojo, papa lu," ucap gue pelan.
"Lu senang kan Jaya?" tanya Caroline tidak mengindahkan gue.
Bang Jaya diam tanpa kata. Gue menghela napas menahan marah. Randu masih tertunduk tidak bicara.
"Caroline, lu bisa ngomong sekarang! Apa yang terjadi?" ucap gue setelah bisa mengontrol emosi.
"Gue melahirkan, lu tahu kan ini rumah sakit apa?" tanya Caroline sinis.
Gue baru benar-benar tahu sifat asli Caroline. Padahal setiap berkunjung ke rumah besar, ia terlalu banyak diam. Hampir tidak percaya dengan laporan Om Utoro tentang dia.
"Siapa yang menghamili lu?" tanya gue pelan.
"Apa urusan lu?" tanya Caroline balik.
"Gue bagian keluarga Diwangkara kalau lu lupa, setiap yang berhubungan keluarga ini menjadi perhatian gue," ucap gue pelan.
"Gue lupa, lu cucu yang hilang," ujar Caroline sinis.
"Gue memang hanya anak dari pernikahan siri, Siapa ayah dari anak lu?" tanya gue langsung.
Caroline diam memalingkan wajah. Randu tampak semakin gelisah. Gue sepertinya tahu duduk masalahnya, tapi ucapan mereka sangat diperlukan.
"Caroline!" ucap gue tidak sabar.
"Gue tidak tahu, siapa ayah anak itu," ujar Caroline acuh.
"Kalau lu tidak mau ngomong, gue benar-benar telepon Om Prasojo!" ucap gue sambil mengelurkan ponsel dari saku celana.
"Saya, ayah bayi itu, Pak Damar," kata Randu bergetar.
"Udah dibilang, bukan hanya lu yang tidur dengan gue, Randu," ujar Caroline meninggi.
Gue menatap keduanya bergantian. Caroline dengan penyangkalannya. Randu dengan ketakutannya yang kentara.
"Kita bisa tes DNA! Jadi bisa tahu, itu bayi Randu atau bukan," ucap gue tegas.
"Kenapa lu ribet amat? Ini hidup gue," ujar Caroline kesal.
"Kita tahu, lu hanya tidur dengan tiga laki-laki, mantan pacar, si brengsek yang merusak hidup lu, laki-laki yang kita tahu siapa, dan Randu tentu saja," ucap gue datar.
"Lu mata-matai gue?" tanya Caroline marah.
"Jadi Randu, apa kamu bisa menikahi Caroline?" ucap gue tidak menanggapi protes darinya.
"Gue tidak mau menikah dengan Randu," ujar Caroline cepat.
"Randu!" ucap gue meninggi.
"Si-si-ap, Pak," kata Randu terbata.
Menghela napas lega. Kenapa Randu menganggap gue atasannya, di situasi seperti ini? Sebegitu menakutkannya seorang Damar Jati Diwangkara?
"Gue tidak mau menikah dengannya," ujar Caroline kesal.
"Kalau lu tidak mau menikah dengan Randu, semua fasilitas gue cabut," ucap gue datar.
"Lu bisa apa?" tanya Caroline menantang.
"Gue tinggal telepon Om Utoro, untuk menghubungi pengacara keluarga Diwangkara," ucap gue.
"Resek banget sih, lu," ujar Caroline.
"Fasilitas lu bisa gue alihkan, ke keponakan yang baru lahir," ucap gue santai.
Caroline menatap nanar ke arah gue. Ia menggeleng tidak percaya. Diam tapi menggerutu tidak jelas.
"Bagaimana Caroline?" ucap gue.
"Caroline!" seru gue meninggi.
"Bodo," ujar Caroline pelan.
"Om Utoro," ucap gue.
Caroline menatap kesal. Padahal gue hanya pura-pura menempelkan ponsel ke telinga. Ia sudah seperti cacing kepanasan.
"Baik-baik, gue menikah dengan Randu, puas lu?" ujar Caroline.
Gue menjauhkan ponsel dari telinga. Melirik Randu yang tampak senang namun ditahan. Caroline memasang wajah cemberut di muka pucatnya.
"Kita akan berkumpul di rumah besar! Begitu lu keluar dari sini, untuk sementara tinggal di apartemen! Akan disediakan asisten yang akan memenuhi kebutuhan," ucap gue panjang lebar.
"Lu mau atur hidup gue?" tanya Caroline tidak terima.
"Untuk sementara iya, setelah menikah itu menjadi urusan Randu," ucap gue.
"Maaf bapak-bapak dan ibu-ibu, jam kunjungan habis." Suara perawat memberitahukan bahwa kami harus pergi keluar ruang rawat inap. Ia menunggu kami semua beranjak.
"Perlakukan anak itu dengan baik! Patuhi Randu! Atau gue akan membuat lu sangat-sangat menyesal!" ucap gue mengancam.
Caroline diam tidak bersuara. Gue tahu ia sangat tidak terima dengan keputusan ini. Tapi ia tidak punya pilihan.
"Ayo Bang, kita keluar!" ucap gue sambil beranjak pergi.
Bang Jaya mengikuti gue pergi. Ternyata semuanya telah menunggu di depan pintu masuk, Setelah pamitan dengan Mbak May, kami ke luar dari ruang inap.
Gue dan Bang Jaya berjalan beriringan di belakang. "Abang lega?" Pertanyaan yang sejak tadi tersimpan, akhirnya tersampaikan.
"Entahlah, gue masih tidak percaya dengan yang terjadi," ujar Bang Jaya.
"Gue percaya Abang."
"Terima kasih, lu percaya gue."
"Untung Mbak Rani mau menerima Abang."
"Itu yang dari dulu, gue takutkan."
"Bukan salah Abang sepenuhnya peristiwa itu."
"Gue berusaha menerima peristiwa itu sebagai masa lalu, gue banyak belajar dari lu dan Mak Salmah."
"Hanya berusaha kuat dan semoga selalu begitu."
"Gue dan Rani harus balik ke resto."
Gue mengangguk. Ia berjalan cepat, pamitan dengan ibu-ibu cantik. Bang Jaya dan Mbak Rani berpisah dengan kami. Mama Setyawati dan Mak Salmah pulang dengan naik taxi, karena gue dan Kak Aryati mampir ke rumah Gembor, untuk mengambil mobilnya yang tertinggal disana.
"Bagaimana penampilan gue tadi?" tanya gue setelah kami duduk di dalam mobil.
"Aku tidak yakin, tadi itu kamu yang berbicara," ujar Kak Aryati.
"Hebatkan suaminya?" ucap gue sambil menaik turunkan alis mata.
"Aku kagum."
"Cuma kagum?" ucap gue tidak terima.
"Terus?"
"Kasih hadiah kek, cuma kagum," ucap gue menggerutu.
"Hadiah, apa?".
"Peluk dan cium," ucap gue sambil tersenyum merentangkan tangan.
"Mesum," ujar Kak Aryati sambil memukul lengan gue.
Tok.
Tok.
Mengganggu saja ini satpam. Begitu gue menoleh tampak Randu berdiri kikuk. Membuka kaca mobil dan menatap dengan heran.
"Kenapa? Lu nggak menjagai Caroline?" ucap gue berubah serius.
"Jam kunjungan habis, tidak diperkenankan menunggu di dalam, termasuk suami," kata Randu masih kikuk.
"Lalu ada apa?" ucap gue pelan.
Kalau gue lebih serius, bisa gemetar si Randu. Jadi merasa bersalah kalau itu terjadi. Sedapat mungkin memasang wajah biasa.
"Terima kasih atas bantuannya, Pak Damar," ujar Randu.
Mengernyitkan dahi dan sejurus kemudian mengerti, dengan ucapan terima kasih itu. Gue hanya memperjuangkan saudara sepupu. Tapi sepertinya lebih berdampak pada Randu.
"Aku hanya ingin Caroline lebih bertanggung jawab. Kamu sebagai laki-laki harus sedikit keras terhadapnya! Pasti dia akan menurut," ucap gue.
"Baik Pak Damar, akan saya coba," ujar Randu.
"Jangan di coba, tetapi dilakukan!" ucap gue tegas.
"Siap Pak," ujar Randu.
Gue menghela napas. Kapan sikap di kantor dengan luar kantor, bisa berbeda si Randu ini? Tampaknya akan sulit untuk dirubah.
"Kenapa lagi?" tanya gue ketika Randu tampak ingin bersuara namun ragu-ragu.
Saya ucapkan, semoga selalu berbahagia Bapak Damar dan Ibu Aryati," ujar Randu terlalu sopan.
"Terima kasih, bahagiakan Caroline atau kamu akan saya pecat!" ucap gue.
"Siap Pak, saya permisi," ujar Randu lalu beranjak pergi.
Pria itu tampak senang. Gue melirik Kak Aryati yang juga menatap kepergian Randu. Ada rasa cemburu timbul saat ini.
"Suami di depan mata, masih memperhatikan pria lain," ucap gue menyadarkan Kak Aryati.
"Cemburu?"
Perhatian gue malah fokus kesana. Bibir merah yang tampak ranum. Kak Aryati masih mengulum senyum.
"Boleh cium?" tanya gue spontan.
Belum sempat Kak Aryati menjawab, gue sudah menciumnya. Bibirnya yang merupakan candu bagi seorang Damar Jati Diwangkara. Dan hasrat ini tidak pernah pudar. Entah berapa lama bibir kami bertautan, menjauh untuk sama-sama mengambil udara karena perbuatan kami. Gue tersenyum, sedang wajahnya memerah merona.
"Gue selalu hilang kontrol, bila dekat dengan lu," ucap gue pelan.
"Kita sebaiknya pergi! Tampaknya ada satpam yang melihat kita!" kata Kak Aryati menatap gue memohon.
Tanpa pikir panjang gue langsung menjalankan mobil. Akan sangat memalukan bila tertangkap karena berbuat asusila di tempat umun. Kami tertawa setelah lepas dari lingkungan rumah sakit, ternyata inilah rasa bila pacaran dan hampir tertangkap satpam.
Walau kami sudah menikah resmi. Tapi mana mau tahu satpam itu, bahwa kami sudah menikah. Rasanya sangat luar biasa, tegangnya ada, deg-degannya juga ada, tapi sebaiknya tidak dilakukan, bukan contoh yang baik tentu saja. Paling tidak masalah Caroline bisa gue lupakan sejenak.
"Tadi itu luar biasa," ucap gue.
"Kamu nakal," ujar Kak Aryati kesal diikuti senyum..
"Tinggal nakal di kamar belum," ucap gue.
Kak Aryati terdiam. Gue meremas pelan jemarinya dan tersenyum, kami sama-sama tersenyum. Sepertinya kami saling menguatkan dengan senyuman yang terpancar dari wajah. Kami tahu pasti, bahwa saat itu pasti tiba.