Begitu pelan, Mama Setyawati bicara seperti biasa, bahkan tetap lembut. Isi dari ucapannya membuat Kak Aryati, Bang Jaya terutama gue sangat terkejut. Benarkah berita ini?
Kak Aryati lalu mengambilkan sendok pengganti yang jatuh. Gue menatap Mak Salmah yang menunduk. Om Utoro memandang dengan tersenyum pias, ada gurat tidak tenang di wajahnya.
"Makan dulu Dam! Kita bicarakan setelah makan!" kata Mama Setyawati lembut.
Terdiam, Kak Aryati mengelus tangan gue pelan. Berusaha memberi ketenangan, tapi sepertinya tidak banyak membantu. Gue semakin tidak suka dengan keadaan ini, entah kenapa pikiran menjadi ingin meledak.
"Damar kenyang, permisi semuanya," ucap gue pelan.
Gue langsung beranjak dari kursi, melangkah ke arah tangga. Di belakang terdengar isak lirih, suara Mak Salmah, tanpa menoleh kaki mulai menaiki tangga ke atas. Kenapa tangga serasa jauh,? Atau karena kaki yang begitu berat melangkah? Hembusan napas berat menandakan sedang frustasi.
Tangan membuka pintu kamar. Dengan lesu gue memasukinya, lalu duduk di tepian ranjang, memandangi langit yang gelap dari bingkai jendela kaca. Hati seperti hampa, ada rasa seperti tidak rela.
Klek.
Pintu kamar dibuka, gue tahu itu Kak Aryati. Harum tubuhnya menyeruak indera penciuman. Tempat di samping gue duduk melesak ke bawah, menandakan bahwa ia telah duduk tapi wajah ini merasa enggan menoleh.
"Kamu tidak setuju? Mak Salmah menikah dengan Om Utoro?" tanya Kak Aryati pelan.
Menghembuskan napas pelan. Entah kenapa seakan hati terlalu berat merelakan. Mak Salmah akan dibawa pergi jauh dari gue, kenapa secepat itu?
"Mak Salmah pasti dibawa jauh sama Om Utoro," ucap gue lunglai.
Terasa Kak Aryati memandangi dari samping. Tiba-tiba terdengar kekehannya, membuat gue menoleh bingung tidak mengerti. Apa ada yang lucu?
"Kenapa tertawa?" tanya gue datar.
Kak Aryati berusaha mengendalikan tawanya. Ia tersenyum walau masih ada sisa kekehannya yang tidak gue mengerti. Senyumnya malah membuat hilang konsentrasi.
"Jadi kamu cemburu?" tanya Kak Aryati masih tersenyum.
Kalau tidak sedang galau, sudah gue terkam perempuan cantik yang ada di depan ini. Senyum sembari menggoda secara tidak langsung. Fokus Damar Jati Diwangkara!
"Hah cemburu, maksudnya apa?" ucap gue tidak terima.
"Kamu takut? Mak Salmah diambil dari mu atau ia tidak akan sayang kamu lagi?"
"Kok tanyanya begitu?"
"Kenapa kamu seakan tidak setuju Mak Salmah menikah?"
"Entahlah."
Gue juga tidak mengerti sebenarnya ada apa? Hati begitu berat untuk merelakan. Mengusap wajah dan mengacak rambut, kesal.
"Kamu sayang Mak Salmah?"
Gue menatap Kak Aryati tidak percaya. Bagaimana ia bertanya aneh seperti itu? Ia malah tersenyum semakin menjadi, bikin gemas saja.
"Mak Salmah biarkan mencari kebahagiannya sendiri! Selama ini ia berjuang untuk membuat kamu bahagia."
"Dengan pergi dari gue?" tanya gue kesal.
"Jadi aku nggak ada artinya bagimu?"
"Kok ngomong begitu? Itu beda hal, nggak sama."
"Ya tidak sama, aku bukan Mak Salmah, ia bukan aku."
"Kak Aryati, jangan buat gue kesal!"
"Pilih mana? Aku atau Mak Salmah?"
"Gue nggak akan pilih."
"Intinya kamu menyayangi Mak Salmah dan aku, begitu?"
"Tentu saja, semua orang juga tahu itu."
"Tapi, apa orang akan tahu? Kalau kamu tidak merelakan Mak Salmah menikah?"
Gue terdiam, tidak peduli orang mau ngomong apa. Orang sangat tahu, sayang seorang Damar terhadap Mak Salmah. Memang benar, kerelaan harus diucapkan.
"Kenapa kamu berat hati merelakan Mak Salmah?"
"Dari dulu cuma Mak Salmah keluarga gue, tidak ada yang lain. Kalau ia pergi, siapa keluarga gue lagi?"
"Gembor, Mbak May, Mama Setyawati, Bang Jaya dan aku, kamu anggap apa?"
"Bukan itu intinya," ucap gue menyanggah.
"Kamu takut Mak Salmah tidak bahagia?" tanya Kak Aryati.
"Salah satunya," ucap gue sambil menatap ke depan.
Kak Aryati lalu menggenggam tangan gue, meremas pelan. Sesaat terpaku dengan kelakuannya. Kemudian gue menatap ke depan kembali.
"Kamu tahu, lama Mak Salmah baru mengiyakan lamaran Om Utoro. Itu berarti ia telah memikirkannya, begitu juga Om Utoro yang setia menunggu."
Gue tahu Mak Salmah sangat mencintai Abah. Mungkin dengan Om Utoro, ia merasa nyaman. Mereka pasti memikirkan jauh ke depan.
"Bukannya dulu kamu mendukung Om Utoro mendekati Mak Salmah?"
"Gue harus bagaimana?" tanya gue tidak bisa berpikir.
"Pemilik Diwangkara kok nggak punya ide."
"Kalau perusahaan jangan ditanya! Ini beda," ucap gue cemberut.
"Turuti kata hati mu!"
"Terima kasih atas sarannya," ucap gue pelan.
"Aku isterimu."
Gue langsung tarik Kak Aryati ke dalam pelukan. Lalu merebahkan badannya ke tempat tidur. Ia terkejut dan tampak kesal.
"Damar!"
Gue terkekeh, Kak Aryati memukul pelan lengan gue. Ia lalu berbalik sehingga gue langsung memeluknya dari belakang. Posisi intim yang berbahaya.
"Mak Salmah tidak akan kemana-mana, ada aku di sampingmu, kalau kamu kangen bila Mak Salmah menikah nanti, rumah Om Utoro masih satu komplek kan?"
"Terima kasih, gue akan bicara ke Mak Salmah dan Om Utoro besok."
"Kamu boleh memelukku sepanjang malam! Terapiku sudah banyak kemajuan."
"Cuma peluk? Cium boleh?"
"Lalu dari tadi apa yang kamu lakukan? Leherku pasti memerah karena ulahmu."
Kak Aryati memukul lengan gue yang melingkar di perutnya. Gue terkekeh, memang dari tadi mengendus lehernya. Memeluk lebih erat namun tidak menyakitinya, menyerukkan wajah di lehernya lebih dalam.
Gue memang harus merelakan Mak Salmah bahagia, tapi ada syarat tentunya. Tidak terasa harum tubuh Kak Aryati membuat kenyamanan tersendiri. Terbuai dan terlelap ke alam mimpi.
Pagi ini, gue dan Kak Aryati turun ke lantai bawah beriringan, dengan senyum lebar di wajah kami. Untuk pertama kali kami tidur begitu intim. Tentu saja bahagia, bukan berarti hanya selalu memikirkan tentang diri sendiri, namun keberhasilan terapinya lebih utama.
Ketika sampai ke ruang makan, suasana begitu kikuk. Mak Salmah yang biasanya menghidupkan suasana, tampak terdiam. Om Utoro yang ternyata menginap tadi malam, terlihat tampak lelah wajahnya.
Kak Aryati mengaitkan jemari kami, gue meremas pelan. Kami semua makan dalam diam dan itu tidak gue sukai. Harus ada yang membuka suara.
"Ehemm..... Gue mau ngomong dengan Mak Salmah dan Om Utoro," ucap gue terasa berat di tenggorokan, walau sudah selesai makan.
"Sebaiknya kalian bicara di ruang kerja agar lebih tenang!" kata Mama Setyawati lembut.
"Kita semua bicara di ruang keluarga yang lebih lega," ucap gue.
Walau tampak agak bingung dengan ucapan gue, semuanya akhirnya ke ruang keluarga. Satu persatu mulai duduk di posisinya. Menghela napas untuk menetralkan detak jantung.
"Karena ini menyangkut keluarga Diwangkara, maka baik Mama Setyawati serta Bang Jaya harus ikut di dalamnya dan akan selalu begitu," ucap gue mengawali semuanya.
Dari tadi kasihan melihat keadaan Mak Salmah. Matanya bengkak menandakan banyak menangis semalam, bahkan mungkin tidak bisa tidur. Gue merasa jahat dan begitu bersalah
"Dam, gue tidak jadi menikah," ujar Mak Salmah pelan.
"Dik Salmah!" kata Om Utoro tidak terima.
Terlihat Om Utoro tampak kecewa. Mama Setyawati mengelus punggung Mak Salmah menenangkan. Gue tidak mugkin membiarkannya bersedih.
"Yakin nggak mau nikah dengan Om Utoro?" tanya gue pelan.
Mak Salmah hanya mengangguk lemah. Om Utoro akan bersuara namun tidak jadi. Gue menggeleng pelan.
"Dam!" kata Bang Jaya namun tidak dilanjutkan.
"Damar sudah sering bicara, kita keluarga, jadi semua berhak menyuarakan pendapatnya," ucap gue tegas.
"Damar, Dik Salmah berhak bahagia dengan pilihannya," kata Mama Setyawati dengan ketenangannya.
"Benar Dam, lu nggak boleh egois! Biarkan Mak Salmah menikah dengan Om Utoro! Kita tahu Om Utoro itu siapa?" ujar Bang Jaya akhirnya ikut bersuara.
Gue lihat Kak Aryati tersenyum dan menganggukkan kepala memberi dukungan. Ia telah tahu keputusan tadi malam. Dengan beberapa syarat tentu saja.
"Mak Salmah, gue tanya sekali lagi, benar nggak mau nikah dengan Om Utoro?" ucap gue menatap lurus padanya.
Mak Salmah yang ingin bicara tampak kembali menunduk lebih dalam. Om Utoro tampak menanti dengan gusar. Gue menunggu jawaban dengan tenang.
"Kalau Mak Salmah menolak Om Utoro, bagaimana kalau kinerja Om Utoro terganggu? Bisa bangkrut Diwangkara Group," ucap gue datar.
Mak Salmah mendongak dan menggeleng. Ia menatap nanar ke arah gue. Terpengaruh juga ternyata.
"Lu hanya mikir Diwangkara, tanpa mikir gue?" tanya Mak Salmah marah.
Akhirnya Mak Salmah terbakar juga dengan perkataan gue. Provokasi yang berhasil. Menggulum senyum sebelum melanjutkan bicara.
"Kalau Om Utoro patah hati, terus bunuh diri bagaimana?" ucap gue menahan tawa.
"Mas Utoro tidak sedangkal itu," ujar Mak Salmah kesal.
Bang Jaya yang tadi serius, tersenyum tipis setelah tahu kejahilan gue. Om Utoro mulai tampak bisa menguasai diri. Tinggal Mak Salmah yang bersungut-sungut. Sejurus kemudian, ia yang mulai tahu suasana tidak setegang tadi, dengan cepat menyambar telinga gue.
"Anak kurang ajar, berani menjahili orang tua," ujar Mak Salmah marah.
"Aduh Mak, sakit ini," ucap gue sambil berusaha melepaskan diri.
"Biar putus sekalian, bikin gue kesal," ujar Mak Salmah sadis.
"Kalau tidak dilepas, nggak ada pernikahan!" ucap gue asal.
Mak Salmah melepas telinga gue sambil cemberut dan mulut komat-kamit. Semua tampak tersenyum melihat kejadian ini. Om Utoro berkali-kali menggelengkan kepala, tidak percaya.
"Jadi mau nikah?" ucap gue tersenyum.
"Bodo," ujar Mak Salmah dengan muka merah.
"Om, kayaknya bukan gue keberatan, tapi Mak Salmah yang tidak mau," ucap gue masih usil.
Om Utoro hanya tersenyum. Kali ini senyum lebar karena sudah tahu kemana hal ini akan bermuara. Mak Salmah tampak membuang muka, kesal.
"Mak Salmah tapi masih sayang gue kan?" tanya gue.
"Lu kan anak gue? Sayanglah, kalau nggak sayang, sudah gue balikin ke dalam lu," ujar Mak Salmah kejam.
Gue hanya bisa meringis. Sadis benar kalau Mak Salmah ngomong, memang muat? Semua akhirnya tertawa.
"Sayang mana? Gue sama Om Utoro?" tanya gue sendu.
"Nggak usah aneh-aneh lu! Mau gue putusin itu kuping?" ujar Mak Salmah kesal.
"Gue harap Om Utoro menjaga Mak Salmah dengan baik, jangan kecewakan keluarga ini terutama gue!" ucap gue memandang Om Utoro.
"Dengan segenap hati dan jiwa, Om akan jaga," kata Om Utoro mantap.
"Jadi Mak Salmah masih mau nikah sama Om Utoro?" tanya gue sok serius.
"Harus dijawab?" tanya Mak Salmah polos.
Gue hanya mengangguk pelan. Mak Salmah tertunduk tersipu, mengangguk tapi tidak berani menatap, malu kelihatannya. Berasa abg, kalau melihatnya yang malu-malu, seperti remaja ditembak gebetan.
"Tapi ada syarat yang harus Om Utoro dan Mak Salmah penuhi, kalau mau nikah!" ucap gue berwibawa.
Mak Salmah dan Om Utoro menatap gue penuh prasangka, Mama Setyawati serta Bang Jaya ikut menunggu syaratnya. Sedang Kak Aryati yang tidak tahu menatap meminta penjelasan.