Setelah tragedi pengusiran Nenek Sulis, gue memutuskan hubungan dengan Diwangkara Group. Merasa lega, tapi di sisi lain merasa ada yang salah. Sepertinya ego mengatakan jangan peduli.
Kembali mengurusi resto bersama Bang Jaya. Juga mengembangkan toko roti. Semua itu, membuat gue tidak memikirkan tentang Diwangkara.
Apalagi Mak Salmah dan Om Utoro yang melangsungkan pernikahan. Membuat pikiran gue tidak sekalipun memikirkan Diwangkara. Pernikahan mereka dilangsungkan sederhana, seperti permintaan Mak Salmah, hanya sedikit teman-teman kami yang di undang, serta keluarga Om Utoro, begitulah.
Mak Salmah sepertinya sangat terharu. Inilah kebahagian yang mungkin telah lama diimpikannya. Mempunyai suami yang menemaninya menua bersama. Om Utoro juga tampak sangat bahagia. Bisa dilihat dari raut wajahnya yang berseri selama acara berlangsung. Kami tentu saja ikut bahagia, gue juga akhirnya rela, ia menemukan sandaran hatinya.
Pagi ini, gue dan yang lain sudah ada di meja makan. Ditanbah keluarga Gembor yang menginap. Sepertinya pengantin baru terlambat bangun.
"Apa sebaiknya kita makan duluan, lapar nih gue," ujar Gembor.
"Mbak May nggak bisa gitu si Gembor dibuat diet?" tanya gue.
"Dam, si May itu suka karena bagian tubuh gue yang merupakan kelebihan, enak disayang apalagi dipeluk," ujar Gembor.
"Kelebihan lemak yang ada punya penyakit jantung," ucap gue asal.
"Bang Jaya punya tubuh jangkung dan nggak gendut juga kena penyakit jantung," ujar Gembor membela diri.
"Gue dari lahir memang jantung nggak normal, Gembor,"' kata Bang Jaya.
Gue sebenarnya agak was - was ketika Gembor dan gue membahas tentang jantung, untung Bang Jaya tidak terpengaruh tentang hal itu.
"Gue lupa Bang Jaya dapat jantung baru, sayang jantung sebenarnya belum dapat," ujar Gembor.
"Maksud lu apa Mbor?" tanya Bang Jaya.
Gue sendiri bingung dengan perkataan Gembor, kadang ia suka asal kalau ngomong.
"Jantung sebenarnya, jantungnya Mbak Rani," ujar Gembor tertawa.
Gue ikut tertawa, sedang para wanita minus Mak Salmah yang belum bangun tentu saja, tersenyum kecil.
"Resek lu," kata Bang Jaya kesal.
"Pagi."
Kami lalu menoleh mendapati pengantin baru yang kesiangan.
"Siang kali Mak, belah duren sampai lupa waktu," ujar Gembor.
Plak.
Dengan sadisnya Mak Salmah menepak kepala Gembor, untung anaknya masih tidur, bisa trauma itu anak melihat tindakan anarki pagi - pagi.
"Ngomong sembarangan," kata Mak Salmah sambil duduk.
"Berapa ronde Om Utoro?" tanya Gembor sambil menaik turunkan
alisnya.
"Sewajarnya dan senormal seperti yang lain, Nak Udin," kata Om Utoro bijak.
"Ahh, nggak asik Om Utoro, kenapa jawabannya cuma begitu," ujar Gembor cemberut.
"Ayo - ayo semuanya, makan!" ucap Mama Setyawati lembut.
Akhirnya kami makan tanpa ada pembicaraan yang berarti namun menikmati dengan gembira pagi ini.
Selesai makan kami ke ruang keluarga seperti biasa, kami bercengkrama panjang lebar karena hari ini hari libur.
"Pagi semua!"
Kami menoleh dan mendapati Randu dan juga Caroline beserta anaknya, gue jadi heran kenapa mereka kemari.
"Caroline!" kata Mama Setyawati antusias.
Gue seperti yang lain juga merasa heran, sejak kapan Caroline akrab dengan Mama Setyawati.
"Duduk Randu!" ucap gue pelan.
Gue tidak mungkin mengusirnya karena sedang kesal dengan Nenek Sulis, mereka tidak tahu apa - apa.
"I - iya Pak Damar," ujar Randu kikuk.
Randu duduk dengan segan, memangnya gue sangat menakutkan hingga membuat ia terintimidasi.
"Jangan panggil Pak bila diluar kantor, Damar saja cukup, kita sekarang saudara," ucap gue pelan.
"Iya Pa.... e.... Damar," ujar Randu sambil menggaruk kepala.
"Itu lebih baik, untuk apa pagi - pagi kemari?" tanya gue langsung.
Randu sempat menoleh ke Caroline kemudian wajahnya tampak memerah.
"Saya..." ujar Randu terpotong.
"Gue, biasakan ngomong santai ke gue," ucap gue.
Randu tampak mengangguk, ia kelihatan berusaha santai di depan gue.
"Gue menggantikan lu di Diwangkara Group," ujar Randu sambil membuang napas lega.
Gue hanya tersenyum tipis dengan salah tingkahnya Randu.
"Bagus," ucap gue singkat.
"Dua minggu di posisi lu, bagai neraka buat gue," ujar Randu lelah.
Gue menatap Randu yang mulai santai ngomong dengan gue.
"Ya memang seperti itu," ucap gue.
"Kalau lu kan memang siap di posisi itu, gue nggak sama sekali, tolong kembali ke Diwangkara!" ujar Randu.
"Gue tidak bisa dan tidak mau," ucap gue tegas.
"Minta maaf ke Oma," kata Caroline ikut bersuara.
"Dia yang salah, kenapa harus gue yang minta maaf," ucap gue kesal.
"Kalau kalian bersikeras, tidak akan ada yang mau mengalah," kata Caroline sambil berjalan mendekati Randu.
Ia duduk di tangan kursi tempat Randu duduk, gue melirik Bang Jaya yang juga menatap mereka yang tampak intim, syukurlah mereka tampak bahagia dengan perkawinannya.
"Oma sakit, ia dirawat sudah seminggu ini," kata Caroline.
Semua tampak terkejut termasuk gue, namun gue berusaha tetap memperlihatkan wajah datar, tidak terpengaruh dengan berita ini, walau hati gue tidak bisa berbohong.
"Bukan urusan gue lagi," ucap gue datar.
"Damar, kalau lu nggak bisa kembali ke Diwangkara, paling nggak lu jenguk Oma sebagai cucu!" kata Caroline.
"Kok begitu Yang, Damar juga harus kembali Diwangkara Group, gue nggak sanggup mengurusnya," ujar Randu.
Caroline hanya menatap Randu sekilas lalu kembali menatap gue.
"Gue nggak bisa dan ogah," ucap gue.
"Damar!" seru Mak Salmah.
"Tidak seorangpun bisa mempengaruhi gue, termasuk Kak Aryati," ucap gue.
Gue melihat Kak Aryati dalam - dalam, karena sejak tadi ingin bicara namun selalu tidak jadi.
"Damar!"
Kami menoleh dan mendapati Carla berlari ke arah gue, tidak sempat mengelak karena tiba - tiba memeluk, gue hanya mengangkat kedua tangan agar Kak Aryati tidak salah paham.
"Jenguk Oma, tolong!" ujar Carla sambil terisak.
"Carla!" ucap gue pelan.
"Gue nggak mau Oma masuk rumah sakit terlalu lama, lu harus jenguk dia agar cepat sembuh," ujar Carla masih memeluk gue.
"Carla!" ucap gue mulai meninggi.
"Tolong, Oma memang keras kepala, gue akan lakukan apapun asal lu mau jengguk dia," ujar Carla.
"Carla, lu bisa lepaskan pelukan ini!" ucap gue keras.
Carla yang sadar akhirnya melepas pelukannya dan langsung meminta maaf, wajahnya merah padam karena malu.
"Oma meminta lu kesana tadi pagi, gue akan telepon lu tapi kata Oma, gue harus meminta lu secara langsung," ujar Carla sambil mengusap air mata.
Gue masih diam tidak bersuara, masih menimbang tentu saja.
"Lu bisa memegang Diwangkara lagi," ujar Carla.
"Gue nggak bisa," ucap gue datar.
"Oma juga bilang begitu, lu pasti nolak, jadi Oma cuma mau bertemu dengan lu dan meminta maaf," ujar Carla.
Gue cuma diam, ego dan kekeraskepalaan gue tampaknya lebih dominan.
"Nak Damar, Ibu Sulis mungkin kemarin sedang tidak sadar, maafkan dia, kami juga telah memaafkannya," kata Om Utoro ikut bersuara.
Gue memandangi satu persatu keluarga gue dan mereka tampak mengangguk, pemaaf sekali mereka.
"Baiklah kita menjenguk Nenek Sulis, ayo ikut semua!" ucap gue agak keras.
"Dam, gue pulang saja ya?" ujar Gembor.
"Tidak, lu juga harus ikut, dan ini perintah atau lu mau gue pecat dari toko roti!" ucap gue.
"Lu makai ancaman terus bawaannya," ujar Gembor kesal.
Akhirnya kami semua keluar menuju mobil masing - masing.
"Mama dekat dengan Caroline, sejak kapan?" tanya Bang Jaya.
"Sejak peristiwa itu," kata Mama Setyawati pelan.
Bang Jaya tidak bertanya lagi, gue jadi tahu alasan kedekatan mereka, peristiwa yang dimaksud Mama Setyawati pastilah scandal antara Bang Jaya dan Caroline.
"Carla lu sama gue!" ucap gue.
"Iya," ujar Carla menurut.
Kak Aryati tampak mengernyitkan dahi, bingung.
"Tidak usah cemburu," ucap gue sambil tersenyum.
"Siapa juga yang cemburu," kata Kak Aryati.
"Padahal gue mau kok dicemburui," ucap gue.
"Kerajinan," kata Kak Aryati tertawa kecil.
Percakapan kami berhenti karena Carla masuk ke mobil.
"Carla, lu tahu tadi bilang apa?" tanya gue sambil menghadapi ke belakang.
"Apa?" tanya Carla polos.
"Lu mau melakukan apapun asal gue mau menjenguk Nenek Sulis," ucap gue.
"Memang kamu mau apa?" tanya Carla cuek.
"Hubungi orang tua lu sama orang tua Caroline untuk datang ke ruang inap Nenek Sulis!" ucap gue.
"Mereka disana tadi," ujar Carla biasa.
"Bilang kepada mereka ada hal penting yang akan lu sampaikan, jadi mereka tidak pulang cepat!" ucap gue.
"Ini lagi chat sama Mama, mereka masih disana," ujar Carla.
"Jangan bilang kami mau jenguk Nenek Sulis!" ucap gue lagi.
"Iya, ini kejutan buatnya," ujar Carla.
"Masih ada satu lagi, namun lu harus menuruti kata - kata gue!" ucap gue.
"Lu nggak mau rugi, buat nenek kandung lu sendiri perhitungan," ujar Carla kesal.
"Mau nggak, atau kita nggak jadi berangkat?" ucap gue pelan.
"Apa mau lu?" tanya Carla tidak sabar.
"Sedang gue pikirkan," ucap gue sok misterius.
"Jangan bilang jadi isteri kedua," ujar Carla membola.
Gue melirik Kak Aryati yang tersenyum dan menggeleng pelan.
"Itu sih mau lu, pokoknya lu harus mau menurut kata gue," ucap gue.
"Asal tidak aneh - aneh," ujar Carla.
"Tenang saja, gue usahakan lu bisa dan tidak berat," ucap gue.
"Satu saja kan?" tanya Carla.
"Iya," ucap gue cepat.
Gue tersenyum ke arah Kak Aryati, menggenggam tangan Kak Aryati lalu menjalankan mobil.
"Berasa obat nyamuk gue," gumam Carla kesal.
"Harusnya tadi gue sama Caroline saja," ujar Carla lagi.
"Mau jadi baby sister buat anak Caroline?" tanya gue.
"Enak saja, dari pada di sini," ujar Carla kesal.
Gue hanya menggelengkan kepala melihat anak manja dari spion tengah, Kak Aryati mengelus tangan gue menenangkan.
Ia seakan tahu bahwa gue berusaha bersabar menghadapi tingkah anak manja yang bisa membuat gue luluh dan mau menjenguk Nenek Sulis.
Di perjalanan ke rumah sakit gue memikirkan tentang satu permintaan yang harus dituruti anak manja di belakang gue.