Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 39 - Bab.39 Mbak Rani Luluh

Chapter 39 - Bab.39 Mbak Rani Luluh

Kami menaiki mobil menuju rumah. Bang Triadi tampak gelisah. Ia sesekali melihat spion tengah menatap gue.

"Dam!" seru Bang Triadi.

"Nenek tidur saja! Nanti kalau sudah sampai gue bangunin!" ucap gue tanpa menoleh ke Bang Triadi di depan.

Bang Triadi dari tadi gelisah. Ia memang tidak tahu kalau gue akan membawanya ke Carla. Biarkan saja! Sesekali ia harus pusing.

Carla kalau kabur, pasti mencari tempat mengadu. Ia sangat dekat dengan Mak Salmah, bahkan seperti teman bila mereka bertemu. Gue tidak tahu, sejak kapan mereka begitu akrab.

Sedang Caroline sangat dekat dengan Mama Setyawati. Gue juga nggak tahu, kenapa mereka bisa sedekat itu? Biarlah! Semua damai, indah bukan?.

Gue melihat nenek Sulis memejamkan mata. Menghela napas atas kekeraskepalaannya. Sudah diminta untuk istirahat, malah pergi kesana kemari.

Yang sekarang gue lakukan adalah memejamkan mata juga. Melirik sekilas ke arah Bang Triadi yang nampak kacau dari tadi. Terpejam dengan pikiran masih mencerna, apakah keputusan perjodohan Carla yang spontan, baik adanya?.

Semua menjadi lebih baik sekarang. Hanya Bang Jaya yang belum menemukan kebahagiannya. Mbak Rani masih menarik ulur keputusannya.

"Kamu mikir apa?" tanya Nenek Sulis.

"Nenek tidak tidur?" tanya gue balik.

"Oma sudah sehat, kamu tidak perlu terlalu khawatir!" kata Nenek Sulis.

"Nenek tahu, yang gue pikiran," gumam gue.

"Makanya kalau lu bertindak dipikir dulu! Carla jadi marah kan?" ujar Bang Triadi.

"Tenang saja Bang Tri! Carla cuma ngambek," ucap gue pelan.

"Kamu masih memikirkan hal yang sama?" tanya Nenek Sulis.

Gue menoleh dan hanya mengangguk. Memang setelah kami berdamai, gue menceritakan hal tentang Bang Jaya ke Nenek Sulis. Ia banyak memberi nasehat.

Tidak berselang lama mobil memasuki gerbang rumah. Setelah mobil berhenti kami keluar.

Terlihat Mama Setyawati sedang sibuk dengan tanamannya.

"Siang Ma!" ucap gue.

Mama Setyawati tampak tersenyum menyongsong kami. Gue mendekatinya sambil menuntun Nenek Sulis. Walau ia tampak enggan karena perlakuan ini.

"Mama Sulis!" kata Mama Setyawati.

Mama Setyawati malah menyambut mertuanya itu. Mereka cipika cipiki lumayan lama, sambil bertanya kabar. Setelah puas baru sadar ada gue dan Bang Triadi.

"Mama, Carla dimana?" tanya gue langsung.

"Sepertinya di dapur, Dik Salmah ada disana soalnya," kata Mama Setyawati.

"Titip Nenek, Damar dan Bang Tri ke dalam dulu Ma!" ucap gue pelan.

Secepatnya menarik lengan Bang Triadi. Ia masih bingung dengan situasi ini. Gue langsung memberinya isyarat untuk diam, begitu kami mendekati dapur.

"Nggak mau cerita?" kata Mak Salmah.

Gue dan Bang Triadi kini bersandar. Pada dinding yang menjadi pembatas ruang tengah dan dapur. Dapur dan ruang makan di rumah ini menjadi satu.

"Tante jangan marah! Ya?" ujar Carla terdengar merajuk.

"Tergantung," kata Mak Salmah.

"Nggak jadi ngomong kalau begitu," ujar Carla.

"Nanti kalau lu minta yang aneh-aneh, gue mana mungkin bisa kasih," kata Mak Salmah.

"Kan cuma dengar, terus kasih saran," ujar Carla.

"Apa?" tanya Mak Salmah.

"Gue benci Damar," ujar Carla.

"Lu masih suka sama Damar?" tanya Mak Salmah.

Menoleh karena merasa ada sorot mata tajam yang menatap. Langsung nyengir karena Bang Triadi melotot. Dulu, kata gue tanpa suara.

"Dulu itu Tante, sekarang tidak," ujar Carla.

"Terus kenapa lu benci Damar?" tanya Mak Salmah.

Gue ingin tertawa sebenarnya. Carla curhat ke Mak Salmah? Yang tidak lain dan tidak bukan Mak gue. Bahwa ia benci gue, anaknya?

"Ia menjodohkan Carla dengan om-om," ujar Carla.

Menoleh ke Bang Triadi yang cemberut dibilang om-om. Gue tersenyum lebar. Ia langsung melotot marah.

"Setua Om Utoro?" tanya Mak Salmah.

"Nggaklah, lebih tua dari Bang Jaya," ujar Carla.

"Jelek?" tanya Mak Salmah lagi.

"Manis sih," ujar Carla.

Kembali menoleh ke Bang Triadi. Ia tampak tersenyum mendengar pujian Carla, dasar. Tadi saja marah dibilang om-om.

"Terus masalahnya dimana?" tanya Mak Salmah.

"Carla kan maunya dikejar, terus dilamar romantis begitu, bukannya dijodohkan," ujar Carla.

"Kebanyakan baca novel lu," kata Mak Salmah.

"Tante juga suka baca kan?" tanya Carla.

"Ya sih, tapi Tante kan dilamar romantis sama Om Utoro," kata Mak Salmah.

"Jangan cerita lagi, bosan dan buat iri!" ujar Carla.

"Terus lu maunya bagaimana?" tanya Mak Salmah.

"Nggak tahu," ujar Carla.

"Ya sudah, nanti gue bilang Damar, kalau lu nggak mau," kata Mak Salmah.

"Jangan! Carla.....ahh kesel," ujar Carla setengah teriak.

"Maunya lu apa? Mau apa nggak dijodohkan?" tanya Mak Salmah.

"Jangan bilang Damar!" ujar Carla hampir tidak terdengar.

Gue langsung menarik tangan Bang Triadi mendekat. Ia tampak terkejut. Ia berusaha menarik diri.

"Damar!" seru Mak Salmah.

"Lu berdua perlu bicara! Carla, jangan manja dan ngambekan!" ucap gue.

Carla menoleh, langsung terkejut. Ia melebarkan matanya. Apalagi ketika gue menyeret Bang Triadi mendekat.

"Bicara berdua di atas! Asal jangan ke kamar! Awas saja kalau berani!" ucap gue.

Gue lalu menarik tangan Carla. Ia akan protes tapi mata gue melotot tajam. Membawa mereka menuju tangga ke atas, menautkan tangan mereka, lalu mendorong secepatnya agar menaiki tangga.

Berbalik dan mendapati Mak Salmah menggeleng kepala. Entah karena tingkah gue atau tingkah dua anak manusia yang beranjak ke lantai dua. Sepertinya satu masalah terpecahkan.

"Mak masak kue macam-macam, tumben?" ucap gue.

"Rani mau kemari," kata Mak Salmah.

"Sepertinya tadi mobil Bang Jaya masuk, terdengar dari suaranya."

"Kenapa tidak bilang dari tadi?"

"Kan tadi ada masalah dengan Carla."

Mak Salmah mengambil kue dan minuman. Sepertinya telah ia siapkan. Gue langsung mengambil alih nampan yang berisi minuman. Ia bergegas ke ruang tamu sambil membawa kue, sedang gue mengikuti dari belakang.

Ketika kami sampai di ruang tamu. Tampak Mbak Rani duduk menunduk di sebelah Nenek Sulis. Bang Jaya yang tampak gelisah di tempatnya sedang Mama Setyawati diam memperhatikan.

Setelah meletakkan kue dan minuman. Mak Salmah duduk di samping Mama Setyawati, sedang gue mendekati Bang Jaya. Terlihat ketegangan di ruang ini.

"Sampai kapan kamu menolak cucu ku, Jaya?" tanya Nenek Sulis.

Mbak Rani terdiam. Ia hanya menunduk tidak bersuara. Nenek Sulis tampak menghela napas.

"Kalau kamu merasa keberatan, dengan jantung suamimu yang dicangkokkan ke Jaya, aku bisa mengembalikannya padamu, setelah Jaya mendapat penggantinya," ucap Nenek Sulis pelan.

Bang Jaya hampir bersuara. Segera gue remas pelan lengannya agar diam. Menoleh padanya dan tersenyum walau ia seakan protes.

"Tapi bila jantung baru nanti tidak cocok, mungkin kami harus merelakan Jaya, sejauh ini jantung suamimu cocok," ucap Nenek Sulis lagi.

Mbak Rani mendongak dan hanya menggeleng. Ia tahu kemana arah pembicaraan Nenek Sulis. Bila jantung baru ditolak tubuh Bang Jaya, akibatnya bisa fatal.

"Atau itu yang kamu mau? Kamu memberi harapan pada Jaya, bahwa kamu menyetujui wasiat suamimu, tapi sebenarnya kamu, tidak rela jantungnya diberikan pada Jaya?" tanya Nenek Sulis mengintimidasi.

"Bukan itu Oma," ujar Mbak Rani.

Gue sebenarnya terkejut. Mbak Rani memanggil Nenek Sulis dengan Oma. Tampaknya hanya akan ada satu orang memanggilnya Nenek.

"Lalu apa? Membiarkan selamanya Jaya berpikir, kamu tidak rela jantung suamiu ada padanya, dia pasti merasa bersalah," ucap Nenek Sulis.

"Saya rela Oma, saya rela," ujar Mbak Rani berkaca-kaca.

"Bahkan bila kamu mau jantung suamimu saat ini, Jaya pasti mau memberinya padamu," ucap Nenek Sulis.

Mbak Rani tampak menangis. Ia menggeleng. Nenek Sulis menekan dengan kata-katanya yang tajam.

"Tapi Pak Jaya bisa...." ujar Mbak Rani tidak melanjutkan.

"Benar, Jaya bisa mati, itu kan yang kamu mau? Karena Jaya, suamimu mati karena kehilangan jantung?" ucap Nenek Sulis.

"Oma!" seru Bang Jaya.

Bang Jaya tidak sabar dengan sandiwara yang dibuat Nenek Sulis. Dia tidak tega Mbak Rani yang begitu tertekan karenaya. Gue berusaha menenangkannya.

"Kalau Rani keberatan dengan semua ini? Biarlah cukup sampai disini! Jaya bisa mengerti Oma," kata Bang Jaya frustasi.

"Saya tidak mau Pak Jaya, menikahi saya, hanya karena wasiat Mas Haris," ujar Mbak Rani.

Gue dan yang lain menatap Mbak Rani, jadi selama ini karena hal itu. Apa ia tidak melihat perhatian tulus Bang Jaya? Apa ia tidak tahu dicintai, selama ini?

"Saya tahu diri, saya tidak bermimpi sedikitpun untuk menjadi isteri Pak Jaya, saya tidak mau itu membebani Pak Jaya," ujar Mbak Rani masih menunduk sambil terisak.

"Jadi kamu tidak keberatan menikah dengan Jaya?" tanya Nenek Sulis.

Mbak Rani hanya diam. Bang Jaya akan bereaksi. Gue berhasil mencegahnya.

"Rani!" seru Nenek Sulis.

"Saya bersedia, bila Pak Jaya bersedia tanpa membebaninya," ujar Mbak Rani.

"Bagaimana Jaya?" tanya Nenek Sulis.

Bang Jaya yang ditanya langsung malah terpaku tanpa sadar. Hingga gue harus menyenggolnya untuk kembali menyadarkannya. Ada-ada saja.

"Apa?" tanya Bang Jaya.

"Bilang bersedia," ucap gue berbisik.

"Saya bersedia," kata Bang Jaya spontan.

Mama Setyawati langsung memeluk Mbak Rani. Mencium pipinya kanan kiri sambil tersenyum lebar. Bang Jaya malah tertegun.

"Ada apa Dam?" tanya Bang Jaya berbisik.

"Mbak Rani mau menikah dengan Bang Jaya," ucap gue ikut berbisik.

"Yesss!" seru Bang Jaya heboh.

Semua mata menatap Bang Jaya. Gue melotot terhadap tingkahnya. Bang Jaya hanya menyengir dengan muka merah padam menahan malu.

Tiba-tiba pintu depan terbuka dan muncul Kak Aryati. Setelah memberi salam dan menyalami para wanita hebat di keluarga Diwangkara, ia menghampiri gue. Ia selalu tampak cantik.

"Ada apa? Kok tumben ramai?" tanya Kak Aryati pelan.

Gue langsung memeluk pinggangnya dari samping untuk mendekat. Tubuhnya selalu harum. Ia selalu membuat hilang kontrol.

"Bang Jaya akan menikah dengan Mbak Rani," ucap gue.

"Benarkah?" tanya Kak Aryati senang.

Gue hanya mengangguk sambil mengeratkan pelukan ke pinggang Kak Aryati. Tampaknya semua telah berakhir bahagia. Semua akan indah pada waktunya.