Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 40 - Bab 40 Indah Pada waktunya.

Chapter 40 - Bab 40 Indah Pada waktunya.

Tiga bulan setelah Mbak Rani dengan kerelaannya menerima Bang Jaya. Itupun karena sangat pintarnya Nenek Sulis memanipulasi sehingga tercapai maksudnya. Akhirnya waktu itu datang juga, waktu dimana mereka bersatu. Bahkan kabar baiknya bahwa dengan perjuangan Bang Jaya, akhirnya keluarga Mbak Rani terutama orang tuanya memberi restu.

Bang Jaya dan Mbak Rani sebenarnya meminta pernikahannya biasa saja, namun Nenek Sulis tidak mau. Boleh sederhana namun resepsi memakai salah satu hotel Diwangkara, menikah di hotel bintang lima mana ada sederhana, ada-ada saja itu nenek-nenek. Walau agak ribet pada awalnya karena permintaan Nenek Sulis tapi semua siap pada waktunya. Kedua calon pengantin harus banyak berterima kasih atas semuanya kepadanya.

Walaupun tertutup namun beberapa surat kabar baik cetak dan online memberitakan pernikahan Bang Jaya dan Mbak Rani. Sedikit beritanya tersebar karena Om Utoro dan orang-orangnya bergerak cepat untuk menutup akses berita. Keluarga Diwangkara butuh privasi, karena kami bukan artis.

"Kenapa lu duluan yang nikah sih? Gue kan lebih tua dari lu," ujar Bang Triadi menggerutu.

"Kan semua ditangan Oma," kata Bang Jaya.

"Sudah Bang Tri, seminggu lagi saja resek amat," gue yang melihat ponsel dari tadi ikut bersuara.

"Tapi kalau hari ini gue nikah, kan tidak dapat pingitan seminggu," ujar Bang Triadi kesal.

Nenek Sulis mewajibkan cucu-cucunya menjalani pingitan tanpa terkecuali. Mungkin Bang Jaya sudah terbisa melewati situasi tidak bersua dengan Mbak Rani. Beda dengan Bang Triadi yang lagi hangat-hangatnya dengan Carla.Tetapi pingitan tetap harus dilakukan, kasihan.

"Memangnya Bang Jaya nggak dipingit, heran gue, Bang Tri, Bang Tri," gue tidak habis pikir dengan sikap pria yang mengaku lebih tua itu.

"Kenapa kita nggak bareng saja nikahnya?" ujar Bang Triadi sambil menerawang.

"Ayo Bang Jaya, kita tinggal Bang Tri yang lagi galau!"

Gue dan Bang Jaya lalu beranjak keluar kamar meninggalkan Bang Triadi yang nampak kacau. Biarkan saja ia sendiri merana, padahal cuma seminggu, berbanding terbalik dengan Bang Jaya yang menunggu entah sejak kapan. Begitu merasa sendiri, ia langsung berlari mengejar kami.

"Jangan tinggal gue!" seru Bang Triadi.

Gue dan Bang Jaya tetap berjalan tanpa menengok lagi ke belakang. Bang Triadi tampak menggerutu. Kami terkekeh melihatnya.

Tadi pagi Bang Jaya dan Mbak Rani telah sah menjadi suami isteri. Malam ini adalah resepsi yang diselenggarakan Nenek Sulis, Mama Setyawati dan Mak Salmah. Benar-benar pesta yang mewah, baik Bang Jaya dan Mbak Rani tidak berani menolak permintaan Nenek Sulis sepertinya. Dari dekor sampai makanan membuat siapapun akan suka dengan pesta ini.

Pesta tidak hanya dekor dan makanan yang begitu memanjakan setiap undangan, bahkan ada panggung musik dengan penyanyi terkenal negeri ini. Semua tampak larut dalam kebahagian, terlihat wajah-wajah berseri disini. Pesta yang sangat menyenangkan, Bang Jaya dan Mbak Rani tampak tersenyum lepas menikmati semuanya.

"Cantik sekali, isteri siapa sih?" gue berdiri di samping Kak Aryati yang sedang sibuk menaruh makanan ke dalam piringnya.

"Kamu kenapa ngegombal malam-malam?"

"Kok ngegombal?" gue memasang wajah cemberut namun Kak Aryati malah tertawa kecil.

"Tidak cocok cemberut wahai Bapak Damar."

"Terus cocoknya bagaimana Ibu Damar?"

"Apa ya? Nanti malam aku pikirikan."

"Kenapa tidak sekarang?"

Kak Aryati hanya tertawa kecil, masih sibuk dengan memilah dan memilih makanan. Gue memperhatikan dengan senyum menghias di bibir. Isteri gue memang tidak akan apa-apa dengan berapapun asupan yang masuk keperutnya.

Kami kemudian mencari tempat duduk untuk menikmati makanan yang diambil Kak Aryati. Untuk Keluarga Diwangkara memang disediakan tempat khusus untuk duduk, tapi tidak ada seorangpun duduk disana. Entah semuanya kemana, tapi malah membuat kami intim tentu saja.

"Bapak Damar kenapa melamun?"

Gue selalu tersenyum bila Kak Aryati menggoda. Karena dengan begitu menandakan ia baik-baik saja. Tidak ada yang lebih baik mengetahui orang yang kamu cintai baik-baik saja.

"Eemm.... Ibu Damar tidak menginginkan pesta seperti ini?"

Sebenarnya gue agak ragu dengan pertanyaan ini. Kak Aryati tampak terdiam lalu dengan perlahan mengambil minuman. Ia menatap sambil tersenyum kemudian berkata.

"Kamu adalah sesuatu yang indah bagiku, aku tidak ingin mau apapun lagi."

"Kamu lagi merayu sambil menggod ku?"

"Sejak kapan Bapak Damar menggunakan aku dan kamu?"

"Sejak malam ini dan selamanya."

Gue tersenyum kikuk sambil mengusap leher belakang. Wanita didepan beberapa kali mengerling jahil. Lalu kami tersenyum lebar.

"Aku sudah jawab, bagiku semua sudah sempurna apalagi bila Bapak Damar mau jadi bapak dari anak-anak Aryati."

Memicingkan mata. Menatap wanita cantik di depan yang tampak gugup. Kalau dipikir perkataannya tampak menyiratkan sesuatu hingga ia mengangguk seperti tahu apa yang gue pikirkan.

Tangan gue meraih sendok pada wanita yang tampak menunduk malu. Meletakkannya lalu meraih tangannya. Membawanya berdiri perlahan, kemudian menghela pelan untuk pergi dari tempat ini. Dengan masih saling diam kami sampai di depan lift.

Gue memencet tombol naik. Alam sepertinya berpihak pada kami saat ini, pintu lift terbuka tidak menunggu lama. Segera masuk dan menekan tombol lantai yang dituju.

Semua keluarga Diwangkara dan Mbak Rani, diberi kamar dua lantai atas gedung hotel ini. Sehingga kami leluasa sebelum menghadiri resepsi. Malamnya kami menginap semua, pagi harinya rencana kami sarapan bersama.

Lift terbuka dan dengan agak tergesa gue melangkah menuju pintu kamar. Meletakkan kartu di scanner. Membuka dan menutup pintu dengan cepat setelah gue masuk bersama isteri.

"Aku tidak bisa berhenti kalau sudah di tempat tidur," suara parau gue keluar dengan susah payah.

"Aryati, aku tidak bisa berhenti!" gue menegaskan lagi.

Aryati yang saat ini terkungkung di depan pintu, oleh tubuh gue hanya diam. Dia tampak tegang, menghela napas berusaha mengendalikan diri. Ia menatap gue sambil menggigit bibirnya lalu mengangguk.

"Aku akan perlahan, bila kamu merasa tidak nyaman, tampar aku!"

Langsung membopong tubuh Aryati ke tempat tidur. Ia berusaha tenang dan mengendalikan diri. Gue sepertinya sama berdebarnya dengannya karena ini sama-sama yang pertama buat kami.

Pagi ini merasa berbeda begitu bangun. Mendapati wanita yang dicintai, tidur terlelap di samping kita, itu adalah sesuatu yang indah. Gue memandanginya dengan tersenyum.

"Pagi Ibu Damar!"

Suara gue mengiringi Aryati yang mengerjapkan mata menandakan ia telah bangun. Ia tampak merentangkan tangan tanpa menyadari bahwa selimut tersingkap. Tiba-tiba ia menarik selimut membungkus tubuhnya.

Gue terkekeh dengan ulah Aryati. Ia mungkin malu dengan apa yang dilakukannya pagi ini. Bangun seperti biasa, begitu hawa pendingin ruangan menerpa, ia baru sadar tubuh atasnya polos.

"Aku sudah lihat kenapa malu?"

"Tetap malu, Mas."

Mendengar itu, gue lalu menarik selimut pelan. Walau untuk sesaat Aryati belum mau melepas selimutnya, akhirnya terbuka juga. Tersenyum melihat mata isteri masih terpejam.

"Tadi bilang apa?"

"Malu."

"Bukan yang itu."

Perlahan mata indah itu terbuka walaupun berusaha tidak menatap. Aryati tetap menawan walaupun kusut karena perbuatan semalam. Gue tersenyum mendapatinya dalam keadaan seperti ini dan juga bangga menjadi satu-satunya pria yang mengetahui.

"Yang mana?"

"Kamu tadi memanggil apa?"

"Memanggil?"

"Memanggilku, apa?"

"Ooo itu."

"O saja?"

"Mas."

"Ulang!"

"Mas."

"Ulang lagi!"

"Mas Damar, puas?"

Gue terkekeh mendengarnya. Aryati kesal lalu membelakangi gue. Memeluknya dari belakang, setelah apa yang terjadi semalam ternyata bisa seintim ini.

"Jam berapa sekarang?"

Itu adalah pertamyaan Aryati setelah kami berdiam dalam kebisuan. Ruangan masih tertutup

dan lampu tidur masih menyala. Isteri gue sepertinya tidak sadar sinar matahari telah menerobos kamar ini.

"Jam sebelas."

Gue berkata lalu diam dan mengeratkan tangan yang memeluk Aryati. Keadaan terlalu hening hingga wanita dalam dekapan tersadar. Ia berusaha bangun.

"Mau telanjang lagi? Nanti malu!'

Aryati yang sudah terlepas dan setengah bangun lalu mengetatkan selimut. Perbuatannya membuat selimut tersingkap dan tubuh polos gue terlihat. Ia terkejut berbalik sambil memejam mata.

"Mas Damar!"

Gue tertawa lepas. Aryati memerah wajahnya. Salah sendiri main tarik saja selimut.

"Semalam sudah lihat saja, sudah merasakan malah."

"Mesum."

"Buka matanya! Seperti semalam kok, wujudnya."

"Semalam mata terpejam."

"Sekarang lihat dengan jelas!"

"Nggak mau."

"Aku sudah memakai boxer, Aryati."

"Jangan bohong!"

"Aku tidak bohong."

Aryati berbalik perlahan serta membuka mata. Ia menghela napas lega setelah mendapati gue yang sudah tidak polos lagi. Tetapi sepertinya ia masih gugup.

"Kita tidak ikut sarapan."

Dari banyak kemungkinan kata-kata yang akan keluar dari bibir Aryati, kenapa telat sarapan menjadi pikirannya? Gue hanya bisa menghela napas. Kenapa tidak bertanya, bagaimana perasaan setelah semalam? Mungkin harusnya gue yang bertanya.

"Mereka akan mengerti."

"Tapi kita tidak ikut sarapan, aku sungkan kepada Oma dan yang lain.

"Nenek akan mengerti, aku akan secepatnya memberinya cucu buyut."

Aryati memerah mukanya. Gue memandanginya yang tampak tersipu, menggemaskan. Salahkan keadaan yang membuat penampakannya bertambah sexy di mata ini.

"Dan semua orang tidak akan khawatir, bila kita hilang dari rencana sarapan atau makan siang."

"Mas Damar!"

Itu adalah pekikan Aryati karena gue menarik selimut yang membungkus tubuhnya. Memeluk tubuh polosnya, dengan perlahan lalu membawa kembali tidur ke tempat tidur. Tampaknya tidak akan melepas isteri keluar kamar.

Indah pada waktunya adalah akhir perjalanan gue yang menyenangkan. Begitu banyak liku-liku yang harus dilewati sebelum bahagia. Semua begitu indah buat gue, Damar Jati Diwangkara.