. Berlebihan adalah kata yang tepat untuk mendiskripsikannya.
Cuma orang tertentu yang dirawat di ruang VIP ini, semua orang tahu itu. Tapi menyewa satu lantai adalah keterlaluan, walaupun secara finansial mampu. Malas gue mau berkata-kata.
Begitu kami masuk, ruang menjadi sesak, atau karena hati yang sesak. Keponakan Nenek Sulis dan isteri mereka tampak langsung berdiri. Sedang yang sakit menatap satu tujuan, sepertinya ia fokusnya pada gue.
Suasana tampak hening, tidak ada satupun yang bicara duluan. Karena terlalu gerah dan tidak nyaman dengan kediaman ini, gue berinisiatif buka suara. Tidak lucu berdiri layaknya patung.
"Nenek Sulis sakit apa?" tanya gue pelan.
"Kecapean, biasa sudah tua," ujar Nenek Sulis.
"Ibu Sulis sudah agak baik," kata Om Utoro
Beruntunglah ada Om Utoro sehingga suasana tidak terlalu canggung. Ia memang sangat handal mengendalikan suasana. Disaat yang lain tidak ada ide, ia memberi solusi.
"Lumayan, Damar, kamu sehatkan?" ujar Nenek Sulis malah menanyakan gue.
"Bisa kemari, berarti gue sehat," ucap gue.
"Oma minta maaf," ujar Nenek Sulis pelan.
Gue menganggukkan kepala. Seorang yang bernama Sulis Diwangkara meminta maaf adalah suatu keajaiban. Tidak saban hari melihat itu.
"Kalau meminta maaf ke gue dan Mak Salmah, kami sudah memaafkan, tapi disini banyak orang tersakiti karena Nenek," ucap gue datar.
"Aku meminta maaf pada kalian semua," ujar Nenek Sulis sambil menghela napas.
Semua mata tertuju pada Nenek Sulis. Gue juga yang lain pasti terkejut dengan apa yang terjadi sekarang. Apa gue tidak salah dengar? Meminta maaf kepada semua orang, semoga ini bukan mimpi.
"Kami semua memaafkan Ibu Sulis," kata Om Utoro pelan.
"Kamu yang gendut, siapa namanya?" tanya Nenek Sulis.
"Saya Udin aka Gembor,'" ujar Gembor memperkenalkan diri.
Gue mau tertawa karena ucapan Gembor yang seperti itu. Selalu percaya diri boleh sih tapi jangan lebay. Tapi sepertinya itulah dia, dari dulu tidak berubah.
"Aku minta maaf karena perkataanku kemarin, wanita cantik itu, isterimu kan?" kata Nenek Sulis.
"Sudah! Jangan bilang Mbak May nggak pantas buat Gembor! Walaupun memang nggak pantas," ucap gue asal.
"Dam, sebenarnya lu mau bela gue, atau menghina?" tanya Gembor kesal.
Semua tertawa pelan, Nenek Sulis tampak tersenyum. Gembor tampak bersungut-sungut. Gue hanya mengulum senyum.
"Nenek nggak usah khawatir, kami semua memaafkan, termasuk Om Prasojo dan Om Bagus," ucap gue sambil menoleh ke mereka.
"Aku dan Bagus minta maaf terutama pada Mbak Salmah," kata Om Prasojo.
"Never mind, untung kampung Surga sudah nggak ada, jadi kalian berdua tidak bisa kesana lagi," ujar Mak Salmah.
Tante Nur dan Tante Septi menatap ke suami mereka. Mak Salmah kenapa cari gara-gara? Gue lihat Om Prasojo dan Om Bagus tampak memerah wajahnya.
"Tenang, suami kalian disana cuma minum-minum," ujar Mak Salmah menambahkan.
Tante Nur dan Tante Septi sepertinya masih tidak terima dengan berita itu. Suami mereka tampak berusaha menenangkan. Tampaknya bakal berlanjut pertengkarannya.
"Harusnya kalian sebagai isteri itu mengerti! Bagaimana keadaaan suami? Bukan cuma menghamburkan uangnya saja," ujar Mak Salmah.
Tante Nur dan Tante Septi menatap Mak Salmah, yang seperti menggurui. Gue pikir akan membantah. Namun mereka diam, tampak menyimak.
"Suami kalian tertekan tentang pekerjaan, sepeninggal Bang Danang banyak pekerjaan yang dilimpahkan pada mereka, bukan?" ujar Mak Salmah.
"Gue tahu, karena kerja di bar langganan suami kalian, teman yang cerita, gue selalu sembunyi jika mereka datang," ujar Mak Salmah.
"Maafkan Tante! Aku pikir kalian senang dengan tanggung jawab itu," kata Nenek Sulis.
"Kami tidak punya kapasitas di posisi itu, untung sekarang ada Damar," ujar Om Bagus.
Kami akhirnya ngobrol santai. Saling memaafkan dan memahami. Merangkul sebagai sebuah keluarga utuh.
Nenek Sulis akhirnya menerima Mak Salmah dan Mama Setyawati sebagai menantu keluarga Diwangkara. Bang Jaya diakui juga sebagai cucunya. Damai itu indah, bukan?
Yang lain telah meninggalkan ruang inap Nenek Sulis. Tinggal gue dan Kak Aryati yang saling pandang. Kami tidak mengerti, apa yang diinginkan Nenek Sulis?
"Oma harap! Kamu mau memimpin Diwangkara! Perusahaan ini dirintis dan diteruskan turun temurun, apa kamu ingin hancur begitu saja?" kata Nenek Sulis pelan.
"Nenek, gue...." ucap gue terpotong.
"Kamu sudah tahu, Bagus dan Prasojo tidak mampu berada di posisi itu sedang Randu tidak percaya diri menggantikan kamu," kata Nenek Sulis.
"Damar, tolong dipertimbangkan ucapan Ibu Sulis!" ujar Kak Aryati.
"Jadi ini cara Nenek Sulis? Menahan Kak Aryati agar bisa mempengaruhi gue?" tanya gue.
"Benar, itu salah satu alasannya, kamu pasti menuruti apa yang dikatakan isteri mu," kata Nenek Sulis pelan.
"Ibu Sulis!" ujar Kak Aryati tidak percaya.
"Oma, kamu harus memanggilku, Oma!" kata Nenek Sulis.
Gue hanya bisa menggerutu dalam hati, itu lagi bahasannya. Sudah berulang kali, apa bedanya? Tidak ada, bukan?
"Kalau kamu nggak mau kembali, mungkin dijual saja," kata Nenek Sulis.
"Baiklah, Nenek menang," ucap gue pasrah.
"Sekali-sekali panggil Oma! Menang? Maksudnya?" ujar Nenek Sulis.
"Manipulatif, Nenek tidak sadar juga?" tanya gue.
"Bagaimana keadaanmu, Aryati?" tanya Nenek Sulis mengalihkan perdebatan kami.
Gue dan Kak Aryati saling tatap. Tidak mengerti arah pertanyaan Nenek Sulis. Apa maksudnya?
"Hahh, bagaimana perawatanmu?" ujar Nenek Sulis sambil menghela napas.
Kak Aryati menatap gue. Ia juga sama sepertinya sepemikiran. Apakah Nenek Sulis tahu.
"Oma memang tahu tentang depresimu, bahkan aku bertanya langsung dengan Randu, dan dokter yang menanganimu," ujar Nenek Sulis.
Wajah Kak Aryati yang putih semakin memucat. Gue memegang pinggangnya merapat. Ia pasti tahu, bahwa ada yang mendukungnya.
"Nenek Sulis, gue...." ucap gue terputus.
"Sudah-sudah! Oma hanya memastikan terapi Aryati berjalan baik, jangan defensif begitu! Kalau dokter itu kurang bagus, apa perlu Oma carikan dokter?" ujar Nenek Sulis menetralisir keadaan.
Gue dan Kak Aryati merasa lega. Bisa terasakan tadi, tubuh Kak Aryati menegang, sekarang sudah santai. Nenek Sulis tersenyum, membuat suasana tidak canggung lagi.
"Tidak perlu Nek, Kak Aryati sudah banyak kemajuan," ucap gue pelan.
"Tidak perlu terburu-buru, kalian masih muda, kalau aku bisa melihat cucu buyutku, berarti itu bonus," ujar Nenek Sulis tersenyum tulus.
"Saya usahakan Oma melihatnya," kata Kak Aryati ikut tersenyum.
Damainya keluarga ketika semua saling mengasihi. Akhirnya semua bahagia. Itu yang terpenting.
Kembali memegang kendali Diwangkara Group, seperti biasa. Untuk toko roti, akhirnya gue serahkan ke Gembor. Hariannya bersama partner kerja, yang juga sahabat Bang Jaya.
Bang Triadi adalah orang yang cukup pendiam. Jadi kalau istilahnya tidak dipukul tidak bunyi. Tapi ia adalah partner kerja yang mumpuni, padahal gue sudah tawarkan Diwangkara Group, agar otaknya bisa terpakai dengan baik, tapi ia menolak.
Ia katakan tidak mau, karena Diwangkara Group adalah perusahaan keluarga. Ia bukan anggota keluarga, akhirnya gue tidak mengusiknya lagi. Tapi suatu saat, tenaganya bisa terpakai.
Mendengar dari bang Jaya, dia mau mendirikan toko roti. Ia mencari partner kerja, akhirnya gue mengajukan diri. Hingga detik ini kami punya tujuh puluh gerai dan masih bertumbuh.
Gue hari ini sengaja mengundangnya ke kantor. Berhubung tadi pagi ada meeting dan sore juga. Akhirnya siang ini jadwal kosongnya, buat berbicara hal yang penting dengannya.
"Siang Pak Bos!" ujar Bang Triadi.
Gue mendongak dan tersenyum. Tamu yang ditunggu datang. Selalu rapi, itu yang selalu ditampilkannya.
"Masuk Bang! Mau minum apa?" tanya gue sambil berdiri menyambut.
"Tidak perlu! Cukup isi kulkasmu itu dikeluarkan!" ujar Bang Triadi.
"Padahal aku mau tawari air putih tadi," ucap gue terkekeh.
"Jangan pelit jadi bos besar!" ujar Bang Triadi.
"Untuk kesehatan Bang Tri yang sudah tua," ucap gue.
"Seumuran kali, gue dengan Jaya," ujar Bang Triadi.
"Tuaan Abanglah, ingat, dua tahun!" ucap gue.
"Iya, masih sama kan? Sebaya sama Jaya?" ujar Bang Triadi sambil mengambil minuman yang gue sodorkan.
"Sama sih, sama-sama belum punya bini."
"Resek lu," ujar Bang Triadi.
"Damar!"
Gue dan Bang Triadi menoleh. Terlihat pintu terbuka dan masuklah Nenek Sulis dengan Carla yang menggandeng lengannya. Pucuk dicinta, ulam tiba.
"Nenek, kenapa susah sekali disuruh istirahat?" ucap gue kesal.
Akhirnya menghampiri Nenek Sulis dan ikut memapahnya. Ia hanya tersenyum sedikit. Gue melirik Carla yang serasa enggan masuk ruangan.
"Memang tidak boleh kangen dengan cucu sendiri?" tanya Nenek Sulis.
"Kan tinggal telepon! Terus gue ke rumah Nenek," ucap gue pelan.
"Benar kan? Pasti Damar tidak suka Oma keluyuran," ujar Carla.
"Memangnya kamu keluyuran, tidak ada kerjaan," kata Nenek Sulis.
Carla cemberut. Memang semenjak lulus kuliah ia tidak bekerja. Pergi sana sini sesuka hati, anak manja memang.
Bang Triadi yang melihat Carla datang, matanya tidak berkedip. Pertama kali ia melihat Carla di D-Blue resto. Sejak saat itu gue tahu dia suka Carla, ia akan ikut ke resto, bila gue bilang akan kesana.
"Matanya keluar kalau nggak kedip," ucap gue berbisik tepat di telinga Bang Triadi.
Gue sengaja jalan memutar agar bisa meledek Bang Triadi. Ia terjaga serta terkejut. Akhirnya ia menghampiri Nenek Sulis dan mencium tangannya.
"Triadi, Oma, teman Damar," ujar Bang Triadi.
Dan ia lakukan hal yang sama kepada Carla, tanpa cium tangan pastinya. Gue hanya memutar mata. Ia benar-benar modus besar dalam hal ini.
"Kamu kerja dimana?" tanya Nenek Sulis.
"Saya partner kerja Damar, dalam usaha toko roti," ujar Bang Triadi ramah.
Tebar terus pesona Bang? Biasanya juga diam tidak bersuara. Tampaknya ini adalah sisi liarnya yang terlihat.
"Wah hebat, Bapak partner kerja Damar, gerai sudah banyak itu," kata Carla polos.
Hampir tertawa mendengar Carla memanggil Bapak. Terlihat Bang Triadi tampak meringis. Gue mengedipkan mata padanya, ia membalas dengan wajah datar.
"Dia sebenarnya teman Bang Jaya, gue dikenalkan dengan Bapak satu ini," ucap gue dengan menekankan kata Bapak.
Bang Triadi hanya bisa menatap kesal. Apalagi gue tersenyum lebar padanya. Kentara sekali ia ingin meremukkan wajah di sampingnya.
"Oh ya, sebenarnya Bang Triadi kesini mau meminta restu Nenek," ucap gue serius.
Bang Triadi nampak bingung dengan ucapan gue. Ia menatap penuh tanya. Ini adalah saatnya.
"Restu?" tanya Nenek Sulis.
Gue sebenarnya tidak terlalu suka ini. Tapi semoga apa yang berlaku ini benar. Semoga juga yang terbaik.
"Ya restu, restu Nenek Sulis buat Bang Triadi buat melamar Carla," ucap gue mantap.
"Dam!" seru Bang Triadi dengan muka merah.
"Damar, ini tidak lucu, Carla tidak mau dijodohkan Oma!" ujar Carla meninggi.
"Damar, apa benar ia akan melamar Carla?" tanya Nenek Sulis biasa.
"Tidak Oma! Pokoknya Carla tidak mau dengan om-om! Tidak mau!" ujar Carla sambil berlari keluar ruangan.
"Carla!" seru Nenek Sulis.
Pintu ruangan berdebum kencang. Hasil perbuatan anak manja yang sedang merajuk. Gue hanya bisa menghela napas.
"Damar, kenapa lu?" ujar Bang Triadi frustasi.
"Kenapa bukan Nak Triadi yang ngomong? Kalau memang mau melamar Carla?" kata Nenek Sulis pelan.
"Bukan begitu Oma, saya sebenarnya tidak melamar Carla, Damar asal ngomong, Carla jadi salah paham kan?" ujar Bang Triadi serba salah.
"Yang kuatir dengan Carla, mukanya unyu sekali," ucap gue usil.
"Damar ini bukan main-main!" ujar Bang Triadi kesal.
"Siapa juga yang main-main," ucap gue.
"Damar!" ujar Bang Triadi makin kelihatan kesal.
"Kamu teman Damar, Oma sih setuju-setuju saja," kata Nenek Sulis.
"Teman Bang Jaya juga," ucap gue tersenyum.
"Bagaimana? Kamu serius dengan Carla?" tanya Nenek Sulis.
Bang Triadi terdiam tidak bisa bersuara. Ia tampak masih terkejut dengan semua ini. Gue menyenggol lengannya.
"Ditanya tuh sama Nenek," ucap gue.
"Dam, gue....... malu," ujar Bang Triadi melemah di akhir kata.
"Tinggal bilang! Iya melamar," ucap gue.
"Kok lu yang sewot?" ujar Bang Triadi.
"Ke-la-ma-an, jawabnya," ucap gue mengeja.
"Jadi?" tanya Nenek Sulis.
"Kalau, kalau.... Oma setuju, saya serius," ujar Bang Triadi bergetar suaranya.
"Serius apa?" tanya gue jahil.
Bang Triadi menatap gue kesal. Nenek Sulis tersenyum dan menggeleng melihat tingkah kami. Ia sepertinya lega, karena Carla ada yang akan membimbing, menuju kedewasaan.
"Kita pulang! Kangen sama dua menantu Nenek yang cantik-cantik kan?" ucap gue ceria.
"Bukannya kamu ada meeting sore?" tanya Nenek Sulis.
"Dibatalkan, ada yang lebih penting. Menemani Nenek Sulis ketemu menantu," ucap gue bersemangat.
Nenek Sulis tersenyum lebar melihat tingkah gue. Terlihat Bang Triadi tampak bingung. Ia sepertinya tidak tahu mau apa.
"Ikut Bang!" ucap gue.
"Terus Carla?" tanya Bang Triadi tidak mengerti.
"Carla terus dipikir," ucap gue.
"Ikut saja Nak Triadi! Ayo!" kata Nenek Sulis sambil berdiri.
Bang Triadi tampak ragu-ragu mengikuti kami. Ia tidak tahu bahwa kepergian kami untuk dia juga. Karena gue dan Nenek Sulis tahu kemana anak manja itu pergi.