Nenek Sulis memandang berkeliling. Kami yang sedang bercengkrama langsung terdiam karena kehadirannya. Suasana menjadi tegang dan kikuk.
"Nenek kenapa kemari?" tanya gue langsung tanpa basa-basi.
"Memangnya tidak boleh aku kemari, agar kalian bisa menyembunyikan pernikahan," kata Nenek Sulis datar.
Gue juga melihat Carla. Seperti takut-takut di belakang tubuh Nenek Sulis. Beberapa kali terlihat ia menatap, namun kemudian menunduk.
"Nenek mau apa sebenarnya?" tanya gue tidak sabaran.
"Tentu saja Oma mau melihatmu," kata Nenek Sulis.
Gue hanya merutuk dalam hati, kapan mau dipanggil nenek? Oma ataupun nenek sama saja tua-tua juga. Tidak ada keren-kerennya amat, diantara dua sebutan itu.
"Baru kemarin kita ketemu," ucap gue.
"Siapa yang mau nikah?" tanya Nenek Sulis.
"Tidak ada," ucap gue pelan.
"Oma tidak tuli," kata Nenek Sulis.
"Kalau sudah tahu, kenapa nanya?" ucap gue kesal.
"Kamu kok kesal, Oma cuma mau memastikan," kata Nenek Sulis.
"Saya yang akan menikah, Ibu Sulis," ujar Om Utoro.
Gue menoleh. Kenapa malah mengaku? Bisa panjang urusannya. Hanya bisa menghela napas.
"Saya meminta ijin Ibu Sulis untuk menikahi Dik Salmah," ujar Om Utoro tenang.
Suasana hening. Nenek Sulis mengernyitkan dahi, lalu menatap Om Utoro dan Mak Salmah bergantian. Inilah saatnya drama dimulai.
"Jadi kamu mau cari pengganti anakku? Atau memang dari dulu kamu sudah melakukannya?" tanya Nenek Sulis.
"Nenek, bukan itu maksud Mak Salmah," ucap gue membela.
"Masih bagus Setyawati yang bisa menahan diri. Ooh…. Aku lupa siapa kamu dan dari mana kamu berasal," kata Nenek Sulis penuh sindiran.
Gue mengepalkan tangan. Sedang Mak Salmah berusaha untuk tidak melawan. Semua tampak tegang dalam ruangan ini.
"Dan kamu Utoro, kamu hidup dari mana, pagar makan tanaman," kata Nenek Sulis.
Gue bisa melihat ketidaknyamanan Om Utoro, ketika dituduh seperti itu. Gue menggeleng. Ini tidak boleh dibiarkan.
"Nenek, Om Utoro tidak seperti itu," ucap gue menyela.
"Kalau tidak salah, dia pelacur kampung Surga," kata Nenek Sulis tidak mengindahkan perkataan gue.
Mbak May yang ditunjuk menjadi merah mukanya. Terlihat Gembor mengepalkan tangannya. Kenapa Nenek Sulis malah melebar kemana- mana.
"Apa perlu diingatkan? Kalau gue juga anak pelacur," ucap gue datar.
Gue melihat Mak Salmah dan meminta maaf dengan tidak bersuara. Ia hanya mengangguk pasrah. Tampaknya Nenek Sulis tidak terpengaruh dengan ini.
"Bedalah Dam, kamu kan cucu Oma, beda dengan dia," kata Nenek Sulis.
Semua tampak tidak nyaman dengan keadaan ini. Gembor tampak berbisik kepada Mbak May. Sepertinya mereka akan pamit.
"Dam, gue pulang," ujar Gembor.
"Lu nggak boleh pulang, atau gue pecat!" ucap gue datar.
Gembor dan Mbak May saling tatap. Lalu melihat gue seperti memohon. Nenek Sulis benar-benar menghancurkan semuanya.
"Kenapa ditahan Dam? Biar mereka pergi! Kamu harus pilih-pilih bila berteman!" kata Nenek Sulis.
"Dam, gue....," ujar Gembor terpotong.
"Lu sekeluarga tetap disini! Rumah ini tidak ada sangkut pautnya dengan Diwangkara," ucap gue meninggi.
Tidak akan gue membiarkan mereka pergi. Nenek Sulis harus menerima gue apa adanya. Termasuk semua orang disekitar gue.
"Dan Ibu Sulis yang terhormat, silakan meninggalkan rumah ini! Jangan menginjakkan kaki di rumah lagi!" ucap gue dalam.
"Dam, kamu mengusir Oma?" tanya Nenek Sulis terkejut.
"Oma ya? Lucu? Apa bedanya panggilan dengan Nenek? Sama saja tua dan keriput," ucap gue.
Semua tampak terkejut dengan perkataan ini,. Sebenarnya sudah muak dengan segala hal tentang Diwangkara. Gue bertahan dan berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga, tapi bila orang yang gue sayangi terluka, buat apa bertahan?
"Dam, kamu mengusirku?" kata Nenek Sulis tergagap.
"Pergilah! Anda tidak diterima disini!" ucap gue membuang muka.
Dari sudut pandang gue, tampak Nenek Sulis yang akan bicara, namun tidak jadi, Ia berjalan diiringi Carla. Tampak kejam memang, tapi ini buat pembelajaran.
"Damar tidak tercatat lagi sebagai keluarga Diwangkara, jadi jangan mencarinya lagi!" ucap gue dengan menahan amarah.
Nenek Sulis berhenti sebentar. Gue berharap ia berbalik dan merespon. Tampaknya itu hanya dalam angan saja.
"Dan satu lagi, gue akan berhenti mengurusi Diwangkara Group, terserah mau dikasih siapa " ucap gue datar.
Akhirnya Nenek Sulis dan Carla berlalu dari ruangan. Gue hanya menghela napas tanpa bisa mencegahnya. Kami tampaknya sama-sama keras kepala.
"Gue tidak ingin ada pertanyaan sekarang! Dan Gembor, lu kalau masih mau pulang terserah," ucap gue sambil beranjak dari tempat duduk.
Gue langsung menuju ruang kerja dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal, semua perasaan yang tidak nyaman, melingkupi saat ini. Berdiri di dekat jendela memandangi taman kecil, tertata apik oleh Mama Setyawati, menenangkan.
Dulu bahagia, karena hanya Mak Salmah yang gue tahu. Itu sudah lebih dari cukup. Tapi sekarang harus menerima keadaan berbeda, mampukah berlapang dada?
Tiba-tiba tangan lembut memeluk pinggang dari belakang. Tentu saja hanya satu orang yang berani seperti ini, isteri. Gue tersenyum karenanya.
"Sudah marahnya?" tanya Kak Aryati.
"Dari mana tahu? Gue sudahan marahnya."
Kak Aryati mengeratkan pelukannya dan menempelkan pipinya di punggung gue. Nyaman, keadaan intim kami membuat amarah mereda. Tapi ada hasrat lain yang mulia membara.
"Tadi tubuh ini begitu tegang, sekarang tidak lagi," kata Kak Aryati lembut.
"Jadi sekarang mulai mengerti, bagian tubuh mana yang tegang?" ucap gue terkekeh.
Langsung membalik badan dan memeluk pinggang Kak Aryati. Kemudian memeluk tubuh rampingnya sehingga ia bersandar di dada gue. Dengan perasaan mengecup puncak kepalamya, menenangkan.
"Kalau dari belakang tahu, punggung gue tegang. Dari depan begini, tahu bagian mana yang tegang?"
Suasana hening hingga pukulan pelan Kak Aryati ke dada. Membuat gue terkekeh kembali. Bahagianya dunia kami bila seperti ini terus.
"Dasar mesum," kata Kak Aryati.
"Mesum ke isteri sendiri itu wajib!"
"Terus ke isteri orang lain tidak apa-apa, sunnah?"
"Tentu saja itu haram, beda kalau sama single."
Kak Aryati menengadahkan wajah, menatap gue lekat. Ada raut khawatir di matanya. Ia member jarak dan itu membuat rasa bersalah, di hati ini.
"Jadi mau menikah lagi?" tanya Kak Aryati.
"Maksud gue, single dengan single, kalau gue cukup Kak Aryati saja," ucap gue sambil tersenyum.
"Gombal," kata Kak Aryati ikut tersenyum.
"Gombal kan kita pakai."
Kak Aryati tampak mengernyitkan dahi. Gue rasa ia tidak mengerti. Tersenyum menanggapi ketidaktahuan tentangnya.
"Gombal itu bukannya kain dalam bahasa Jawa?" tanya gue.
Kak Aryati tertawa kecil. Ia menggeleng pelan. Gue masih tersenyum dengan keadaan ini.
"Ngomong apa sih kita?" tanya Kak Aryati.
Gue memeluk tubuh Kak Aryati kembali. Ia merebahkan kepala di dada lagi. Posisi ini membuat kenyamanan bagi kami, yang tadi sempat hilang.
"Aku baru lihat bagaimana kamu begitu marah," kata Kak Aryati pelan.
"Maaf kalau membuat Kak Aryati takut," ucap gue lembut.
"Nenek Sulis memang keterlaluan."
"Ia akan marah bila dipanggil nenek, maunya oma," ucap gue terkekeh.
"Iya, pasti akan marah, apalagi kalau yang manggil aku, siapa kamu manggil aku Nenek?" kata Kak Aryati menirukan suara Nenek Sulis.
Kami berdua tertawa lepas. Walau tidak keras namun cukup memecah ketegangan. Gue membekap tubuhnya semakin erat.
"Masih mau sama gue? Pengacara nih, pengangguran banyak acara," ucap gue.
"Masih lah," kata Kak Aryati santai.
"Karena gue ganteng?"
"Salah satunya," kata Kak Aryati cepat.
"Memang ganteng bikin kenyang?"
"Pengusaha toko roti yang ganteng, siapapun pasti mau."
Gue menjauhkan wajah dari Kak Aryati, mengamati wajah cantiknya. Menelusuri dari mana mendapat kabar itu. Semakin keras berpikir namun tidak ada jawaban.
"Dari mana Kak Aryati tahu?" ucap gue penasaran.
"Calon Mertua."
"Hahh, padahal sudah gue bilang tidak boleh bocor sebelum berhasil."
"Definisi berhasil menurut Bapak Damar Jati Diwangkara itu seperti apa?"
"Ya, mungkin sangat terkenal," ucap gue asal.
"Gerai roti sudah lima puluh lima, itu belum cukup terkenal?"
"Kenapa Om Utoro sedetail itu memberi tahu," ucap gue cemberut.
"Ia takut kamu tidak jujur padaku," ujar Kak Aryati mengerling.
"Itu tidak benar, ahhhh ini semua gara-gara Om Utoro," ucap gue kesal.
"Kamu juga tidak jujur, kamu terlalu mengkhawatirkan kami," ujar Kak Aryati menatap gue intens.
Gue menatap manik mata Kak Aryati dalam, hingga akhirnya mendesah lelah. Kadang hal yang kita pikirkan, takut membebani mereka. Walau memang seharusnya mereka tahu.
"Bukan begitu, gue cuma menyalurkan rasa sayang pada kalian," ucap gue membela diri.
"Bang Jaya baik-baik saja, biarkan ia mendapatkan Mbak Rani dengan caranya! Mak Salmah akan selalu dijaga Om Utoro, Mama Setyawati bahagia tanpa campur tanganmu," ujar Kak Aryati panjang lebar.
"Baiklah gue salah karena terlalu khawatir, tapi jangan larang gue memikirkan Kak Aryati!" ucap gue.
"Terapiku sudah banyak kemajuan, apalagi?" tanya Kak Aryati.
"Gembor sudah mau punya dua anak, gue kapan?" ucap gue agak bergumam.
"Mau sekarang?" tanya Kak Aryati.
Menatap Kak Aryati yang tampak salah tingkah sambil menggigit bibirnya. Itu membuat gue menginginkannya. Gue hanya tersenyum, walau sebenarnya tidak hati ini.
"Seperti novel erotik begitu, bercinta di ruang kerja."
Gue menatapnya tanpa mengedipkan mata, tepat manik mata Kak Aryati. Ia tampak tertunduk tidak berani menatap kembali. Mendekatkan kepala ke samping telinganya.
"Gue tidak akan memaksa, akan bersabar sampai saat itu tiba. Cuma khawatir Kak Aryati terlalu keras memikirkan masalah itu, menikah itu bukan hanya masalah ranjang," ucap gue bijak.
Terlihat punggung Kak Aryati bergetar. Ia menangis. Lalu gue memeluk dia erat, memberi kenyamanan yang terbaik untuknya.
"Kamu kenapa baik dan sabar banget sama aku?" ujar Kak Aryati dengan suara bergetar.
"Tambah cinta dengan gue jadinya kan?"
Kak Aryati memukul pelan dada gue. Ia menatap sambil cemberut. Gue terkekeh karenanya.
"Penghancur suasana," ujar Kak Aryati.
"Kenapa cemberut sehabis menangis, tetap cantik isteri gue? Bagaimana tidak tambah sayang?"
"Kebanyakan gaul dengan Gembor, jadi receh," ujar Kak Aryati dengan tersenyum.
Gue kembali memeluk erat tubuh Kak Aryati. Mengecup puncak kepalanya. Ada kelegaan disana.
"Kamu jadi melepas Diwangkara Group?" tanya Kak Aryati serius.
"Kenapa? Bukan itu intinya dari pertanyaan Kak Aryati kan?"
"Melepas Diwangkara berarti melepas keluarga," kata Kak Aryati.
"Gue tahu, Mama Setyawati, Mak Salmah, Bang Jaya serta Kak Aryati adalah keluarga gue sebenarnya, jadi yang lain tidak penting lagi."
"Pikirkan lagi!" kata Kak Aryati.
"Sudah gue pikirkan dan jangan tanya lagi!"
"Dasar keras kepala."
"Tapi cinta kan?" tanya gue jahil.
"Apa boleh buat tidak ada yang lain, apalagi Randu sudah menikah," kata Kak Aryati santai.
Gue menjauhkan wajah Kak Aryati. Ia tersenyum puas menggoda gue. Tampaknya harus diberi pelajaran.
"Harus dihukum karena menggoda gue, deepest kiss yang lama," ucap gue sambil memeluk erat pinggang Kak Aryati.
"Apaan sih, lepas!" kata Kak Aryati sambil meronta.
Gue cuma menggeleng. Sepertinya tidak akan sebentar menghukumnya. Kak Aryati berusaha lepas namun tampaknya sia-sia.