Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 35 - Bab 35 Syarat Itu Adalah

Chapter 35 - Bab 35 Syarat Itu Adalah

Mak Salmah dan Om Utoro tampak begitu gelisah menanti syarat yang gue berikan. Semua tampak serius menunggunya. Keheningan sesaat tercipta karena keadaan ini.

"Dam, lu rela nggak sih? Pakai syarat segala." tanya Bang Jaya.

"Damar, alangkah baiknya, bila orang yang akan menikah itu dilancarkan urusannya, bukan ditambah sesuatu yang memberatkan," kata Mama Setyawati.

"Damar tidak akan memberatkan Mak Salmah, entah kalau Om Utoro," ucap gue.

"Lu jangan muter-muter! Apaan syaratnya?" tanya Mak Salmah lebih keperintah, tidak sabaran.

"Nak Damar bilang saja! Om akan berusaha menyanggupi dan semoga saja bisa," kata Om Utoro.

"Setelah menikah, Om Utoro dan Mak Salmah harus tinggal disini!" ucap gue serius.

Hening, kemudian terdengar tawa menyebalkan Bang Jaya. Mama Setyawati hanya tersenyum sambil menggeleng. Semua tersenyum termasuk Mak Salmah, lain halnya dengan Om Utoro yang malah tampak diam.

"Gue kira apa Dam, cuma itu," ujar Bang Jaya masih terkekeh.

Ini memang mungkin hal mudah buat Mak Salmah. Tapi sesuatu yang berat untuk Om Utoro sebagai laki-laki. Gue ingin menguji keseriusannya.

"Bagaimana Om Utoro?" tanya gue langsung.

Yang ditanya menghela napas dan itu membuat Mak Salmah mengernyitkan dahi. Om Utoro tampak menimbang dengan hati-hati. Gue menanti, apa yang akan disampaikannya?

"Begini Nak Damar dan semuanya. Om menggantungkan hidup dari keluarga Diwangkara, menikahi Dik Salmah itu saja, saya sudah merasa kurang ajar, apalagi harus tinggal di rumah ini," kata Om Utoro.

Gue tahu, ini adalah hal berat buat Om Utoro. Mungkin banyak yang biasa aja tinggal di rumah mertua, tetapi ia adalah pengecualian. Mak Salmah tampak menggeleng.

"Abah pasti juga merelakan bila Mak Salmah bahagia, jadi Om Utoro tidak perlu merasa tidak enak, tentang tinggal disini memang itu keinginan Damar pribadi," ucap gue.

Om Utoro tampak berpikir keras. Mak Salmah menatap penuh harap. Mungkin ia ingin calon suaminya itu, memenuhi permintaan gue.

"Nak Damar tahu, itu mungkin biasa buat orang lain tapi buat Om, itu adalah hal yang besar," kata Om Utoro sambil menghembuskan napas berat.

"Pak Utoro tidak perlu sungkan! Mendiang pasti setuju dengan Damar, dengan begitu janji untuk menjaga keluarga Diwangkara, yang Bapak ucapkan dulu akan selalu tercapai," ujar Mama Setyawati.

Semua mata tertuju pada Mama Setyawati. Gue tidak mengerti apa yang dibicarakan. Janji, janji apa maksudnya?

"Aku pikir dulu mendiang Bang Danang bercanda, sewaktu bercerita bahwa Pak Utoro berjanji akan menjaga keluarga ini," ujar Mama Setyawati.

"Itu benar adanya Ibu Setyawati," kata Om Utoro.

"Jadi tidak ada masalah, Om Utoro justru semakin dekat dengan Keluarga Diwangkara bila tinggal disini," ucap gue.

"Itu....." kata Om Utoro terpenggal.

"Jadi Mas Utoro tidak mau? Tidak mau tinggal atau sebenarnya tidak mau nikah?" tanya Mak Salmah.

Gue hanya menggeleng. Om Utoro kedepannya harus siap-siap menabung kesabaran. Mak Salmah selalu bicara terbuka dan blak-blakkan.

"Iya, Dik Salmah, Mas mau tinggal disini," kata Om Utoro sambil meringis.

Ternyata tangan kejam Mak Salmah telah mampir ke pinggang Om Utoro. Kualat itu sama calon suami. Belum apa-apa sudah KDRT.

Tiba-tiba ada salam dari depan. Diikuti masuknya sahabat gue dan keluarga kecilnya. Mereka tampak ceria berkunjung kemari.

"Wah, wah, ada acara apa? Kok kumpul semua? Tadi bibi yang buka pintu katanya lagi kumpul disini," ujar Gembor yang langsung duduk di sebelah gue.

Berhubung tanggal merah, maka Mak Salmah selalu meminta Gembor dan keluarga main kemari, biar ramai katanya. Mama Setyawati langsung menghampiri Mbak May. Kak Aryati tampak berdiri dan ikut mendekati bayi.

"Ada yang mau nikah Mbor," kata Bang Jaya.

"Wah, akhirnya Mbak Rani mau juga sama lu, Bang," ujar Gembor.

"Dari dulu kali Rani mau sama gue," kata Bang Jaya tidak terima.

"Iya tahu, tapi kan nggak mau nikah-nikah sama Bang Jaya," ujar Gembor.

"Tunggu! Tunggu! Memang lu pikir siapa yang mau nikah?" tanya gue.

"Ya Bang Jaya, mana mungkin lu nikah lagi, bisa dibantai sama Mak Salmah," ujar Gembor.

Gue toyor kepala Gembor. Sok tahu banget. Ia pasti terkejut kalau tahu kebenarannya.

"Kepala nih, kalau gue pusing nanti lapar," ujar Gembor cemberut.

"Dasar rakus," ucap gue.

"Kalau nggak makan, orang bisa mati," ujar Gembor.

"Tapi otak itu di kepala, bukan di perut," ucap?" ujar Gembor.

"Bukan gue, Mak Salmah yang mau nikah," kata Bang Jaya.

Gembor malah tertawa terpingkal, dikiranya bercanda kali ini anak. Ia sampai memukul-mukul lengan sofa. Gue menatapnya aneh.

"Bulan April telah lewat, buat April Mob? Nggak seru, atau mau buat prank? Nggak banget dech," ujar Gembor masih tertawa.

Berhubung semua diam dan serius, tawa Gembor mulai mengecil serta mencicit. Ia mulai menerka-nerka. Gue menanti ia sadar tentang kebenaran ini.

"Benar Mak Salmah?" tanya Gembor meragu.

Mak Salmah hanya mengangguk pelan, sedang Gembor membelalakkan mata. Ia menatap tidak percaya. Ia meggumam tidak jelas.

"Bang Jaya, terus kapan lu kawin? Nikah maksudnya, malah nenek-nenek duluan," ujar Gembor heboh.

Bang Jaya hanya membuang napas berat. Mak Salmah berdiri pelan dan langsung bertindak kejam. Ia tidak terima sepertinya dibilang nenek-nenek.

"Aduh Mak Salmah sakit," ujar Gembor.

"Siapa yang lu bilang nenek-nenek?" kata Mak Salmah.

"Nenek Salmah yang masih sexy, tolong lepas! Sakitttt," ujar Gembor mohon.

"Dik Salmah kasihan Gembor," ucap Om Utoro.

Akhirnya pawangnya bicara. Mak Salmah lalu bergabung dengan yang lain mengerumuni anak Mbak May. Semua seolah lupa tentang kejadian jewer menjewer.

"Bang Jaya, perlu bantuan gue? Buat meluluhkan Mbak Rani." tanya Gembor.

Bang Jaya menatap Gembor tidak yakin. Gue juga sama. Ia selalu berlaku absurb, mencurigakan solusinya.

"Jangan dengarkan dia Bang! Anjurannya selalu menyesatkan," ucap gue.

"Ini seratus persen berhasil," ujar Gembor sok yakin.

"Tapi kok gue nggak yakin Mbor," kata Bang Jaya.

Gue tertawa nista ke Gembor. Pasti anjurannya aneh-aneh dan tidak masuk akal. Bang Jaya tampak menunggu dengan sabar.

"Kenapa tidak seorang pun percaya pada gue? Disitu gue merasa sedih," ujar Gembor sendu.

"Gelo lu," ucap gue.

"Lebay," kata Bang Jaya.

Gembor malah mengerjap-ngerjapkan mata menjijikkan. Gue hampir mencoloknya. Bang Jaya menggeleng.

"Memang Nak Udin tahu caranya, agar Nak Jaya bisa meluluhkan Nak Rani?' tanya Om Utoro polos.

Gue langsung mengusap wajah. Kenapa juga Om Utoro menanggapi pikiran soak Gembor? Bisa besar kepala dia.

"Akhirnya ada yang bisa menghargai kepintaran gue," ujar Gembor jumawa.

Om Utoro hanya tersenyum mendengar penuturan Gembor. Gue pura-pura muntah. Bang Jaya hanya menggeleng pelan.

"Gue saja sudah praktek," ujar Gembor lagi.

Gue dan Bang Jaya saling pandang, tidak mengerti apa maksud Gembor. Ia sudah menjalani solusinya? Tidak percaya dengan kata-katanya.

"Lu ngomong sudah praktek, maksudnya?" tanya gue bingung.

"Payah semua, tinggal hamilin Mbak Rani, pasti mohon-mohon dinikahi," ujar Gembor enteng.

"Astaga," kata Om Utoro.

Gue dan Bang Jaya langsung mengambil bantal dan membenamkannya ke wajah Gembor. Ia tidak sempat menghindar dari serangan kami. Ia berusaha menghindar dari sergapan kami..

"Dasar otak soak, lu mau menjerumuskan Bang Jaya?" ucap gue.

Akhirnya gue dan Bang Jaya melepaskan bantal setelah cukup memberi pelajaran buat Gembor. Mukanya tampak memerah. Ia berusaha mengatur napas.

"Itu ide brilian," ujar Gembor.

"Ide gila itu," ucap gue.

"Yang ada Rani akan membenci gue selamanya," kata Bang Jaya.

"Contohnya May, gue hamili tambah sayang sama gue," ujar Gembor.

Semua orang terdiam. Mbak May tersipu malu. Jangan bilang?

"Hamil berapa bulan May?" tanya Mak Salmah.

"Se-sebulan Mak," ujar Mbak May lirih.

"Astaga naga Gembor, lu nggak punya otak? Anak baru empat bulan, sudah membuat May hamil lagi?" tanya Mak Salmah geram.

Gembor meringis mendapat pelototan Mak Salmah yang kesal dengan kelakuannya. Semua mengulum senyum tentang berita ini. Manusia satu itu memang benar-benar.

"Jadi maksudnya? Lu hamilin Mbak May, membuat terlontar ide gila itu?" ucap gue.

"Hebatkan gue," ujar Gembor merasa bangga.

Gue hanya memutar mata malas. Ide Gembor tidak pernah ada yang normal. Bang Jaya tampak kesal dibuatnya.

"Coba lagi Nak Jaya! Bicara lagi dengan Nak Rani, dari hati ke hati! Mungkin Nak Rani masih ada ganjalan," kata Om Utoro memberi solusi.

"Nah, ini baru usulan normal," ucap gue.

"Entahlah Om, Jaya tidak tahu sampai kapan Rani bertahan," ujar Bang Jaya.

"Bang Jaya masih mau nunggu Mbak Rani? Gue ada ide, ide lain ini," kata Gembor karena melihat tidak ada yang percaya lagi.

"Coba Nak Udin utarakan!" ucap Om Utoro.

Dikasih lampu hijau, dengan sok si Gembor berdehem meminta perhatian. Merasa dibutuhkan ia berlama-lama sebelum bicara. Gue hanya menatap malas.

"Bang Jaya pura-pura sakit, terus bilang ke Mbak Rani kalau Bang Jaya takut nggak ada umur, pasti luluh itu," ujar Gembor bangga.

"Lu nyumpahin Bang Jaya sakit, atau mati, makin gila ide lu, nggak setuju, berasa sinetron," ucap gue kesal.

Para perempuan tampak tidak terpengaruh dengan perdebatan kami, karena bayi mungil anak Mbak May. Mereka tampak ceria dengan dunianya. Mak Salmah yang paling ramai suaranya.

"Om Utoro, kapan mau menikahi Mak Salmah?" tanya Bang Jaya.

"Dua minggu lagi, sederhana saja, dan lagi kami sudah tidak muda lagi," kata Om Utoro.

"Yakin Mak Salmah mau sederhana?" tanya Gembor.

"Kami sudah membicarakannya," kata Om Utoro.

"Bulan madu dimana Om?" tanya Gembor lagi.

Gue dan Bang Jaya langsung menatap Gembor, ini anak mau dihajar lagi. Itu privasi kali. Tidak enak bertanya itu.

"Dimanapun, yang penting kami bersama," kata Om Utoro bijak.

"Jadi baper gue, ingin bulan madu jadinya," ujar Gembor pelan.

Gue langsung menoyor kepala Gembor. Ia hampir mengumpat tapi tidak jadi karena ada Mak Salmah. Ia hanya bersungut-sungut tidak terima.

"Selangkangan mulu nih orang, heran gue? Kampung Surga sudah rata dengan tanah sekarang jadi taman, nggak berubah juga lu?" ucap gue kesal.

"Apaan sih, lu pasti juga begitu dengan Kak Aryati," ujar Gembor.

"Tapi nggak perlu diumbar kali," ucap gue.

Mata gue berbarengan saling menatap dengan Kak Aryati. Ia tersenyum walau gue tahu ada gurat kesedihan disana. Gue balas tersenyum seakan menenangkan.

Pernikahan tidak hanya soal selangkangan seperti Gembor pikir. Lebih dari itu, kepercayaan lebih utama. Gue percaya pada waktunya akan menjadi indah, semua orang punya lika-liku pernikahannya masing-masing.

"Jadi Om Utoro tidak mau mengajak Mak Salmah? Kemana gitu buat bulan madu?" tanya Gembor menuntut.

"Itu privasi Gembor, lu banyakan nanya!" ucap gue kesal.

Gue segera memotong pertanyaan Gembor sebelum Om Utoro pusing. Ia pasti tidak enak bila tidak menjawab pertanyaan darinya. Menjawab seakan juga menelanjangi diri, serba salah memang.

"Nikah disini ya, Om?" ucap gue.

"Siapa yang nikah?"

Semua mata tertuju pada sosok perempuan, yang kini berdiri memandang kami satu persatu. Gue melihat aura ketegangan di ruang keluarga ini. Dan gue tidak suka akan hal itu.