Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 33 - Bab 33 Ditikung

Chapter 33 - Bab 33 Ditikung

Seminggu setelah Caroline keluar dari rumah sakit. Gue memberi kabar untuk mengumpulkan semua anggota keluarga Diwangkara, tanpa terkecuali. Yang tidak hadir akan dicabut fasilitasnya, keren kan? Siapa dulu? Damar Jati Diwangkara, lupakan kenarsisan ini!

Randu sepertinya tambah segan dengan gue. Kalau ketemu Kak Aryati yang kadang ke kantor untuk makan siang bersama, ia tampak hormat ketika menyapanya. Terlihat dari kejauhan, gestur tubuhnya tampak sangat sopan.

Seperti biasa, baik Mama Setyawati maupun Bang Jaya, sangat enggan bila harus berkunjung ke rumah besar keluarga Diwangkara. Bahkan Mak Salmah terang-terangan kesal. Tapi gue berusaha meyakinkan semuanya, agar mau kesana.

"Kenapa harus kesana?" tanya Mak Salmah.

"Masalah Caroline," jawab gue pelan.

"Memang kita siapa? ada orang tuanya ini," ujar Mak Salmah.

Memang ada orang tuanya, tapi kan Caroline masih saudara. Walau saudara jauh, keburukan dia juga akan berdampak pada keluarga ini. Kalau tidak menyandang nama Diwangkara, malas ikut-ikut menangani masalah ini, gue hanya ingin keluarga ini damai.

Selama ini gue hanya punya Mak Salmah sebagai keluarga. Gembor sebagai sohib yang paling dekat. Tapi setelah tahu punya keluarga yang lain, tidak seharusnya cuek terhadap mereka, bukan?

"Macet begini hari ini, jadi malas," ujar Mak Salmah kesal.

"Cuma di depan Mak, itu orang-orang mau ke Gereja, toleran sedikit kenapa?" ucap gue pelan.

"Apa hubungannya toleran sama macet?" ujar Mak Salmah.

"Mak Salmah mau nggak ikut? Mau turun sini?" tanya gue.

"Nggak, nanti lu diapa-apakan sama nenek-nenek itu," ujar Mak Salmah cepat.

Melirik Bang Jaya yang tersenyum di belakang kemudi. Begitulah Mak Salmah yang selalu menjaga, seolah gue itu balita bila berhadapan dengan keluarga Diwangkara. Tapi ada sisi baiknya juga, ia seperti itu.

"Ya sudah sabar! Sebentar juga macetnya, itu juga karena angkutan umum berhenti mencari penumpang!" ucap gue pelan.

Mak Salmah terdiam. Mengikuti arah pandangnya ke arah pintu gerbang Gereja, disana ada dua bocah perempuan yang ceria ketika masuki gerbang itu. Gue menghela napas dan tahu pasti, ia menginginkan cucu, hanya saja, tidak seorangpun di mobil ini tahu masalah Kak Aryati. Semoga dengan kesabaran, Allah segera menyembuhkannya dan memberikan kepercayaan kepada kami seorang anak.

"Kenapa Dam?" tanya Bang Jaya.

"Tidak apa-apa," ucap gue lemah.

"Yang sabar!" kata Bang Jaya.

Tidak mengerti arah pembicaraan Bang Jaya. Gue melihat isyaratnya ke arah gerbang Gereja. Akhirnya hanya tersenyum masam ke arahnya.

"Lihat atas kubah Masjid di depan! Kamu masih percaya padanya kan?" tanya Bang Jaya.

Disana tulisan Allah begitu indah, menghiasi warna biru dari langit yang cerah pada hari ini. Gue akhirnya tersenyum lebar. Dalam pikiran, masih dan akan selalu percaya.

Beberapa saat kemudian, kami telah mendekati perumahan elite, dimana rumah besar keluarga Diwangkara terletak. Mak Salmah masih enggan untuk ceria. Mobil tanpa kendala masuk ke gerbang, Bang Jaya membawanya perlahan mendekati pintu masuk utama rumah besar.

Kami keluar dari mobil. Seorang maid membukakan pintu. Dengan mengucapkan terima kasih, gue dan yang lain masuk menuju ruang tamu. Disana sudah hadir Om Prasojo dan Tante Nur, isterinya, serta Om Bagus juga Tante Septi, tetapi tidak terlihat Carla serta Caroline.

"Untuk apa kamu menyuruh kami berkumpul dengan ancaman pula?" tanya Om Prasojo yang tinggi kurus itu, tampak tidak sabar.

"Kamu sudah merasa hebat, merasa paling berkuasa di keluarga ini?" ujar Om Bagus yang gendut pendek itu, ikut tidak sabar tentang pengumpulan keluarga ini.

Mak Salmah akan meledak. Segera meremas tangannya pelan. Biarlah gue yang akan membela diri.

"Ada yang keberatan dengan keberadaa gue? Katakan! Pengacara keluarga akan dengan senang hati bertindak?" Gue bisa melihat wajah-wajah yang tidak suka, namun tidak bisa berbuat banyak.

"Damar! Kamu sudah datang?"

Nenek Sulis keluar dari lift,. Gue sengaja membuatkan lift di rumah ini untuknya. Ia sudah terlalu tua untuk naik turun tangga, membuatnya sangat senang atas perhatian cucunya.

Terlihat Carla berjalan di belakang Nenek Sulis sambil menunduk. Sepertinya semua sudah berkumpul. Tinggal yang menjadi topik utama belum hadir, gue mengambil ponsel.

"Lu dimana?" tanya gue begitu telepon diangkat.

"...."

"Ya sudah, semua sudah berkumpul," ucap gue sambil mematikan sambungan.

"Caroline kemana Ma? Papa hubungi nggak bisa," tanya Om Prasojo yang dibalas gelengan oleh isterinya.

Pintu depan terbuka dan masuklah Caroline. Tante Nur langsung berdiri menyambut, lalu memeluknya. Randu dan bayinya di belakang tampak ragu akan melangkah. Gue lalu memberi isyarat untuk mendekat, berbisik ke Mama Setyawati agar mengambil alih bayi itu, sebelum drama dimulai.

"Kenapa ada pria itu dan bayinya? Kalau tidak salah dia karyawan hotel kita?" tanya Nenek Sulis.

"Manager hotel pusat yang baru," ucap gue pelan.

"Ada apa ini Damar? Oma merasa tidak senang dengan ini?" tanya Nenek Sulis.

Lihatkan! Masih tetap memanggil Oma kepada diri sendiri. Gue melihat, baik Caroline dan Randu tampak gelisah. Mereka tampak gugup sekali.

"Perkenalkan dia Randu, ayah bayi itu, yang juga bayi Caroline," ucap gue.

Hening, hingga semua menjadi tidak terkendali. Om Prasojo maju menghajar Randu. Gue dan Bang Jaya segera melerai.

Plak.

Itu adalah tamparan Tante Nur ke pipi Caroline. Mak Salmah lalu menengahi mereka. Ia menghalangi dengan tubuhnya.

"Lepas! Aku akan hajar pria brengsek ini," seru Om Prasojo berapi-api.

"Kalau Om Prasojo dan Tante Nur tidak tenang, gue akan membuat Om dan Tante tidak melihat Caroline lagi!" ucap gue tegas.

Om Prasojo dan Tante Nur terdiam. Begitu semua terkendali, gue meminta semuanya duduk. Randu tampak berantakan di samping Bang Jaya, sedang Caroline tampak menangis di dekat Mak Salmah.

"Jelaskan!" ujar Om Prasojo agak mereda.

"Caroline dengan kehidupan bebasnya," ucap gue.

"Itu tidak benar, katakan itu tidak benar ke Mama! Caroline!" kata Tante Nur tampak kecewa.

"Sayangnya itu benar, hingga ia hamil dan melahirkan anak," ucap gue tenang.

"Jadi selama ini kamu tidak hadir di rumah, dan memilih tinggal di apartemen karena ini?" tanya Om Prasojo.

"Jadi keputusannya adalah....." ucap gue terputus.

"Jangan mentang-mentang kamu penguasa di rumah ini! Kamu bisa bebas, membuat keputusan untuk keluarga kami," ujar Om Prasojo.

Nenek Sulis yang akan bersuara terdiam karena isyarat dari gue. Om Prasojo saat ini sedang emosi. Apapun yang diucapkannya, harus dihadapi dengan kepala dingin.

"Apa ada keputusan dari gue merugikan kalian? Apa fasilitas dari keluarga ini ada yang kurang?" ucap gue meninggi.

Semua terdiam. Tentu saja tidak ada yang rugi ataupun kekurangan. Gue selalu berusaha adil buat mereka, tanpa terkecuali.

"Gue tahu Caroline dan Randu salah. Jangan ada dipikiran kalian untuk memisahkan mereka! Apalagi mengambil bayi itu!" ucap gue.

"Kita akan menikahkan mereka dengan sederhana! Karena kita tidak mau ini dikonsumsi umum, bukan? Yang akan berdampak buruk pada citra keluarga," ucap gue lagi.

"Maafkan saya," kata Randu.

Gue melihat Om Prasojo dan Tante Nur seperti tidak terima. Padahal terdengar ketulusan dari Randu. Memang tidak mudah dalam hal ini.

"Berapa uang yang kamu inginkan?" tanya Om Prasojo.

"Saya mencintai Caroline. Dan akan menanggung hidup puteri Bapak, sekalipun fasiltasnya dicabut," ucap Randu pelan.

"Jadi semua sudah jelas bukan?" tanya gue yang tidak akan dibantah oleh mereka.

Akhirnya semua selesai. Walau dengan berat Om Prasojo dan Tante Nur, menerima Randu dan bayinya. Gue harap nantinya mereka benar-benar rela.

Randu dan Caroline memilih pulang bersama kami. Tampaknya mereka masih enggan untuk mendekat ke keluarganya. Perlahan mereka pasti bisa.

Sore setelah kami sampai di rumah, Om Utoro ikut makan malam bersama kami. Sebenarnya ada yang tidak biasa dengan keberadaannya. Ia tidak pernah sekalipun makan malam bersama kami, ia hanya datang ketika ada pembahasan masalah pekerjaan setelahnya ia pergi. Gue juga merasa Mak Salmah agak mencurigakan, ia tampak gelisah dan salah tingkah, entah karena apa.

"Apa ada hal penting, yang membuat Om Utoro kemari?" tanya gue karena tidak sabar.

"Tidak, ya," ucap Om Utoro tidak konsisten.

Gue dan Bang Jaya saling pandang. Kenapa jawaban Om Utoro bukan seperti dirinya yang selalu tenang? Sangat tampak kegusaran dalam ucapannya.

"Maksud Om Utoro?" tanya gue benar-benar tidak mengerti.

"Tidak ada hal penting," ujar Om Utoro.

Gue melihat Mak Salmah menghembuskan napas berat. Om Utoro melirik Mak Salmah sesaat. Ini sebenarnya ada apa?

"Tidak ada masalah pekerjaan, semua baik-baik saja, tidak ada masalah pekerjaan," ujar Om Utoro.

Gue jadi mengernyitkan dahi. Ini Om Utoro ada apa? Malah membuat curiga dan makin penasaran..

"Jadi Om Utoro hanya main kemari?" tanya gue memancing.

"Iya hanya main, tapi sebetulnya bukan itu," ujar Om Utoro membingungkan.

"Om Utoro, ada masalah apa? Apa pembebasan lahan untuk resort baru ada kendala?" tanya gue.

"Tidak masalah resort baru, kita telah berhasil mengatasinya, walau dengan harga sedikit lebih mahal," ujar Om Utoro.

"Baguslah, gue malas bila menghadapi pemilik yang serakah. Walau itu tanah mereka, mau jual tapi harga tidak masuk akal, lupakan saja kalau ada kasus seperti itu, cari tempat lain!" ucap gue panjang lebar.

"Apa tidak ada tempat buat membahas pekerjaan? Bahkan ini meja makan?" tanya Mak Salmah dengan kesal yang berlebihan.

Gue menatap aneh ke Mak Salmah. Biasanya gue dan Bang Jaya sering membahas masalah pekerjaan di meja makan. Walau Mak Salmah ataupun Mama Setyawati selalu mengingatkan kami.

"Mak Salmah ada apa?" tanya gue pelan.

"Tidak apa-apa," kata Mak Salmah cemberut.

Gue menghela napas, Kak Aryati menenangkan dengan mengelus lengan gue. Bagaimana bisa tahu, jika yang bersangkutan diam? Gue bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang.

"Om Utoro atau Mak Salmah yang akan bicara? Ada apa?" tanya gue setelah menguasai diri.

Baik Om Utoro ataupun Mak Salmah saling pandang. Saling lempar tatapan, untuk siapa yang akan bicara. Gue jadi penasaran dengan keduanya.

"Dik Salmah akan menikah, Dam," kata Mama Setyawati.

Sendok yang terpegang lepas, menimbulkan bunyi keras karena terbentur dengan lantai. Gue nggak salah dengar? Mak Salmah mau menikung Bang Jaya, menikah duluan. Nasibmu Bang, ditikung emak-emak.