Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 31 - Bab 31 Suatu Hari

Chapter 31 - Bab 31 Suatu Hari

Pagi ini kelihatan sibuk. Mak Salmah dan Mama Setyawati mondar mandir kaya setrikaan. Gue, Kak Aryati dan Bang Jaya yang sedang sarapan bingung melihat mereka. Tidak biasanya mereka seperti itu.

"Kak Aryati, itu Ibu-Ibu kenapa?" tanya gue heran. Kak Aryati hanya menggeleng pelan.

"Mama, ada apa?" ujar Bang Jaya.

Setelah penerimaan Mbak Rani tempo hari terhadap Bang Jaya, tampaknya berpengaruh pada penyembuhannya. Terlihat ia nampak semangat dalam menjalani hari-harinya. Gue ikut senamg karenanya.

"May, kayaknya mau lahiran," kata Mak Salmah.

"Sudah semua Dik Salmah?" tanya Mama Setyawati.

"Sudah, gue kira masih minggu depan," kata Mak Salmah.

"Mau kemana Ibu-Ibu cantik?" tanya gue.

"Ke rumah yang di kota, kan May dan Gembor tinggal disana," kata Mak Salmah.

"Kok masih di rumah?" tanya gue heran.

"Kan May masih mules-mules biasa, paling masih bukaan satu, masih lama," kata Mak Salmah.

"Terus kenapa mau kesana kalau masih lama?" tanya gue heran.

"Si Gembor panik, nanti malah ada apa-apa sama May," kata Mak Salmah.

"Damar sama Aryati, kalian ikut ya!" ujar Mama Setyawati.

"Kok Damar harus ikut?" tanya gue bingung.

"Lu ikut karena Gembor pasti nggak bisa nyetir," kata Mak Salmah.

"Bang Jaya?" ucap gue.

"Dia ada meeting, jadi Jaya nggak bisa menemani kita," ujar Mama Setyawati.

Gue menghela napas. Modus memang Abang gue itu, bilang saja bisa mati kalau nggak ketemu Mbak Rani barang sehari. Kaya ABG itu orang, sudah ketemu tiap hari di resto, malamnya masih telepon minimal satu jam, terserahlah mereka yang jalanin ini.

"Hitung-hitung, lu belajar nanti kalau Nak Aryati mau melahirkan," kata Mak Salmah.

Menoleh ke Kak Aryati yang merona wajahnya dan kemudian tersenyum pias ketika matanya menatap wajah gue. Kita tahu, hubungan kami belum ada kemajuan. Gue suka tiba-tiba meluk dia dari belakang serta mencuri cium darinya, hanya sampai segitu, tidak lebih.

"Kalian sudah sarapannya? Ayo berangkat!" kata Mak Salmah.

Akhirnya kami berangkat. Gembor akan segera punya anak, gue kapan? Masih di ujung langit sepertinya angan itu. Tapi harapan harus selalu terpupuk setiap saat, optimis.

"Kalau nyetir jangan melamun!" ujar Kak Aryati lembut.

Kak Aryati sengaja merebahkan kepala di lengan gue, agar ia bisa berkata lirih. Gue menoleh dan tersenyum. Ia selalu tahu ketika hati ini sedang risau, gue senang atas kepekaannya.

"Kenapa kita harus ikut kalau harus pisah mobil," ucap gue pelan.

Gue dan Kak Aryati menaiki mobilnya. Mobil gue dinaiki Mak Salmah dan Mama Setyawati, tentu saja beserta sopir baru. Mobil dan sopir adalah hasil paksaaan Nenek Sulis yang tidak bisa dibantah.

Gembor akhirnya mau menerima nasihat Bang Jaya, untuk kuliah demi masa depannya. Padahal sampai berbusa gue ngomong, tetap nggak peduli, bahkan sampai gue tawari biayanya. Dan ketika sadar, ia datang menemui gue. Katanya mau kuliah berkat anjuran Bang Jaya, tetapi minta gue yang bayar, ini anak mau dikempesin sepertinya? Kemarin kemana saja?

"Kamu pasti mikir tentang anak, maafkan aku!" ujar Kak Aryati.

"Sudahlah! Kita akan berusaha semaksimal mungkin, gue akan selalu bersabar sampai waktunya itu tiba."

Ada rahasia besar ternyata. Kak Aryati seperti ketakutan, ketika gue untuk pertama kali memeluknya dari belakang. Dia menangis, gue yang bingung malah memeluknya semakin erat dan tubuhnya semakin tegang dan bergetar. Ketika gue membalikkan badannya, mata Kak Aryati terpejam dengan wajah pucat dan peluh bercucuran, dan mengatakan jangan menyentuhnya, bahkan memohon jangan memperkosanya.

Disitulah gue baru tahu tentang trauma yang dialaminya. Bahkan gue sempat menaikkan suara bahwa gue Damar, bukan pemerkosa. Barulah perlahan ia membuka mata, setelah sadar ia memeluk gue erat dan menangis pilu.

Randu, pria itu menolong Kak Aryati yang hampir saja diperkosa. Ia tentunya melihat tubuh hampir polos Kak Aryati, kadang bila mengingat bagian itu, membuat gue marah. Tapi di lain pihak, ialah yang berusaha membuat Kak Aryati mau ke dokter, untuk menolong jiwanya yang rapuh.

Hanya ketika Randu mengatakan mencintai Kak Aryati, ia berusaha menghindar. Bahkan Randu juga menawarkan diri untuk mendanai panti asuhan milik orang tuanya. Beruntung ia ketemu lagi dengan Bang Jaya, yang juga sedang bermasalah dengan Caroline, jadi lengkap sudah cerita, mereka pura-pura menikah, maksudnya menikah resmi tetapi tidak melakukan sebagaimana mestinya suami isteri.

"Melamun lagi? Mikir Gembor yang sebentar lagi punya anak?" tanya Kak Aryati.

"Salah satunya," ucap gue pelan.

"Maafkan aku, kalau kamu mau...."

"Tidak akan, gue tidak akan menceraikan Kak Aryati ataupun menikah lagi."

"Ihhh, siapa juga mau cerai dan rela suami nikah lagi?" ujar Kak Aryati kesal.

"Tadi mau bilang apa?" tanya gue bingung.

"Kalau kamu sudah tidak sabar mau punya anak, kita bisa mengadopsi sambil menunggu aku sembuh," ujar Kak Aryati.

Begitu lampu merah, menghembuskan napas berat. Menoleh dan memandangi wajah Kak Aryati, secepat kilat gue curi satu kecupan di bibir merahnya. ia yang terkejut lalu memukuli gue sekenanya.

"Dasar mesum tidak tahu tempat, ini jalan raya," ujar Kak Aryati kesal.

"Gue masih mau menunggu," ucap gue pelan.

Mengelus pelan kepalanya. Ia yang tadi tampak marah kemudian malah memejamkan mata. Kalau tidak lihat tempat, entah apa yang terjadi?

"Aku takut tidak sembuh," guman Kak Aryati hampir tidak terdengar.

"Kata dokter sudah banyak kemajuan, Kak Aryati mau gue pakai kostum apa?" tanya gue.

Kak Aryati menjauhkan diri dan menatap tidak mengerti. Gue tersenyum penuh arti. Pasti ia menerka-nerka tapi bingung tidak paham.

"Kalau Kak Aryati sudah sembuh, gue harus pakai kostum apa di kamar, Batman, Superman, Thor, Aquaman atau tidak usah pakai baju sama sekali," ucap gue cengengesan.

Kak Aryati tadinya tidak mengerti, setelah beberapa saat langsung memukuli dengan brutal. Untung lampu lalu lintas berubah hijau, banyak bunyi klakson mobil tidak sabar dari belakang mobil kami. Akhirnya ia menghentikan amukannya dan gue langsung menjalankan mobil sambil tersenyum.

Sampai di tujuan, kami yang akan keluar mobil melihat Gembor dan Mak Salmah memapah Mbak May. "Damar kamu yang nyetir mobil, tadi Pak Danu dapat telepon kalau anaknya panas!" Mak Salmah dengan suaranya yang lantang memerintah. Gue dengan cepat membukakan pintu mobil untuk mereka.

"Hati-hati nyetir, polisi tidur jangan asal hajar saja!" kata Gembor.

"Polisi berdiri boleh?" tanya gue asal.

"Lu mau cari mati?" kata Gembor kesal.

Kak Aryati yang akan membawa mobilnya sendiri urung, karena gue memberi isyarat untuk satu mobil. Mama Setyawati memilih duduk di belakang, di tengah Gembor Mbak May dan Mak Salmah. Dengan perlahan mobil meninggalkan pekarangan.

"Sakit Say?" tanya Gembor mengelus pelan perut Mbak May. Gue melihat dari spion tengah ia membelai rambut isterinya tulus. Mbak May hanya mengangguk pelan sambil sesekali meringis.

"Kalau tahu begitu sakit, kenapa cewek-cewek senang hamil?" tanya Gembor hampir bergumam.

"Itu kodrat perempuan, sempurna kalau bisa hamil apalagi melahirkan," ujar Mak Salmah.

Gue menoleh sebentar ke Kak Aryati yang kebetulan juga menatap. Memberi senyum terbaik serta mengenggam tangannya, kami pasti bisa seperti Gembor suatu hari nanti. Harapan itu selalu ada walau sekecil apapun, tetap diusahakan terwujud.

"Lu pegang setir yang benar, bukan pegangan tangan, May lagi kesakitan nih!" ujar Gembor.

Dan terdengar Gembor mengaduh. Siapa lagi kalau bukan Mak Salmah tersangka utamanya. Kadang ia bicara asal, tidak tahu situasi, jadi terkena hukuman yang semestinya.

"Fokus sama May! Bukan yang lain!" Titah Mak Salmah, siapa berani menentang? Gembor menyebikkan bibir namun segera mengelus perut Mbak May akhirnya.

Setelah tiba di rumah sakit, Mbak May segera ditangani dengan cepat. Gembor sudah ditawari untuk memindahkan ke ruang VIP tapi dengan tegas ia menolak. Ia memakai bpjs yang di back up kantor, ingin mandiri, tidak mau bergantung, sudah terlalu banyak keluarga kami membantu, katanya. Padahal gue sudah menganggapnya sebagai saudara sendiri, begitu juga Bang Jaya, Kak Aryati, Mama Setyawati apalagi Mak Salmah, ia bagai anak sendiri.

Kami berada di ruang inap Mbak May, dimana bayinya ada di ruang kaca khusus. Ketika jam kunjungan semua bayi bisa dilihat disana. Begitu jam bezuk usai, anak baru di dekatkan ibunya. Begitulah kebijakan rumah sakit ini.

"Selamat ya May! Bayinya dan lu sendiri sehat," kata Mak Salmah.

"Terima kasih buat semua, kalian terlalu baik buat keluarga kami," ujar Mbak May sambil tersenyum.

"Sudah nggak usah banyak pikiran! Yang penting lu sehat sama bayinya sehat!" kata Mak Salmah bijak.

"Lucunya bayi kita May, mungkin dua atau tiga lagi seru kali ya?" ujar Gembor jenaka.

Satu saja baru lahir, sudah membayangkan ke belakangnya. Gue hanya menggeleng mendengar pemikirannya. Apa ia tidak kasihan? Melihat Mbak May merintih dari tadi.

"Lu kira May tidak sakit lahirin bayi empat kilo? Belum sembuh sakitnya, sudah disuruh hamil lagi?" kata Mak Salmah.

Dan pasti, Mak Salmah langsung menjewer telinga Gembor atas pikirannya yang absurd. Ia mengaduh dan nyengir. Kami semua, termasuk Bang Jaya serta Mbak Rani yang baru saja bergabung, tertawa melihat drama yang terjadi padanya.

"Sudah siapkan nama Mbor?" tanya Bang Jaya.

"Belum Bang, Udin Junior bagaimana?" ujar Gembor bertanya balik.

"Gembor Junior kali," ucap gue menimpali.

"Walau tidak berdarah biru, kaya lu ya Dam, gue mau anak-anak lebih baik dari gue," ujar Gembor sok serius.

"Tumben otak lu lempeng," ucap gue sambil tertawa.

Sebenarnya tidak suka Gembor mengatai gue berdarah biru. Kesannya bagaimana gitu? Tapi ia selalu bilang, takdir bahwa gue cucu Diwangkara tidak bisa ditolak.

"Bagaimana Mbak May? Rasanya setelah menjadi wanita seutuhnya?" tanya Kak Aryati.

"Kamu harus secepatnya merasakan Ar! Rasanya nano-nano," ujar Mbak May terkekeh pelan.

"Lu kira permen, Mbak May," ucap gue yang disambut tertawa pelan semuanya.

Walau kami bersendau gurau namun tidak ingin terlalu heboh. Meskipun kamar kelas dua yang berisi empat brankar hanya terisi satu, Mbak May seorang. Tapi dengan dibukanya pintu ruangan, pasti akan terdengar ke ruangan lain, bila kami tertawa keras-keras.

"Udah usaha lu Dam? Nanti gue kasih tahu berbagai gaya," ujar Gembor sambil menaik turunkan alisnya.

"Ngomong asal sih Say," kata Mbak May sambil mencubit lengan Gembor.

"Aduh sakit, emang si Damar lempeng-lempeng saja sejak dulu, Say" ujar Gembor lebay, katanya sakit malah menyerahkan lengannya untuk dicubit lagi.

"Mau gue cincang kalau dia aneh-aneh sama cewek?" tanya Mak Salmah kejam.

Gue meringis menoleh ke Kak Aryati yang tersenyum, sedang yang lain terbahak. Mak Salmah sekali bicara langsung tepat sasaran. Tapi itulah kelebihannya, memegang prinsip idealisnya.

"Bu Caroline ini makan siangnya!"

Semua terdiam, kecuali Mak Salmah, Gembor dan Mbak May yang sepertinya tidak tahu masalah tentang Caroline. Gue dan Bang Jaya saling pandang. Kami memang tidak begitu memperhatikan ketika tadi ada pasien yang baru masuk. Karena tirai yang menutupi antar brankar.