Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 29 - Bab 29 Tentang Bang Jaya

Chapter 29 - Bab 29 Tentang Bang Jaya

Setelah Mbak Rani muncul, semua tidak baik-baik saja selancar jalan tol. Mungkin baik-baik itu, hanya keinginan dan harapan. Ia memang telah ditemukan, tetapi Bang Jaya tidak serta merta langsung menikah dengannya, ia masih belum melupakan suaminya.

Walau berat hati, Bang Jaya harus menerima keadaan itu. Gue juga berat, hubungan dengan Kak Aryati begitulah adanya, miris untuk diceritakan. Tapi tunggu dulu, ada sedikit kemajuan walau tidak banyak, Mbak Rani kembali bekerja di resto sehingga ia bisa berjuang untuk mendapatkannya.

Mau tahu kemajuan hubungan dengan Kak Aryati, harap jangan tertawa! Gue tidur satu ranjang dengannya, tapinya yang membuat tambah merana. Ada guling untuk memisahkan ketika kami tidur, begitulah, lebih baik pisah kamar dari pada sekamar tapi terkekang.

Bagaimana tidak merana? Hanya bisa memandang Kak Aryati yang terlelap tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudahlah! Mungkin akan indah pada waktunya, begitu kata-kata di lagu atau tulisan puitis, gue lupa dimana.

Seperti biasa gue di kantor dengan berkas-berkas yang harus diteliti untuk acc atau persetujuan lainnya. Rutinitas yang perlu konsentrasi lebih. Profesional dijunjung tinggi walau banyak masalah pribadi.

"Damar!"

Mendongak dan mendapati nenek Sulis telah berdiri di pintu yang terbuka. Gue hanya mengernyitkan dahi. Tumben ia kemari di hari Senin, biasanya hari Rabu.

"Tumben Nenek kemari?" tanya gue pelan.

Setelah menutup pintu dengan keanggunan yang selalu dimilikinya. Nenek Sulis mendekati gue. Ia tampak lebih bahagia hari ini.

"Kenapa, kamu tidak senang?" tanya Nenek Sulis balik.

"Sensi amat sih, lagi dapat? Tapi gue kira, Nenek sudah tidak dapat tamu lagi setua ini," ucap gue asal.

Pertama kali mendengar celoteh gue, mungkin Nenek Sulis terkejut. Tapi karena sudah terbiasa, ya biasa saja kali sekarang. Ia hanya menggeleng pelan.

"Kalau aku masih bisa hamil, aku tidak akan mencarimu," kata Nenek Sulis pelan.

"Yakin, rugi kalau tidak mencari cucu seganteng gue."

Tampak Nenek Sulis menghela napas. Terlihat ada kerisauan di muka tuanya. Gue jadi penasaran.

"Ada apa Nek?" tanya gue tidak sabar.

"Kapan kamu bisa memanggilku, Oma atau Eyang?" kata Nenek Sulis.

Gue mengernyitkan dahi, memang ada pengaruh begitu? Tua juga kan maksudnya? Ada-ada saja.

"Sudahlah! Ada yang perlu aku tanyakan kepadamu," kata Nenek Sulis.

"Serius amat, ada apa?" tanya gue makin penasaran.

"Apa kamu meniduri Carla?" tanya Nenek Sulis menatap gue tajam.

Gue sangat terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Nenek Sulis. Tidak habis pikir bagaimana dia mendapatkan kabar itu? Benar-benar gila yang menyebarkan berita bohong.

"Nenek, gue masih perjaka," ucap gue pelan hampir bergumam.

Nenek Sulis tampak terkejut dan memandang gue dengan tatapan meneliti. Risih ditatap penuh selidik olehnya. Memasang wajah yakin akan perkataan yang baru terlontar.

"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" tanya Nenek Sulis seketika seperti menuduh.

Gue menatap Nenek Sulis yang seakan memvonis bohong. "Dari mana Nenek Sulis mendapat kabar itu?" Kesal adalah kata yang tepat saat ini.

"Carla menangis," kata Nenek Sulis singkat.

Gue mengernyitkan dahi. Lalu apa hubungannya Carla menangis dengan gue? Bingung dengan pernyataan itu.

"Nenek, apa Nenek pikir gue niduri Carla? Hingga menyebabkan dia menangis, begitu?" tanya gue semakin kesal.

"Maaf."

Gue dan Nenek Sulis menoleh. Pintu yang terbuka dimana Kak Aryati berdiri kaku. Semoga ia mau mendengar penjelasan nanti.

"Kemarilah Kak Aryati!" ucap gue pelan.

Setelah menutup kembali pintu yang tadi Kak Aryati buka, ia menghampiri kami. Lalu memintanya duduk mengikuti gue. Ia setengah hati dan canggung duduk di sebelah gue.

"Nenek, gue belum pernah meniduri seorang perempuan," ucap gue.

"Lalu kenapa Carla menangis?" tanya Nenek Sulis tidak mau kalah.

"Tidak tahu, terakhir bilang padanya agar tidak mengusik gue!" ucap gue cepat.

"Apa maksudnya?" tanya Nenek Sulis.

"Gue bilang sudah menikah dan jangan pernah mengganggu lagi," ucap gue pelan.

"Kamu sudah menikah?" tanya Nenek Sulis tidak percaya.

"Ya, ini Kak Aryati, isteri gue," ucap gue.

Nenek Sulis tampak terperanjat kemudian tertawa kecil. Ada yang lucu dengan perkataan gue? Kak Aryati bingung juga, kenapa Nenek Sulis tertawa?

"Itu tidak lucu Damar, bagaimana kamu mengaku suaminya? Bukannya dia isteri anak angkat itu?" kata Nenek Sulis.

Gue malah kesal mendengar Nenek Sulis bilang anak angkat. "Yang Nenek bilang anak angkat itu punya nama. Bang Jaya telah bercerai dan gue yang akhirnya menikahi Kak Aryati." Mantap berkata dengan menatapnya.

"Seperti tidak ada perempuan lain saja, kamu bisa mendapat gadis manapun yang kamu mau," kata Nenek Sulis.

Menghela napas berusaha mengontrol diri. Meremas tangan Kak Aryati memberi kenyamanan yang gue bisa. Semoga ia tidak berpikir yang bukan-bukan.

"Yang gue mau perempuan seperti Kak Aryati bukan yang lain," ucap gue datar.

"Siapa dari kalian yang tidak normal?" tanya Nenek Sulis.

Gue dan Kak Aryati saling pandang tidak mengerti. Maksud Nenek Sulis apa? Kami jadi bingung.

"Katanya, kamu masih perjaka," kata Nenek Sulis pelan.

Gue menggaruk tengkuk salah tingkah. Kenapa Nenek Sulis bertanya itu di depan Kak Aryati. Membuat malu saja.

"Benar, gue dan Kak Aryati masih virgin," ucap gue dengan agak kaku.

"Jadi kalian berdua bermasalah?" tanya Nenek Sulis menuduh.

Gue dan Kak Aryati berpandangan. Kenapa Nenek Sulis malah berpikir demikian. Harus memikirkan cara biar tidak salah tangkap.

"Kami normal Nenek, tidak ada pertanyaaan lagi!" ucap gue agak tinggi.

"Tapi Carla....." kata Nenek Sulis masih ngotot.

"Gue tidak tahu."

"Kamu benar-benar tidak tidur dengan Carla?" tanya Nenek Sulis lagi.

"Demi Tuhan, gue nggak pernah menidurinya, dari mana Nenek dapat kabar itu? Carla bilang?" ucap gue frustasi.

"Aku kira kamu seperti anak angkat itu, meniduri siapa, nikahnya sama siapa," kata Nenek Sulis sambil menghela napas.

Gue dan Kak Aryati saling pandang. Mengangkat bahu tanda sama-sama tidak tahu. Nenek Sulis tidak menuduh, bukan?

"Apa maksud Nenek? Menuduh Bang Jaya seperti itu?" tanya gue tidak terima.

"Kamu pikir, anak angkat itu polos? Dia pernah tidur dengan Caroline tapi malah menikahi perempuan lain," kata Nenek Sulis sambil melirik Kak Aryati.

"Gue akan tanya Bang Jaya langsung, sekali lagi gue tegaskan, gue tidak pernah tidur dengan perempuan manapun," ucap gue datar.

"Kenapa dia yang kamu pilih?" tanya Nenek Sulis lagi.

"Gue sudah bersusah-susah mau memegang Diwangkara Group, sedang untuk urusan hidup, Nenek tidak berhak ikut campur," ucap gue dingin.

"Hah, terserah kamu saja! Aku pergi," kata Nenek Sulis sambil berdiri.

Nenek Sulis beranjak menuju pintu keluar. Gue masih mencerna kejadian ini. Sebelum membuka pintu, ia berkata.

"Kalau anak angkat itu sudah bercerai, bilang padanya untuk tanggung jawab!" kata Nenek Sulis sambil lalu.

Setelah Nenek Sulis menutup pintu, gue dan Kak Aryati saling pandang. Kami tidak mempercayainya tentu saja. Tapi kenapa rasa penasaran itu begitu besar?

"Aku tidak tahu tentang itu," ujar Kak Aryati seperti mengerti apa yang gue pikirkan.

"Menurut Kak Aryati, Bang Jaya seperti itu?" tanya gue frustasi.

"Selama aku mengenalmya, ia tidak seperti itu, punya gelagat buruk juga tidak," ujar Kak Aryati sungguh-sungguh.

Gue mengusap wajah dan menghela napas, rumit sekali masalah ini. Berusaha tersenyum, walau sangat berat. Berdoa semoga itu tidak benar.

"Benar, kamu tidak tidur dengan Carla?" tanya Kak Aryati pelan.

Menoleh dan mendapati Kak Aryati yang tidak nyaman dengan pertanyaannya sendiri. "Menurut Kak Aryati?" Gue bertanya sambil menatapnya intens.

Ia menunduk tidak berani menatap langsung sepertinya. Gue hanya bisa menghela napas. Mengontrol emosi karena tidak dipercayai oleh orang yang disayangi.

"Apa Kak Aryati mau mengetes keperjakaan gue?" tanya gue sambil mengikis jarak diantara kami.

"Maksud kamu?" ujar Kak Aryati.

Kak Aryati terkejut ketika jarak kami semakin dekat. Gue langsung mengurungnya dengan lengan. Ia tampak gelagapan ketakutan.

"Kamu mau apa?" tanya Kak Aryati bergetar.

Ia tidak bisa bergerak di sofa, dengan tubuh gue di depannya. Lengan gue di kanan kiri tubuhnya. Ia semakin memucat wajahnya.

"I-ni di-kan-tor!" ujar Kak Aryati terbata.

"Jadi kalau tidak di kantor boleh?" ucap gue sambil tersenyum jahil.

"Bu bukan," ujar Kak Aryati.

Gue semakin mendekatkan wajah kepadanya. Perempuan cantik di depan malah memejamkan mata. Dengan kedekatan hampir tanpa celah ini, sepertinya bisa hilang kontrol. Dan selanjutnya hasrat menuntun bibir gue ke bibir merekah Kak Aryati.

Bergetar.

Lembut.

Manis.

Basah.

Begitu udara serasa habis, gue melepas candu yang sepertinya akan selalu dicari terus. Tersenyum begitu Kak Aryati membuka mata. Ia salah tingkah dengan rona wajah yang terlihat menggemaskan di mata gue.

"Masih sangsi, gue tidur dengan Carla?" ucap gue pelan.

"Mana ada laki-laki kelihatan perjaka apa tidak?" ujar Kak Aryati.

"Kita tanya Mbak May?" ucap gue asal.

Kak Aryati langsung mencubiti perut gue yang mulai terbentuk. Pura-pura meringis agar dilepaskan. Ia malah memukul dada dengan manja.

"Malulah," ujar Kak Aryati cemberut.

"Ke Mak Salmah?" tanya gue sambil berusaha menghalau pukulan Kak Aryati.

"Kamu mau menghina mereka?" ujar Kak Aryati berhenti memukul.

"Bukan begitu, ini agar Kak Aryati tidak menuduh," ucap gue.

"Aku percaya padamu," ujar Kak Aryati.

Gue tersenyum dan memandangi wajah Kak Aryati. Sesekali melirik candu berwarna merah itu. Ingin rasanya kembali menyenyapnya.

"Jadi ini kerjaan kalian di kantor?"

Kak Aryati mendorong wajah dengan keras. Hingga gue terjengkang, mengumpat kesal dalam hati. Segera menyusulnya bangun dan mendapati Bang Jaya dan Mbak Rani berdiri di pintu masuk.

"Ganggu saja sih, Bang," ucap gue cemberut.

"Memang masih kurang di rumah?" tanya Bang Jaya.

Bang Jaya dan Mbak Rani masuk ke ruangan. Kak Aryati tampah merah padam mukanya. Gue berusaha setenang mungkin.

"Cari sensasi lain, di kamar terus bosan," ucap gue asal.

Untuk selanjutnya ada rasa sakit dan panas. Kak Aryati kembali mencubit pinggang gue. Setelah memasang wajah memelas, baru ia melepas siksaannya.

"Tunggu dulu, sebelum kita berdiskusi tentang resto, ada yang mau gue tanya ke Bang Jaya," ucap gue.

Bang Jaya tampak mengernyitkan dahi. Apalagi gue tampak begitu serius. Kak Aryati mengelus lengan memberi kenyamanan.

"Ada apa Dam, lu tampak serius sekali?" kata Bang Jaya.

"Tadi Nenek Sulis kemari," ucap gue cepat.

"Hah, dia mempersulit lu lagi?" tanya Bang Jaya sambil menghela napas.

Gue menggeleng. Semua harus terang saat ini juga. Tidak mau menunda-nunda.

"Ada hubungan apa? Bang Jaya dan Caroline?" ucap gue.

Wajah Bang Jaya langsung memucat. Gue menatapnya sambil meredakan pikiran negatif yang muncul. Tapi gelagat sepertinya tidak baik.