Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 28 - Bab 28 Menemukan Mbak Rani

Chapter 28 - Bab 28 Menemukan Mbak Rani

Gue menuruti apa perkataan Mak Salmah, walau agak sangsi, tapi tidak ada salahnya dicoba. Mobil terarah ke tempat pemakaman umum. Minggu pagi tentu Ibukota tidak semacet hari biasa, bahkan cukup lengang.

Setelah memarkir mobil, mata gue tidak sengaja melihat sosok yang keluar dari mobil yang sangat gue kenal. Gue secepatnya keluar dengan agak tergesa mengikuti sosok itu. Akhirnya tahu kemana ia menuju, pusara suami Mbak Rani.

Agak terkejut ketika ada perempuan sedang berjongkok di samping makam. Sosok yamg tidak lain Bang Jaya tadi, berhenti tepat di belakangnya. Gue juga ikut berhenti beberapa langkah darinya, menanti yang akan ia lakukan. Menunggu, tampaknya ia dengan sabar menunggu sampai selesai berdoa. Ketika perempuan itu selesai, ia berdiri dan kemudian menuangkan air mawar beserta isinya, Bang Jaya bersuara.

"Rani!" kata Bang Jaya pelan.

Sosok dekat makam tersentak kaget. Gue juga ikut terkejut. Bagaimana Bang Jaya bisa tahu kalau itu Mbak Rani? Sedang posisinya membelakangi kami. Perempuan itu tetap tidak berbalik, tapi juga tidak pergi.

"Jangan menghilang lagi, kalau kamu tidak menginginkan ini semua." Bang Jaya menjeda omongan. Ia sepertinya menunggu lawan bicaranya bersuara.

"Atau bila kamu ingin jantung suamimu, dengan senang hati aku akan melepasnya dari ragaku," kata Bang Jaya sunguh-sungguh.

Gue tidak habis pikir, apa Bang Jaya mau bunuh diri? Ia akan mati kalau jantungnya diambil. Sudah susah-susah gue cari, dibantu nenek Sulis juga, main seenaknya dicopot.

Ketika perempuan itu akan beranjak, Bang Jaya menyusul. Memegang tangannya sehingga berbalik dan terlihatlah wajah Mbak Rani. Ia lalu menunduk tidak berani menatap langsung.

"Please, aku mohon jangan pergi! Katakan apa maumu? Asal jangan menghilang lagi!" kata Bang Jaya sendu.

Gue melihat Mbak Rani masih menunduk sambil menggeleng, entah apa yang dipikirkannya. Tiba-tiba tubuh Bang Jaya meluruh ke tanah. Secepatnya bergerak menyongsong, sedangkan Mbak Rani berusaha agar tubuh Bang Jaya tidak jatuh.

"Pak Jaya..... tolong!" teriak Mbak Rani.

Gue segera mengambil alih tubuh Bang Jaya. Ada beberapa orang menghampiri kami. Mereka berusaha menolong kami.

"Bang!" ucap gue risau.

Disaat wajah pucatnya terpampang, Bang Jaya masih bisa tersenyum. "Gue tidak apa-apa," ujarnya. Gue hanya berusaha setenang mungkin dalam hal ini.

'Tidak apa bagaimana? Wajah pucat hampir pingsan begini?" ucap gue.

"Lu cerewet seperti Mak Salmah, gue lupa lu anaknya," ujar Bang Jaya terkekeh.

Gue hanya cemberut kesal. Bang Jaya berusaha berdiri. Berusaha membantunya dengan perlahan dibantu dua orang.

"Bapak dan Ibu sekalian, terima kasih, saya tidak apa-apa," ujar Bang Jaya pelan.

Orang-orang kemudian pergi. Walau masih ada beberapa yang setengah hati meninggalkan kami. Tampak dari kepala mereka yang menoleh ke belakang beberapa kali memastikan Bang Jaya tidak apa-apa.

"Kita pulang!" seru gue.

"Ayo!" ujar Bang Jaya.

Terlihat Mbak Rani tidak bergeming. Bang Jaya lalu mengambil tangan perempuan itu dan berjalan mendahului. Hanya bisa melongo, ia tidak protes dengan tingkah Bang Jaya yang sengaja menggandengnya. Gue hanya menghembuskan napas, kemudian mengikuti dua sejoli di depan. Setelah beberapa saat berjalan, kami sampai di depan mobil.

"Dam, pakai mobil lu ya? Gue belum pernah merasakan naik mobil keren lu," ujar Bang Jaya.

Gue hanya diam dan mengeluarkan kunci. Memencet tombol remote. Bang Jaya membuka pintu belakang yang membuat heran.

"Kenapa Bang Jaya di belakang?" tanya gue bingung.

"Gue masih pusing jadi biar gue di belakang saja," ujar Bang Jaya.

"Kalau begitu biar saya yang di depan Pak." Mbak Rani akan membuka pintu depan namun dicegah oleh Bang Jaya. Ia memberi isyarat untuk mengikutinya.

"Rani, kalau kamu di depan, siapa yang menjagaku," ujar Bang Jaya.

Gue ingin marah sebenarnya, dasar modus. Sakit-sakit juga modusnya tingkat dewa. Ketika Mbak Rani telah masuk mobil, Bang Jaya berbalik dan tersenyum serta mengedipkan mata, kemudian ia masuk mobil. Dengan menghentakkan kaki karena kesal, akhirnya gue menutup pintu mobil.

"Maaf Pak Damar jadi sopir saya," kata Mbak Rani merasa sungkan.

"Tidak apa Mbak Rani, yang penting Abang saya terjaga dengan baik, takut pingsan kalau tidak ada yang menjaga," ucap gue retoris.

"Memangnya Pak Jaya sering pingsan?" tanya Mbak Rani polos.

"Ya begitulah, ia merasa bersalah telah mengambil jantung suami Mbak Rani, sering merasa bersalah jadi sering pingsan," ucap gue asal.

Melirik Bang Jaya dari kaca spion tengah, tersenyum puas. Bang Jaya tampak tidak terima dibilang sering pingsan. Gue menjalankan mobil perlahan meninggalkan area parkir pemakaman.

"Pak Jaya jangan merasa bersalah! Suami saya yang rela mendonorkan jantungnya buat Bapak, saya juga tidak keberatan karena memang itu kemauan suami saya," kata Mbak Rani pelan.

"Aku, aku mau memejamkan mata sebentar," ujar Bang Jaya.

Gue tahu, Bang Jaya tidak ingin menjawab pertanyaan Mbak Rani. Ia pura-pura tidur. Gue akan kerjai, yang menjadikan gue sopir di mobil gue sendiri. Balas dendam dimulai, biasanya Gembor tempat gue jahil, tapi tidak mengapa sesekali mengerjai Bang Jaya.

"Mbak Rani, Bang Jaya masih pusing sepertinya," ucap gue sambil meliriknya dari spion.

Mbak Rani tampak khawatir. Ia bingung harus berbuat apa. "Terus bagaimana Pak?"

Gue pura-pura tampak berpikir, lalu melirik ke spion. Senyum menyeringai tergambar di wajah. Yakin dengan ide ini.

"Mbak Rani punya minyak angin?" ucap gue.

"Ada, buat apa Pak?" tanya Mbak Rani.

"Tolong pijit dahi Bang Jaya!" ucap gue.

Bang Jaya tampak tersenyum tanpa diketahui Mbak Rani. Ia pikir dibantu modusin. Gue tersenyum dalam hati.

"Tapi Pak?" kata Mbak Rani meragu.

"Ini darurat Mbak, tolong!" ucap gue mengiba.

Akhirnya dengan takut-takut Mbak Rani memijat dahi Bang Jaya perlahan. Gue biarkan Bang Jaya menikmati kebahagian sebentar. Kita lihat selanjutnya.

"Mbak Rani, biar lebih enak mijitnya pakai minyak angin," ucap gue.

"Maksudnya?" kata Mbak Rani kurang paham.

"Lumuri jari Mbak Rani dengan minyak, lalu pijit dahi Bang Jaya perlahan!" ucap gue.

Nikmati pijitan Mbak Rani! Abang gue tersayang, batin gue. Terlihat Bang Jaya mengepalkan tangannya namun ia tidak berani membuka mata. Kita tunggu, sampai sejauh mana ia kuat.

"Pak Damar, apa sebaiknya Pak Jaya dibawa ke rumah sakit?" kata Mbak Rani terlihat khawatir.

Menoleh ketika mobil berhenti karena lampu merah menyala. Gue melihat keadaan Bang Jaya. Ia masih mengepalkan tangan.

"Memang kenapa?" tanya gue.

"Pak Jaya seperti menahan sakit sampai keluar air matanya," kata Mbak Rani.

Hampir saja menyembur.Sebisa mungkin, gue menahan tertawa keluar dari mulut. Sangat puas dengan hasilnya.

"Mungkin kurang minyaknya," ucap gue polos.

"Cukup Rani! Aku baik-baik saja, tidak usah dipijit pakai minyak," ujar Bang Jaya masih pura-pura terpejam.

"Sudah baikan, Pak Jaya?" tanya Mbak Rani masih khawatir.

"Ambilkan tisu! Tolong lap dahiku! Aku nggak suka bau minyak angin," ujar Bang Jaya.

"Bang, tapi minyak angin bagus buat mijit," ucap gue sok polos.

"Lu cukup menyetir secepatnya ke rumah! Gue mau istirahat," ujar Bang Jaya.

Gue akan membantah, namun bunyi klakson dari belakang mobil membuat gue berbalik. Mulai menjalankan mobil. Lupa dengan kejahilan karena fokus ke jalanan.

"Rani!" seru Bang Jaya.

"I-iya, Pak," kata Mbak Rani terbata.

"Tisunya mana?" ujar Bang Jaya.

"I-ini, Pak," kata Mbak Rani.

"Tolong lap dahiku, aku tidak bisa lihat minyaknya!" ujar Bang Jaya.

Mbak Rani tampak tidak nyaman ketika membersihkan dahi. Mungkin karena saat ini Bang Jaya terjaga. Gue tahu itu akal-akalnya lagi.

"Kalau mau memijit dahi itu tanpa minyak, aku tidak suka baunya," ujar Bang Jaya.

"Ma-af, Pak," kata Mbak Rani sambil menunduk.

"Yaelah Bang, tadi gue yang nyuruh, jangan salahkan Mbak Rani!" ucap gue tidak enak kepada Mbak Rani.

"Aku tidak menyalahkan Rani, aku cuma memberi tahu kepadanya tentang ketidaksukaan terhadap bau minyak angin," ujar Bang Jaya panjang lebar.

Tiba-tiba terdengar isak tangis dari Mbak Rani. Bang Jaya langsung terjaga. Gue melirik dari kaca spion.

"Rani!" seru Bang Jaya.

Gue langsung menepikan mobil. Lalu menoleh ke belakang dan melihat Mbak Rani yang menangis tertunduk. Bang Jaya merengkuhnya dalam dekapan.

"Mbak Rani!" ucap gue ikut khawatir.

"Rani, apa aku salah bicara? Maafkan aku bila ada perkataanku yang menyakiti mu!" ujar Bang Jaya.

"Mbak Rani!" ucap gue.

"Jangan bicara lagi, Pak!" kata Mbak Rani.

"Damar, lu diam jangan bicara! Lihat Rani jadi seperti ini," ujar Bang Jaya.

Gue merasa yakin tidak ada yang salah. Merasa bingung dengan kejadian ini. Bang Jaya terdengar menghibur Mbak Rani.

"Pak Jaya jangan bicara lagi! Setiap Bapak bicara selalu mengingatkan saya kepada Mas Haris," kata Mbak Rani terisak.

"Rani!" ujar Bang Jaya terpana.

Gue terkejut mendengar penuturan Mbak Rani. Terlihat Bang Jaya memucat bukan karena sakit. Ia seperti kehabisan kata-kata.

"Setiap Pak Jaya memanggil nama saya, pura-pura tidur karena tidak mau bicara, tidak suka bau minyak angin, itu semua mengingatkan saya kepada Mas Haris," kata Mbak Rani tergugu.

Terlihat setetes air jatuh dari mata Bang Jaya. Ia menatap sendu Mbak Rani. Gue merasa dada sesak, entah apa rasanya jadi dirinya.

"Beberapa bulan ini saya berusaha menata hati untuk menerima kepergian Mas Haris, tetapi kenapa Pak Jaya malah mengingatkannya? Saya harus bagaimana?" kata Mbak Rani sengau.

Bang Jaya terdiam tidak bisa bersuara. Gue tidak tahu harus berbuat apa. Keheningan menyelimuti kami.

"Kita pulang, kita bicarakan di rumah, tidak baik bicara di jalan!" ujar Bang Jaya.

Ia memberi isyarat untuk menjalankan mobil. Gue berucap tanpa suara untuk memeluknya. Ia agak ragu ketika menarik perlahan Mbak Rani kepelukannya.

"Mas Harus," kata Mbak Rani hampir tidak terdengar.

Bang Jaya memejamkan mata. Ia memeluk Mbak Rani lebih erat. Gue melihat Mbak Rani tampak tertidur kelelahan.

Gue jadi merasa sedih terhadap Bang Jaya. Setelah menemukan Mbak Rani, bukannya bahagia namun malah menemukan kenyataan. Mas Haris yang tidak akan pergi dan akan selalu membayangi hubungan mereka.