Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 27 - Bab 27 Sebatas Hasrat

Chapter 27 - Bab 27 Sebatas Hasrat

Kami masuk ke rumah. Mengikuti Mak Salmah mengandeng Kak Aryati sebagai menantu kesayangan tentu saja. Kenapa nasib gue seperti ini? Sebenarnya anak Mak Salmah siapa? Dulu Bang Jaya yang begitu disayanginya, sekarang tambah Kak Aryati, merana benar.

Tapi semua itu harus dilupakansejenak. Setelah melihat hidangan di meja, semua makanan kesukaan terpampang di depan mata. Tampaknya gue harus adu cepat dengan Gembor. Ia terlihat sudah tidak bisa menahan diri terhadap godaan makanan di depannya.

"Ini buat May yang lagi hamil dan Nak Aryati menantu gue, jadi lu berdua jangan rakus!" seru Mak Salmah memperingatkan.

Gue dan Gembor hanya pasrah serta duduk dengan lesu. Bagaimana bisa mengendalikan keinginan bila ada di depan mata. Tiba-tiba Kak Aryati menaruh nasi dan lauknya, di atas piring depan gue, berasa mimpi dilayani.

"Baru sekarang dilayani bini, kasihan benar lu," ujar Gembor.

Gue langsung menoleh. Gembor tersenyum-senyum menjengkelkan seakan memgejek. Ia mendapat perlakuan yang sama dari Mbak May.

"Apa maksud lu?" tanya gue kesal.

"Lu terlihat bengong dilayani Kak Aryati, kasihan benar, terima kasih sayang," ujar Gembor sambil berlaku lebay kepada Mbak May.

Kalau tidak ada Mak Salmah, sudah gue lempar sendok ke muka Gembor yang sok manis. Panas gue melihatnya begitu menjengkelkan. Ia bertingkah sok lembut, sok manis, sok sokan dan sok yang lain.

Tiba-tiba tangan lembut Kak Aryati menyentuh lengan gue. "Ayo makan!" Gue tersenyum tulus sambil menggangguk menanggapi perlakuannya yang manis.

"Iya," ucap gue pelan.

"Awas itu iler jatuh, segitunya terpana ke Kak Aryati," ujar Gembor kurang ajar.

"Sia..... Ayo makan!" ucap gue tidak melanjutkan umpatan.

"Kalian mau makan atau ngomong?" tanya Mak Salmah penuh peringatan.

Gue dan Gembor tampaknya harus sepakat. Harus diam dan menikmati makan dengan manis. Menjadi anak penurut istilahnya.

"Bagaimana kabar Rani?" Itu adalah pertanyaan Mak Salmah. Setelah kami selesai makan dan berganti ke ruang tamu sambil menonton televisi.

Gue dan Gembor menonton acara komedi. Sejak dulu acara itu menjadi tontonan wajib bila kami nongkrong berdua. Kadang tertawa lepas bisa melupakan kepenatan.

Mbak May dan Kak Aryati mencuci perabotan. Mak Salmah yang tidak diperkenankan ikut membantu, akhirnya bergabung dengan kami ke ruang tamu. Ikut menonton tapi sepertinya tidak begitu menyukai acara komedi.

"Gue sudah minta orang untuk mencari tapi hasilnya nihil," ucap gue lesu.

Tiba-tiba Gembor tertawa. Gue dan Mak Salmah menoleh, merasa ditatap ia menoleh. Ia nyengir, tampak merasa tidak enak.

"Nenek Sulis juga ikut bantu," ucap gue menambahkan.

"Tumben nenek lu baik hati," ujar Mak Salmah.

"Mungkin dia sudah berubah kali Mak."

"Tapi kalau sudah sifat itu susah buat berubah, sampai mati juga tidak berubah."

"Dia kesepian tanpa keluarga, kata Lusi sekretaris gue, yang juga sekretaris Nenek Sulis dulu, jarang ia ke kantor tetapi sekarang hampir tiap hari ia datang."

"Baguslah kalau nenek lu sadar."

"Mak Salmah masih marah ke Nenek Sulis?" tanya gue hati-hati.

"Asal dia nggak macam-macam lagi, gue sih biasa saja."

"Damainya keluarga Diwangkara kalau begini."

"Lu nggak cari Rani ke makam suaminya?" tanya Mak Salmah tiba-tiba.

"Sudah Mak beberapa kali."

"Memangnya hari apa lu cari Rani disana?" tanya Mak Salmah.

Gue jadi bingung dengan pertanyaan Mak. Apa hari berpengaruh bila melakukan pencarian? Semakin tidak mengerti hubungan hari dan pencarian.

"Biasanya kalau orang ke makam itu Kamis sore, Atau kalau nggak sempat minggu pagi kalau yang sibuk kerja, apalagi ini sudah empat bulan lebih," ujar Mak Salmah.

"Memang kenapa Mak Salmah? Tadi hari sekarang bulan?" tanya Gembor polos.

"Gembor, Gembor, itu hari biasa orang ke makam, empat bulan sepuluh hari itu masa wanita boleh menikah lagi setelah suami meninggal," ujar Mak Salmah.

"Emang lu tahu Dam, sok mau ngetawain gue?" tanya Gembor kesal.

"Tahulah tentang masa iddah Gembor, kan gue nikah sama Kak Aryati yang bercerai dengan Bang Jaya," ucap gue.

"Tapi kok elu langsung nikah saja tanpa apa itu tadi masa...." kata Gembor.

"Masa iddah, kalau bagi wanita yang suaminya meninggal itu empat bulan sepuluh hari, kalau bercerai itu tiga bulan dapat haid atau suci," ujar Mak Salmah.

"Tapi lu langsung nikah Dam, nggak nunggu tiga bulan?" tanya Gembor.

"Kan Bang Jaya belum pernah menyentuh Kak Aryati, jadi tidak ada masa iddah," ucap gue.

"Perasaan gue sering lihat Bang Jaya menyentuh Kak Aryati," kata Gembor bingung.

"Maksudnya belum tidur bersama Gembor," ucap gue kesal.

"Oh.... Belum kawin maksudnya, berarti Kak Aryati perawan, lu belum mera....." kata Gembor terpotong.

Terdengar suara mengaduh Gembor. Mak Salmah menjewer telinganya dengan segenap hati. "Otak lu perlu dicuci pakai detergen biar bersih, kalau ke situ pasti langsung nyambung," ujar Mak Salmah.

Untung saja drama tarikan telinga hanya sebentar. Kedatangan Mbak May dan Kak Aryati yang membawa minuman dan makanan ringan, meredakan semua. Gue dan Gembor dengan suka cita menyambutnya.

"Kamu ajarkan Gembor biar bersih otaknya, ya May!" ujar Mak Salmah.

Mbak May hanya tersenyum sambil mengangguk. Gue tidak akan percaya Gembor bisa. Tapi setidaknya diusahakan dari pada tidak sama sekali.

"Dam, kamu cari Rani di hari itu! Kalau perlu setiap hari, pasti ia kesana!" ujar Mak Salmah.

"Pintar sekali sih Mak Salmah," kata Gembor.

Gue menoleh. Gembor kini merajuk meminta Mbak May mengelus telinganya. Bekas jeweran Mak Salmah walau sakit tapi tidak sebegitunya kali, dasar ganjen.

"Makanya Mak Salmah bisa melahirkan cowok pintar seperti ini," ucap gue sok sombong.

"Kenapa Kak Aryati mau dijodohkan sama Damar?" tanya Gembor.

"Takdir mungkin," jawab Kak Aryati diplomatis.

"Lihat kan Gembor, Mak Salmah pintar, bini gue juga," ucap gue bangga.

"Mak Salmah dan Kak Aryati yang apes punya ikatan dengan lu," ujar Gembor tidak mau kalah.

"Sudah, kalian mengganggu gue nonton saja," kata Mak Salmah.

Tontonan kami telah berganti dengan drama detektif kesukaan Mak Salmah. Pantas ia bisa menonton dengan serius, walau drama asing itu tanpa teks bahasa Indonesia. Ternyata ia lumayan bahasa Inggrisnya, gue baru tahu ketika bertandang ke rumah besar Diwangkara, waktu itu.

"Mak, jangan nonton itu apa? Kasihan Gembor dan Mbak May sedih," ucap gue.

"Sedih bagaimana? Tokoh utamanya menikah setelah memecahkan kasus kriminal," kata Mak Salmah.

"Sedih nggak ngerti Mak Salmah, nggak ngerti itu film orangnya ngomong apa," ucap gue.

"Paling mereka buat film sendiri," kata Mak Salmah.

"Kita buat film sendiri, ayo sayang!" ujar Gembor.

"Lu kalau mesum disini, gue hajar pakai sendal nih," kata Mak Salmah sambil menunjukkan sandal yang dipakainya.

Gembor hanya meringis membayangkan sandal Mak Salmah, ngeri sepertinya. Mbak May hanya tersenyum dan menggeleng melihat tingkah polah kami. Mak Salmah kembali menonton.

"Ingat ya Dam, cari Rani sampai ketemu! Buat Nak Jaya bahagia, jangan memikirkan diri sendiri!" kata Mak Salmah tanpa menoleh dari layar kaca.

"Iya Mak, Damar janji," ucap gue sungguh-sungguh.

"Gue lihat tadi Nak Jaya masih pucat kemari, tampaknya banyak pikiran juga," kata Mak Salmah.

"Gue juga sudah larang, biar lebih banyak istirahat tapi bandel," ucap gue.

"Tampaknya ia agak kacau," kata Mak Salmah.

"Keluar dari rumah sakit, Mak Salmah marah-marah sih," ucap gue.

"Gue marah sama lu," kata Mak Salmah tidak terima.

"Iya gue yang salah, kalut pasti Bang Jaya. Akhirnya tahu Mbak Rani menghilang, Mak Salmah yang marah tidak reda-reda sampai hitungan bulan, ia juga merasa tidak berguna karena tidak bekerja mengurusi resto," ucap gue panjang lebar.

"Maafkan Mak juga Dam," kata Mak Salmah tulus. Gue dipeluk Mak Salmah dan gue membalasnya. Rasanya ada beban yang terangkat.

"Semua begitu cepat terjadi, maafkan Damar! Kita akan menyongsong semuanya bersama dengan lebih kuat lagi," ucap gue.

"Sudah malam Nak Aryati, ayo tidur! Lu juga istirahat May! Bentar lagi brojolkan?" kata Mak Salmah.

Gue ikut berdiri ketika semua orang mulai beranjak. "Lu kenapa ikut berdiri, mau kemana?" tanya Mak Salmah. Gue menatap heran kepadanya.

"Tidur di kamar Mak," ucap gue.

"Kamar cuma dua, gue sama Aryati di kamar gue, kamar lu dipakai Gembor sama May," kata Mak Salmah.

"Terus gue tidur dimana?" tanya gue.

"Di sofa ini! Lu tidak boleh menyentuh Nak Aryati sebelum Nak Jaya bahagia! Maka harus dipisah tidurnya seperti biasa," kata Mak Salmah memberi sabdanya.

"Tapi...." ucap gue terpotong.

"Malam Damar, semoga mimpi indah," ujar Gembor memanasi.

Gue hampir memaki kalau tidak ada Mak Salmah. Gembor dengan gaya sok romantis menuntun Mak May berjalan pelan-pelan, kurang ajar memang. Merana sekali hidup ini.

Akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan gue yang tragis. Bagaimana tidak tragis dan menyedihkan? Usaha agar bisa berduaan dengan Kak Aryati, gatot alias gagal total, ditambah ultimatum Mak Salmah.

Gue merebahkan tubuh di sofa sendiri. Padahal dari kantor tadi sudah membayangkan rasanya tidur berhimpitan di sofa ini dengan Kak Aryati. Mimpi yang kepanjangan sepertinya.

Bukkk.

Membuka mata karena benda menghantam muka. Gue yang sedang memejamkan mata menjadi terjaga. Siapa berani melempar gue?

"Guling buat lu, nggak ada bantal tersisa," ujar Gembor.

"Terima kasih," ucap gue.

Gue mengambil guling yang jatuh ke lantai dan memakainya. Sebenarnya masih kesal karena dilempar. Tapi kantuk sepertinya lebih menjerat raga.

"Gue kasihan sama lu," ujar Gembor.

"Gue kira lu sudah pergi," ucap gue dengan mata terpejam.

"Gue kasihan sama lu, gue nikah sama May bebas mau ngapain saja, lu sama Kak Aryati terhalang terus," ujar Gembor terdengar sedih.

"Sudahlah! Jangan dibahas, tidur sana!" ucap gue.

"Kalau butuh pelampiasan, lu bisa pakai guling itu, anggap saja Kak Aryati!" ujar Gembor.

Gue seketika membuka mata. Menatap nyalang Gembor. Ia memasang wajah sedih yang menyebalkan.

"Sialan lu, Gembor," ucap gue marah

"Damar!"

Itu adalah suara Mak Salmah dari dalam kamarnya. Gembor sudah berlari ke kamarnya sambil tertawa puas. Gue yang terduduk langsung meraih guling dan mencekiknya seolah itu lehernya. Karena kesal, gue lempar guling itu jauh-jauh. Awas saja dia, tunggu pembalasan yang lebih kejam.

Gue merebahkan diri dengan tidak tenang. Memutar ke kiri dan kanan, begitu terus sampai lelah. Impian yang sebatas hasrat, menyebalkan tentunya.