Gue segera menyeret Bang Jaya dari resto. Ia berusaha melawan, tapi tentu saja gue yang menang. Dengan paksaan tentunya dan sedikit ancaman kalau gue nggak mau nikahi Kak Aryati. Ia akhirnya mengikuti gue, walau dengan lesu.
"Mau kemana Dam?"
"Menemui seseorang."
"Apa hubungannya dengan gue?"
"Sudah ikut saja! Nggak bakal menyesal ikut apa kata gue!"
"Dam, gue sedang banyak kerjaan dan lagi Rani tidak masuk kerja."
Gue diam saja. Saat ini ada yang lebih penting dari berkas-berkas resto, yang seperti tidak ada habisnya. Kalau habis tentu saja berarti resto bangkrut.
"Kemana kita?" Bang Jaya mulai tidak sabaran. Ia nampak gelisah, beberapa kali terlihat menghembuskan napas.
"Tenang saja, Bang Jaya pasti senang."
"Terserah lu, apa kata lu saja." Bang Jaya akhirnya pasrah juga. Gue pasti tidak akan mengecewakannya.
Mengarahkan mobil ke tempat yang sejak semalam ingin gue datangi. Tempat dimana semuanya akan dimulai. Mungkin ini adalah kesempatan langka dan tersulit yang pernah gue capai. Semoga semuanya jauh lebih baik ke depannya bagi kami sekeluarga.
"Kenapa kemari?"
"Ayo turun!"
Saat ini kami telah tiba di tempat yang gue maksud. Rumah sakit dimana pasien donor sedang dirawat. Pendonor yang ingin menyerahkan jantungnya buat Bang Jaya.
Di lobby rumah sakit besar ini, gue bertanya tentang dokter Pratama. Dokter jantung yang memberi tahu bahwa ada pendonor buat Bang Jaya. Terima kasih nenek Sulis dengan relasinya yang luas, sehingga gue bisa secepat ini mendapat pendonor yang sesuai.
Gue dan Bang Jaya ditemui dokter Pratama di lobby. Sepertinya ia sangat segan pada kami. Ternyata pemilik rumah sakit ini, masih ada hubungan saudara dengan nenek Sulis, walau hanya saudara jauh.
"Terima kasih telah datang ke rumah sakit kami, Pak Damar." Dokter berambut putih semua itu lalu menyalami gue dan Bang Jaya dengan sopan. Kelewat sopan malah, sudahlah! Yang terpenting secepatnya urusan ini segera beres.
Kami kemudian menggunakan lift khusus untuk ke atas. Biasanya pendonor dan penerima tidak saling mengenal ataupun diperkenalkan. Gue juga heran, justru tiba-tiba pasien minta menjadi donor buat Bang Jaya dan ternyata cocok, tapi dengan syarat ingin bertemu penerima donor.
"Tunggu!" Kami tidak jadi melangkah setelah keluar dari lift karena seruan Bang Jaya. Gue mengernyitkan dahi.
"Ada apa Bang?"
"Lu cerita ke gue! Ini ada apa?" Bang Jaya terlihat bingung. Bodohnya gue sampai lupa memberi tahu tentang semua ini kepadanya. Terlalu semangat, mungkin membuat seperti ini.
"Ada pendonor buat Bang Jaya dan ternyata cocok."
"Lalu?" Bang Jaya masih bingung dengan situasi ini. Mungkin dipikirannya kenapa harus kemari? Pemberitahuannya bisa lewat telepon, baru menentukan jadwal periksa.
"Pendonor ingin bertemu Abang."
"Bukannya tidak boleh membocorkan nama pendonor dan penerima?"
"Gue juga heran, sepertinya ia tahu Abang. Karena ia hanya mau mendonor ke Bang Jaya. Kalau tidak cocok, tidak mau jadi pendonor." Perkataan gue membuat Bang Jaya mengernyitkan dahi. Ia tampak berpikir, kemudian menatap dokter Pratama.
"Pak Jaya tidak perlu khawatir! Pendonor tidak menjual jantungnya. Memang kondisinya tidak memungkinkan untuk survive," kata dokter Pratama pelan.
Bang Jaya lalu menatap seakan bertanya apa yang harus gue lakukan. "Gue akan menepati janji untuk Kak Aryati setelah Bang Jaya dioperasi."
"Gue pegang janji lu." Bang Jaya berkata sambil menatap seolah memastikan.
"Gue orang yang menepati janji." Gue berkata dengan mantap. Tampaknya ia mempercayainya.
"Tentang Aryati, nanti gue yang akan bicara tentang kecemburuan lu, tempo hari," ujar Bang Jaya.
"Gue nggak cemburu," ucap gue kesal.
"Yakin?" tanya Bang Jaya mengerling jahil.
Gue langsung menghadap dokter Pratama, yang terdiam mendengar perdebatan kami. Tidak menggubris perkataan Bang Jaya. Walau hati masih kesal dengan kejahilannya.
"Sebelah mana ruangannya, dokter Pratama?" Gue masih mendengar kekehan pelan Bang Jaya. Puas sepertinya menggoda.
"Mari Pak!" kata dokter Pratama sopan.
Sebenarnya gue tidak merasa nyaman dengan perlakuan ini. Apalagi dokter Pratama itu seumuran nenek Sulis. Sangat tidak pantas, harusnya biasa saja. "Dokter Pratama!"
"Ya Pak Damar," kata dokter Pratama.
"Bisa dokter tidak terlalu sungkan dengan kami!" ucap gue pelan.
"Saya..." kata dokter Pratama terpotong.
"Kami lebih muda bahkan jauh lebih muda dari dokter Pratama, jadi tolong perlakukan biasa saja, anggap kami pasien dokter pada umumnya!" ucap gue.
Akhirnya dokter Pratama mengangguk dan tersenyum. Itu lebih baik dari pada melihat wajah pria berumur itu nampak tertekan. Gue nggak tega melihat orang tua terlalu tertekan.
Begitu sampai pada ruang rawat yang dituju. dokter Pratama berhenti sebentar dan menoleh. Tersenyum seakan memberi tahu telah sampai, lalu membuka pintu yang kami tuju.
"Selamat siang Pak Hari!" ucap dokter Pratama.
"Selamat siang Dokter! Tumben siang ada visit kemari?" ucap Pak Hari.
"Ada yang mau bertemu dengan Pak Hari, ini Pak Damar dan Pak Jaya," kata dokter Pratama memperkenalkan kami. Gue dan Bang Jaya lalu menyalami Pak Hari bergantian.
"Kenapa Anda ingin mendonorkan jantung kepada saya?" ujar Bang Jaya.
"Karena saya ingin membuat kesepakatan," kata Hari.
Gue dan Bang Jaya saling pandang lalu tersenyum kecut. Bukannya ia hanya ingin ketemu penerima donor. Kenapa ketika kami kemari, ia mengajukan kesepakatan?
"Pak Hari! Bukannya hanya ingin dipertemukan dengan penerima? Itupun sudah menyalahi prosedur," ucap dokter Pratama.
"Jangan khawatir! Ini bukan soal uang tapi tentang masa depan," kata Hari sambil tersenyum.
"Maksud Anda?" tanya Bang Jaya.
"Kalau Pak Jaya mau melaksanakan permintaan saya, pasti Pak Jaya mendapat jantung ini," ucap Hari pelan sambil menunjuk dadanya.
Gue jadi merasa curiga dengan Pak Hari. Permintaan apa yang tidak berhubungan dengan uang? Waspada adalah hal terbaik saat ini.
"Apa permintaan Anda?" tanya Bang Jaya cepat.
"Berjanjilah untuk menjaga isteri saya!" ucap Hari pelan.
Gue kira apa, akhirnya bisa lega bernapas. Pastilah Bang Jaya akan menjaga keluarga pria ini. Membiayai anak pria ini sampai kuliah tidak akan memberatkan tentunya.
"Berapa anak Anda?" tanya Bang Jaya lagi.
"Kami tidak mempunyai anak, karena penyakit ginjal yang saya derita, keharmonisan rumah tangga kami ikut terganggu, walau kami saling menyayangi," ucap Hari getir.
"Kenapa Anda tidak cangkok ginjal saja?" tanya gue penasaran.
"Biaya mahal, saya sudah lelah, sudah terlalu lama penyakit ini menggerogoti tubuh. Kecocokan organ juga tidak gampang bukan? Seperti jantung buat Pak Jaya," ucap Hari.
"Harusnya Anda kuat buat isteri dan keluarga!" seru gue.
"Pak Damar, isteri saya mengorbankan apa saja buat saya, kini saatnya dia berbahagia," ucap Hari.
"Bagaimana seorang isteri bisa bahagia bila kehilangan suaminya?" tanya gue.
"Karena Pak Jaya akan menjaga isteri saya seumur hidupnya," ucap Hari pelan.
"Apa maksud Anda? Dari perkataan Anda, sepertinya kata menjaga bermakna lain?" tanya Bang Jaya penuh selidik.
"Saya benar, mempercayakan isteri kepada orang baik dan pintar seperti Pak Jaya," ucap Hari.
"Benar kata Bang Jaya, Pak Hari jangan berputar-putar! Maksud Pak Hari apa?" tanya gue penasaran.
"Nikahi isteri saya!" ucap Hari mantap.
"Apa!"
Kami bertiga berkata serempak karena terkejut dengan permintaan Hari. Gue tidak habis pikir dengan pemikiran Pak Hari. Sudah menyerahkan jantungnya dan meminta isterinya dinikahi.
"Pak Hari, itu namanya pemerasan. Pak Damar dan Pak Jaya sebaiknya kita pergi saja! Kami akan mencarikan donor lain, maaf atas ketidaknyamanan ini!" ujar dokter Pratama.
Gue dan Bang Jaya saling pandang. Masih terkejut dengan permintaan itu. Akhirnya gue berinisiatif bertanya ke Hari lebih lanjut. "Kenapa Anda berpikir seperti itu?"
"Ini hal terbaik, yang bisa saya perbuat untuk isteri saya, jangan khawatir! Saya tahu Pak Jaya sudah menikah, isteri saya cantik. Kalau tidak percaya, tanya saja dokter Pratama!" ucap Hari masih dengan ketenangannya.
"Mas!"
Suara perempuan yang begitu gue kenal. Membuat semuanya beralih pandangan ke pintu masuk. Walau ternyata dugaan itu benar, gue dan Bang Jaya terkejut dengan perempuan yang baru saja membuka pintu, ia sama terkejutnya. Kami langsung menoleh ke arah Pak Hari dengan tatapan menuduh.
"Ia tidak tahu dengan semua ini," ucap Hari.
"Ada Pak Jaya dan Pak Damar, bagaimana bisa kemari?" kata perempuan itu agak gugup.
"Rani, bagaimana lu tidak kasih tahu gue, kalau suami lu dirawat?" tanya Bang Jaya marah.
Tunggu! Kenapa jadinya Bang Jaya tampak sewot? Gue jadi bingung atau itu hanya rasa empatinya saja, kepada bawahan yang sangat diandalkan.
"Dia tidak ingin Pak Jaya tahu," ucap Hari.
"Diam lu! Suami macam apa yang ingin mati meninggalkan isterinya?" ujar Bang Jaya sinis.
"Ada apa ini?" tanya Mbak Rani bingung.
"Tanya suami lu? Ia ingin mendonor jantungnya agar isterinya dikawinin penerima donor," ujar Bang Jaya berapi-api.
"Bang Jaya!" Gue pikir Bang Jaya keterlaluan. Karena tadi Pak Hari bilang Mbak Rani belum tahu atas masalah ini.
"Mas Hari, apa maksud Pak Jaya?" tanya Mbak Rani dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Aku ingin mendonorkan jantungku," ucap Pak Hari dengan ketenangan entah dari mana.
"Kita masih bisa bertahan Mas, aku mohon!" kata Mbak Rani disertai isak tangis. Ia memeluk tubuh Pak Hari, sedang gue lihat Bang Jaya membuang muka.
"Aku tidak ingin kamu menderita lagi, dialisis itu mahal, kamu sudah menjual rumah peninggalan orang tua mu, hingga dimusuhi keluarga besar karena terlalu membelaku," ucap Hari.
"Tidak, Mas Hari itu suamiku, cintaku, kita akan menghadapi susah senang bersama," ratap Mbak Rani.
"Kamu akan bahagia tanpa Mas," ucap Pak Hari lembut.
"Tidak, itu tidak benar, Rani akan hancur tanpa Mas," kata Mbak Rani tersedu.
"Relakan Mas, kamu akan bahagia, Pak Jaya sudah berjanji akan menjagamu," ucap Hari.
Perasaan atau cuma dugaan gue. Pak Hari sepertinya yakin tidak ditolak, dengan apa yang dimintanya. Dan saat ini Bang Jaya malah terdiam.
"Mas ingin ninggalin Rani, Rani hanya punya Mas," ujar Mbak Rani histeris.
"Relakan Mas!" ucap Hari pelan.
Mbak Rani menggeleng lalu tiba-tiba tubuhnya merosot ke lantai. Dengan sigap Bang Jaya menyongsong sebelum kepala Mbak Rani menyentuh lantai. Apa sebegitunya siapnya, sampai tahu ada yang akan pingsan?
"Rani! Lu senang Rani seperti ini?" geram Bang Jaya. "Dokter Pratama! Cepat tolong Rani! Jangan diam saja!" kata Bang Jaya meninggi.
Dokter Pratama lalu mengikuti Bang Jaya. Ia membawa tubuh Mbak Rani keluar ruang inap. Gue menoleh sebelum mencapai pintu keluar, terlihat Pak Hari tersenyum dan mengangguk.
"Saya benar Pak Damar," ucap Hari.
Gue hanya balas mengangguk dan tersenyum. Sepertinya dugaan ini benar, tidak mungkin tidak ada apa-apa sampai Bang Jaya sekhawatir itu. Dan sepertinya gue dan Bang Jaya harus menepati janji kami masing-masing.