Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 23 - Bab 23 Tidak Mulus

Chapter 23 - Bab 23 Tidak Mulus

Hari ini gue mampir ke resto, ada beberapa hal yang harus didiskusikan dengan Bang Jaya. Setelah drama pingsan Mbak Rani tiga hari yang lalu, ia malah terlalu diam bahkan ketika di rumah. Mama Setyawati dan Mak Salmah meminta gue, mencari tahu tentang perubahan sikapnya.

Gue kadang iri ke Bang Jaya, kenapa Mak Salmah begitu sangat peduli? Tapi akhirnya gue sadar. Baik Mak Salmah dan Mama Setyawati melakukannya agar merasa tidak dibedakan karena ia hanya anak angkat. Dilihat dari manapun, gue lebih beruntung darinya, yang terpenting kami saling menyayangi tentu saja.

Memarkir mobil baru gue pada parkir khusus. Semua gara-gara nenek Sulis yang marah-marah karena melihat mobil yang katanya pasaran, padahal terpenting itu manfaat bukan tampilan. Pada akhirnya tetap mengalah, menerima mobil pemberiannya.

Gue langsung ke atas, menemui Abang yang cool kata orang bilang. Memang sih dia cool juga menurut gue. Tapi itu hanya di depan orang lain bukan di depan kami, keluarganya.

"Sore Mbak Rani!" seru gue ceria.

"So-sore! Pak Damar," ujar Mbak Rani tergagap. Kenapa Mbak Rani tergagap begitu? Apa dia tadi melamun?

"Bang Jaya?" tanya gue masih tersenyum.

"Ada Pak," ujar Mbak Rani singkat.

Akhirnya gue mengangguk dan berlalu menuju pintu ruang Bang Jaya. Tumben tirainya tertutup? Benak mulai bertanya-tanya.

Tok.

Tok.

Tok.

"Masuk!" seru Bang Jaya dari dalam.

Gue membuka pintu, lalu melangkah masuk setelahnya, menutup pintu. Melihat Bang Jaya berdiri melihat keluar jendela. "Kenapa ini vertical blinds ditutup segala?" ucap gue sambil membuka tirai.

"Jangan, Damar!"

"Gue kira Bang Jaya bawa cewek kemari, " ucap gue asal.

Bang Jaya menatap gue galak. Sedang gue hanya menyengir sambil mengangkat tangan. Tampaknya ada yang lagi sensi.

"Lu beli mobil baru?" Pasti ia melihat gue datang dari jendela. Ketika gue masuk tadi, Bang Jaya masih berdiri disana.

"Nenek Sulis yang membelinya, katanya mobil gue pasaranlah, tidak cocok dan sebagainya, hingga gue pusing dan menuruti kemauannya."

Bang Jaya malah terkekeh mendengar penuturan gue. Sebal jadinya karena hal ini dianggapnya lucu. "Lu harus kuat-kuat menghadapi nenek Sulis!"

"Harus pintar juga, kalau tidak bakal disetir sama nenek Sulis," ucap gue.

Bang Jaya mengangguk mengiyakan terhadap sikap nenek Sulis yang terlalu dominan. Begitulah, keras kepala dan mau menang sendiri. Harus pintar-pintar bersilat lidah menghadapinya.

"Bang Jaya kenapa murung akhir-akhir ini?" tanya gue akhirnya.

"Tidak ada apa-apa. Hanya sedang bayak kerjaan. Lu tahu sendiri bahwa akan ada pembukaan resto perdana di hotel Diwangkara. Gue agak was-was, takut tidak sesuai ekspetasi," ujar Bang Jaya panjang lebar.

"Bang Jaya anggap gue bodoh?"

"Maksud lu? Gue nggak ngerti?"

"Pertama, gue pernah menghandle resto ketika Bang Jaya sakit, kedua, gue sudah lumayan bisa menjalankan hotel-hotel sesuai posisi gue sekarang," ucap gue menjeda bicara. "Jadi tolong lu kasih alasan yang masuk akal dikit, gue lebih bisa menerima kalau lu diam dari pada lu kasih alasan yang melecehkan gue, seperti orang bodoh kalau lu kasih alasan itu."

"Maaf! Abang tidak bermaksud begitu, entahlah," ujar Bang Jaya gusar.

Gue lihat ia mengacak rambutnya frustasi, ada apa sebenarnya? Apa ia mengkhawatirkan tentang operasi? Atau Mbak Rani?

"Cerita ke gue! Mama Setyawati dan Mak Salmah sangat khawatir, gue diteror Mak Salmah setiap hari, pagi, siang malam seperti makan obat, tahu," ucap gue kesal.

Bang Jaya sedikit tersenyum dengan penjelasan gue. Paling tidak ia tahu bahwa ada keluarga yang mendukungnya. Apapun masalahnya, kembali ke keluarga jauh lebih baik dari pada mencari solusi di luar.

"Maharani menjauhi gue," gumam Bang Jaya yang masih bisa gue dengar.

"Mbak Rani maksudnya?" tanya gue memastikan.

"Bisa pelankan suara lu, nanti ia bisa dengar!" ujar Bang Jaya.

Gue hanya bisa menggelengkan kepala. Apa ia tidak sadar? Ruangan kaca ini kedap suara, bahkan kacanya hanya satu arah.

"Bodoh gue." ujar Bang Jaya. Ia kembali mengacak rambutnya setelah menyadari tentang ruangan ini. Ia benar-benar tidak fokus.

"Mungkin Mbak Rani butuh waktu Bang, buat menerima semua ini," ucap gue sok bijak.

"Tapi gue merasa bersalah, seperti gue mendoakan kematian Hari secepatnya, mungkin Rani marah karena itu," ujar Bang Jaya hampir tidak terdengar.

"Bang Jaya, Hari memang tidak kuat lagi menahan kesakitannya, ia pernah cangkok ginjal namun gagal, kalau dipaksakan mungkin organ lain akan terkena dampaknya," ucap gue.

"Kok gue nggak tahu? Gue pikir baru dialisa doang, tidak tahu kalau sampai begitu," ujar Bang Jaya.

"Mbak Rani jual rumah buat apa memangnya? Kalau bukan buat itu, jadinya Mbak Rani dibuang dari keluarganya karena terlalu membela Hari," ucap gue.

"Kok lu tahu?"

"Hari yang cerita."

"Kapan? Kok gue nggak tahu lu nemui dia?" tanya Bang Jaya lagi.

"Bagaimana bisa tahu? Kalau perhatian Bang Jaya hanya kepada Mbak Rani yang pingsan."

"Apaan sih lu? Gue nggak ngerti?"

"Setelah Mbak Rani diurus dan ditemani, orang yang sangat-sangat dan terlalu peduli padanya, gue menemui Hari dan ia cerita banyak."

"Sialan lu, kurang ajar, menggoda gue?"

"Untung tidak ada Mak Salmah, bisa dibantai Bang Jaya kalau mengumpat begitu." Gue masih terkekeh geli. Bang Jaya menggerutu tidak jelas.

"Mak Salmah sangat sayang pada gue, nggak akan gue dimarahi paling ditegur sedikit."

"Pernah coba?"

"Nggak maulah."

Bang Jaya bergidik, pasti membayangkan bila ia berani mengumpat. Gue sendiri sangsi, Mak Salmah tidak pernah pandang bulu kalau menyangkut masalah ucapan. Akhirnya kami bisa tertawa lepas, paling tidak ia bisa tidak murung lagi.

"Bang Jaya suka dengan Mbak Rani sejak kapan?"

"Lu ngomong apa sih, Damar?"

"Mbak Rani kerja disini sebelum Kak Aryati nikah dengan Abang kan?"

"Kok lu tahu?"

"Kak Aryati yang seperti itu, tidak membuat Bang Jaya suka, pastilah lu suka dengan yang lain kan?"

"Aryati yang seperti itu maksudnya?" .

"Gue saja suka, bagaimana mungkin Bang Jaya tidak menyukainya?"

"Jadi lu suka Aryati?"

Bang Jaya sambil menaik turunkan alisnya. Sialan, gue kelepasan bicara, alamat bakal diledek ini. "Kurang ajar gue terjebak, kenapa jadi ke gue? Kita sedang membahas Bang Jaya.".

Bang Jaya terkekeh geli karena merasa menang, membuat gue berkata spontan. Kata orang, spontanitas adalah kejujuran dari dalam hati. Semua setuju kan?

"Hari bilang Mbak Rani juga menyukai Abang." Perkataan gue sukses membuat Bang Jaya terkejut, hingga terdiam, tidak melanjutkan kekehan menyebalkannya. Ia menggeleng seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Lu! Maksud gue, itu.... tidak mungkin, itu hanya..... lu kalau bercanda jangan keterlaluan!".

"Gue nggak bercanda, kalau Bang Jaya tidak percaya bisa tanya Hari sendiri atau kalau berani tanya Mbak Rani!"

"Mau ditaruh dimana muka Abang? Hari apa benar bini lu suka gue? Gila kalau gue tanya begitu."

Gue tertawa lepas, itu adalah hal tergila, bila ada orang berbuat seperti itu. Pasti orang akan ditonjok karena menanyakan itu. Tapi dalam kasus ini adalah hal berbeda.

"Ternyata jalan kita tidak mulus, untuk mendapatkan orang yang kita suka.".

"Kalau lu mah, mulus-mulus saja, sebenarnya Aryati juga suka lu, jadi semulus jalan tol kisah lu."

"Benar, Kak Aryati masih mulus masih tersegel, beda dengan Mbak Rani sudah lepas segelnya."

"Lu mau gue hajar Damar? Ngomong sembarangan." Bang Jaya berkata sambil melotot marah. Gue hanya nyengir dan mengangkat dua jari membentuk huruf v.

"Wo, wo, calm down man! Sebegitunya marah, jadi kapan Bang Jaya suka Mbak Rani?"

"Entahlah, mungkin kebersamaan kami mengelola resto, membuat gue merasa nyaman dengannya."

"Gue mendapat video dari Hari, maksudnya Hari membuat video di ponsel gue.".

"Video?".

"Pernyataan bahwa lu harus menikahi Mbak Rani setelah operasi dan kerelaan dia melepasnya buat Abang."

"Sampai sebegitunya Hari?"

"Kata dia, bukti agar Bang Jaya dan Mbak Rani, tidak merasa bersalah tentang keadaan ini, serta ia ingin menjamin kehidupan isterinya, walau hanya menjadi isteri kedua lu."

"Tidak akan ada isteri kedua." Suara Bang Jaya meninggi, ia tampak marah. Gue hanya tersenyum tipis melihat emosinya.

"Marah lagi? Hari tidak tahu hubungan yang sebenarnya antara Bang Jaya dan Kak Aryati, slow down baby!" Gue berkata sambil cengengesan.

"Sialan lu, puas mengolok-ngolok gue?"

"Sudah, jalanin saja Bang! Tidak usah mikir yang macam-macam, lu tinggal memikirkan cara agar Mbak Rani, sepenuhnya percaya sama lu, tanpa terpengaruh rasa bersalah."

"Tapi tetap gue merasa bersalah pada Hari." Bang Jaya berkata dengan lesu. Mungkin kalau gue di posisinya, rasa bersalah itu pasti juga ada.

"Hari sudah rela dan merestui hubungan kalian, apalagi?"

Tiba-tiba pintu ruangan terdorong keras, hingga gue dan Bang Jaya terkejut. Terlihat Mbak Rani dengan tampang kusut dan derai air mata yang terlihat jelas. Kenapa dia?

"Pak, saya izin ke rumah sakit." Mbak Rani berkata dengan suara parau. Ia tampak gelisah.

Saling pandang, kami mengangguk seakan tahu apa yang terjadi. Akhirnya gue dan Bang Jaya mengantar Mbak Rani ke rumah sakit. Dengan gue sebagai sopir mereka, di mobil gue sendiri? Astaga!

Gue nggak tahu Bang Jaya sedang modus atau tidak. Ia duduk di belakang atau memang berusaha menjadi sandaran buat Mbak Rani yang tidak berhenti menangis. Kenapa pikiran jadi ngelantur yang tidak-tidak?

Kini posisi Mbak Rani sudah berada di pelukan Bang Jaya. Ia mengelus pelan punggung wanita malang itu. Gue jadi merasa ikut sedih, tidak merasa nyaman dengan keadaan ini. Walau jantung Hari memperpanjang hidup Bang Jaya, namun di sisi lain harus mengorbankan hidup Hari.

Hari sudah lelah bertahan. Kerelaannya masih seperti beban buat Bang Jaya dan Mbak Rani. Gue hanya bisa berharap semua baik-baik saja antara mereka, semoga.