Gue, Bang Jaya dan Mbak Rani akhirnya tiba di rumah sakit. Kami langsung ke bagian operasi setelah bertanya ke bagian informasi. Mbak Rani dengan wajah kusut dan mata berderai air mata, sepanjang perjalanan hingga kami sampai.
"Rani! Sudah ya, yang sabar!" ucap Bang Jaya pelan.
"Kenapa Mas Haris tega Pak? Tega meninggalkan Rani, terus Rani sama siapa?" ujar Mbak Rani terisak.
Bang Jaya terdiam, hanya bisa mengelus punggung Mbak Rani yang sedang kacau. Kalau dalam keadaan normal, mungkin gue sudah meledeknya, yang seperti cari kesempatan karena sejak tadi menempel seperti lintah ke Mbak Rani.
Pintu ruang terbuka, muncul dokter Pratama yang langsung menghampiri kami. "Pak Jaya, Pak Damar!" Dokter Pratama berkata ramah. Akhirnya ia tidak terlalu sungkan kepada kami.
"Bagaimana dokter?".
"Pak Jaya sudah siap? Mari ikut saya!" kata dokter Pratama.
"Maksud dokter?" tanya Bang Jaya tidak mengerti.
"Kita akan mengoperasi Pak Jaya secepatnya," kata dokter Pratama.
"Jadi Hari?" tanya gue merasa tidak enak.
"Beliau meninggal dua menit yang lalu," kata dokter Pratama sambil melihat arlojinya.
"Rani!" seru Bang Jaya.
Gue menoleh dan mendapati Bang Jaya berusaha menyadarkan Mbak Rani. Hampir saja tubuhnya meluruh ke lantai, untung ada yang sigap menangkapnya. Kalau tidak, kepala bisa membentur lantai.
"Jaya, Rani kenapa?"
Menoleh dan mendapati Mama Setyawati yang berjalan di depan Mak Salmah serta Kak Aryati. Mereka bergegas mendekat. Tampak kecemasan yang kentara di wajahnya.
"Mbak Rani pingsan karena mendengar dokter Pratama mengatakan, bahwa suaminya meninggal," ucap gue pelan.
"Dokter bagaimana sih? Harusnya jangan bilang langsung! Pingsan kan jadinya Rani!" ujar Mak Salmah kesal.
Dokter Pratama melihat gue seakan bertanya siapa wanita yang memarahinya. "Dokter Pratama! Kenalkan Mama Setyawati, Mak Salmah, Kak Aryati, semua keluarga saya," ucap gue pelan.
"Maaf, kalau untuk penyakit tidak akan saya bicarakan kepada pasien tapi berhubung kematian, kami harus memberitahukan kepada keluarga pasien tentu saja," kata dokter Pratama tenang.
Mak Salmah hanya diam. Tidak membantah dengan apa yang disampaikan dokter Pratama. Ia malah ikut menghampiri Mbak Rani.
"Pak Jaya! Tim kami telah siap untuk mengoperasi Bapak," kata dokter Pratama.
"Jaya, pergilah!" ujar Mama Setyawati lembut.
"Tapi Rani," kata Bang Jaya meragu.
"Tenang Bang, ada gue yang akan mengurus Mbak Rani," ucap gue meyakinkan.
Bang Jaya menghela napas dan berdiri. Berjalan menghampiri dokter Pratama, ia menoleh ke arah Mbak Rani sebentar. Ia mengangguk ke arah dokter Pratama, mereka berjalan menuju ruang operasi.
Akhirnya tinggal gue, Mama Setyawati, Mak Salmah, Kak Aryati serta Mbak Rani yang masih pingsan. Ketika gue mau mendekati Mbak Rani, Kak Aryati berkata ketus. "Mau apa?"
"Mau menolong Mbak Rani tentu saja."
"Sudah ada aku, tidak perlu kamu ikut campur!"
"Tapi ia kan pingsan?" Tidak mengerti dengan ulah Kak Aryati. Ia malah melotot ke arah gue, ada apa sebenarnya dengannya?
"Dam, lu cari kamar buat Rani biar bisa istirahat!" kata Mak Salmah. Gue akan beranjak ketika seseorang mendekati kami. Tampaknya dari pihak rumah sakit.
"Siang Pak Damar, saya Liliana asisten dokter Pratama, biar Ibu yang pingsan bisa ditangani pegawai kami!" ujar perempuan cantik yang menghampiri kami. Ia bersama empat orang yang langsung mengambil alih Mbak Rani dan menempatkannya diatas kursi roda dengan sigap.
"Bagaimana dengan biaya Abang saya dan juga kamar Mbak Rani?" tanya gue.
"Semua sudah ditanggung Ibu Sulis, jadi Pak Damar tidak perlu membayar lagi," ujar Liliana.
"Mari Mbak! Kita ke kamar Mbak Rani, kasihan ia butuh istirahat," kata Kak Aryati. Ketika gue akan mengikuti, ia berbalik dan menatap tajam. Ada apa lagi?
"Kamu tunggu kabar operasi Bang Jaya! Biar Mbak Rani urusanku!" seru Kak Aryati tegas. Walau bingung dengan ulahnya, akhirnya gue menghampiri Mak Salmah dan Mama Setyawati yang duduk menunggui operasi Bang Jaya.
Kadang wanita susah dimengerti. Kenapa Kak Aryati seakan tidak ingin gue dekat dengan Mbak Rani? Demi kemanusiaan gue rela menolong, apalagi almarhum Haris menitipkan isterinya itu ke Bang Jaya, sudahlah!
Hari-hari terlewati dengan lumayan berat. Kami bersyukur karena operasi jantung Bang Jaya berhasil. Ia harus meminum obat rutin pasca operasi. Konsekuensi yang harus ditanggung agar tubuhnya tidak menolak jantung pendonor. Hingga tidak ada infeksi ataupun penolakan tubuhnya, selama ia istirahat di rumah sakit.
"Dam, kapan gue bisa keluar dari sini?" tanya Bang Jaya pelan.
"Seminggu lagi."
"Dam, gue bukan orang bego, lu mau memenjarakan gue sampai kapan disini?" tanya Bang Jaya kesal.
"Tidak boleh marah-marah!"
Bang Jaya menghela napas berusaha mengontrol emosinya. Sebenarnya setelah operasi jantung, ada yang butuh hanya satu minggu atau dua minggu di rawat. Bang Jaya sudah sebulan, anggap lebay, tapi gue ingin yang terbaik untuknya. Ia menatap tajam.
"Oke, tiga hari lagi," ucap gue.
Bang Jaya menatap gue lebih tajam. Ia seakan mendikte agar kemauannya tercapai. "Hari ini! Atau gue keluar dari sini sendiri," ujarnya.
"Iya, iya, nunggu dokter Pratama kemari, ia dalam perjalanan ke rumah sakit."
"Rani tidak terlihat menjenguk selama disini." Bang Jaya berkata hampir tidak terdengar. Gue terkejut lalu berusaha mendatarkan wajah, ini pasti akan terjadi cepat atau lambat.
Mbak Rani menghilang setelah proses pemakaman Haris. Sudah dicari kemana-mana tapi tidak ketemu. Sampai-sampai gue meminta Kak Aryati untuk membantu resto.
Setiap gue bicara tentang Mbak Rani, Kak Aryati seperti tidak suka. Bagaimana kalau dia tahu kesanggupan Bang Jaya menjaga isteri Haris itu? Apa dia akan marah?
"Dia sangat mencintainya." Bang Jaya berujar pelan.
Gue mengerutkan kening, tidak tahu ia bicara apa? "Siapa?"
"Tentu saja Rani, ia sangat mencintai suaminya," ujar Bang Jaya lemah.
"Tentu saja Bang! Mana ada isteri yang tidak mencintai suaminya."
"Kamu benar, ia sangat-sangat mencintai suaminya," ujar Bang Jaya.
"Pasti, kecuali ia dijodohkan, dipaksa menikah, itupun kadang bisa saling mencintai."
"Sampai ia tidak datang menjenguk, harusnya tahu sejak awal, bahwa gue bukan apa-apa," ujar Bang Jaya tersenyum getir.
"Ngomong apa sih? Sudahlah! Mbak Rani itu sedang sedih, nggak mungkin dia membagi antara kesedihan dan kepedulian terhadap Bang Jaya, ngertiin sedikit kenapa?"
"Kamu benar," ujar Bang Jaya akhirnya.
Gue hanya berusaha agar Bang Jaya kuat. Dengan menguatkan semangat pasien, bisa meningkatkan tingkat kesembuhannya bukan? Itu yang gue coba lakukan sekarang
"Siang Pak Damar, Pak Jaya!' seru dokter Pratama ramah.
Kami menoleh dan mendapati dokter Pratama masuk ruangan. Ia memeriksa catatan yang dibawa suster di sampingnya kemudian menatap kami sambil tersenyum. "Kondisi Pak Jaya stabil."
"Bisa saya pulang hari ini dokter Pratama?" tanya Bang Jaya langsung.
Dokter Pratama menoleh. Gue jawab dengan anggukan lemah. Memang sudah waktunya Bang Jaya menghirup kebebasannya.
"Jadi lu yang membuat gue di penjara disini?" tanya Bang Jaya.
"Bukan begitu Bang, gue ingin lu dapat yang terbaik dan cepat sembuh."
"Sudahlah! Dokter Pratama, bisa saya pulang sekarang?" ujar Bang Jaya kesal.
"Bisa Pak Jaya, kondisi Bapak lebih dari cukup untuk keluar dari sini," kata dokter Pratama sambil tersenyum.
"Walau dokter Pratama sungkan dengan adik saya, jangan dengarkan perkataannya bila tidak masuk akal!" ujar Bang Jaya.
"Gue hanya ingin yang terbaik buat lu," ucap gue tidak terima.
Suster yang bersama dokter Pratama keluar. Lalu masuk bersama perawat pria yang membawa kursi roda. Terlihat wajah Bang Jaya langsung bahagia bahwa ia akan terbebas.
"Lu sudah menyiapkan ini semua?" tanya Bang Jaya tidak percaya.
"Harusnya tadi dokter Pratama membius lu, agar tidak bawel ketika mau keluar rumah sakit," Gue berkata dengan kesal. Dokter dan perawat di ruang ini mengulum senyum melihat interaksi kami.
"Jangan coba-coba dokter berani melakukan itu!" ancam Bang Jaya.
"Tentu tidak Pak Jaya, kami tidak pernah melakukan diluar prosedur pengobatan," kata dokter Pratama kalem.
Gue heran kenapa Bang Jaya mendadak cerewet dan banyak omong? Setelah siuman pasca operasi ia langsung seperti itu. Seperti bukan Bang Jaya.
Dalam beberapa kasus pasca pencangkokan. Katanya sifat pendonor akan mempengaruhi penerima, mungkin itu yang terjadi terhadap Bang Jaya,. Cerewet dan tukang protes, padahal sifatnya tergolong pendiam.
Gue hanya bisa melirik, ketika Bang Jaya berkali-kali mendengus ke arah ponselnya Ia pasti menghubungi Mbak Rani. Andai ia tahu yang dihubungi menghilang, pasti langsung panik.
"Dam, kok ponsel Rani tidak bisa dihubungi?" tanya Bang Jaya akhirnya.
"Mana gue tahu." Gue berkata sambil menoleh ke jendela mobil. Kami dalam perjalanan pulang dan sejak tadi Bang Jaya gelisah terus karena Mbak Rani.
"Kok gue khawatir ya, Dam?" tanya Bang Jaya lebih kepada dirinya sendiri.
"Khawatirkan diri lu! Biar secepatnya sembuh dan mengejar Mbak Rani!"
"Seperti Rani pergi saja, yang harus gue kejar." Kalau saja ia tahu, hampir sebulan Mbak Rani menghilang. Ia pasti sangat cemas dan bisa mempengaruhi kesembuhannya.
"Kok itu seperti mobil Om Toro?" tanya Bang Jaya.
Kami akhirnya tiba di rumah. Memang terlihat mobil Om Toro terparkir disana. Tumben ia kemari, kalau ada masalah kenapa tidak menghubungi gue? Atau dia kangen dengan Mak Salmah? Dasar orang tua.
"Kangen Mak Salmah mungkin," ucap gue asal.
"Lu setuju?" tanya Bang Jaya.
"Kalau Mak Salmah mau, biarin saja!"
Setelah mobil berhenti. Gue bersikeras Bang Jaya naik kursi roda. Kami lalu memasuki ruang tamu, disana banyak orang menyambut kedatangannya.
"Siang agak sore semua!" ucap gue ceria.
Tapi wajah-wajah di ruang tamu, tidak menunjukkan hal yang sama. Tampak ketegangan di wajah mereka. Apalagi wajah Mak Salmah yang tampak paling emosi.
"Nak Jaya! Bisa jelaskan! Kenapa ada surat ini dikamarmu?" kata Mak Salmah dengan wajah merah.