Gue dan Bang Jaya bergegas ke rumah sakit. Sore ini, ketika gue sedang membicarakan tentang keadaan resto tentu saja dengan Bang Jaya, tiba-tiba Mak Salmah telepon untuk segera ke rumah sakit. Setelah memarkir mobil, kami langsung ke Instalasi Gawat Darurat, disana sudah ada Mak Salmah dan Mama Setyawati serta Gembor.
"Gembor!" seru gue. Ia hanya terpekur ditempatnya tanpa menoleh. Gue bisa lihat kalau dia lagi kacau, semoga tidak apa - apa.
"Mama, Mak, bagaimana?" tanya Bang Jaya.
"Bang Burhan masih ditangani di dalam, nunggu dokter bedahnya, sepertinya mau dipindah ke ruang operasi," kata Mak Salmah pelan.
Setelah Mak Salmah berhenti bicara, dari dalam keluar brankar beserta Cang Burhan di atasnya, dan dengan cepat di bawa ke ruang operasi. Kami mengikuti hingga pintu luar ruang operasi, Gembor masih terdiam. Gue tidak tahu harus ngomong apa, hanya berdiri di sampingnya sambil merangkul pundaknya.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Bang Jaya.
"Terjadi keributan karena kampung Surga mau digusur untuk taman sekaligus tempat bermain warga," ujar Mak Salmah. "Kata teman gue, Bang Burhan berusaha meredakan tindakan brutal preman-preman, disaat keributan antara para aparat dan para preman, Bang Burhan tertusuk."
"Preman yang nusuk Cang Burhan?" tanya Bang Jaya.
"Sepertinya begitu, aparat semua pakai pentungan, jadi pasti ulah salah satu preman," ujar Mak Salmah.
"Kenapa Cang Burhan malah ditusuk teman sendiri?" tanya Bang Jaya.
"Di kampung Surga itu biasa saling sikut menyikut, teman makan teman, ya begitulah, siapa yang kuat, ia yang bertahan," ujar Mak Salmah. Gue tahu bahwa tidak sedikit usaha menyingkirkan yang kuat, untuk menjadi penguasa di kampung Surga adalah hal lumrah. Cang Burhan salah satu preman yang disegani sekaligus di benci.
Mungkin karena terlalu pro pemerintah, ada sebagian preman-preman itu tidak suka. Cang Burhan memang tidak menolak kalau kampung Surga digusur untuk dijadikan taman oleh pemerintah. Secara otomatis banyak yang merasa rugi karena pemasukan mereka berkurang bahkan tidak ada, pemasukan dari pelacur, tukang makanan, losmen, dan masih banyak lagi jatah preman, begitu mereka namakan.
"Gembor, semoga Cang Burhan baik-baik saja," ucap gue pelan. Ia hanya diam, wajahnya benar-benar memelas. Kalau biasanya gue selalu mentertawai muka Gembor, namun tentu saja kali ini gue ikut merasakan apa yang ia rasakan, sedih dan takut Cang Burhan kenapa-kenapa.
Ketika dokter keluar setelah hampir dua jam di meja operasi dengan wajah lelah dan menggeleng meminta maaf. Lalu mengatakan Cang Burhan tidak bisa bertahan. Gembor langsung meluruh ke lantai. Ada pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah hukum alam terjadi dengan Tuhan sebagai penulis takdir, takdir yang mengharuskan Cang Burhan pergi meninggalkan kami.
Gembor menatap tanah merah kuburan Cang Burhan dengan pilu, tadi malam memang tidak memungkinkan menguburkannya, hingga kami kuburkan hari ini. Gue menghela Gembor keluar dari komplek pemakaman walau gue tahu ia begitu enggan. Memarkirkan mobil di rumah lama kami, keluar dari mobil dan menarik Gembor yang seperti tidak bernyawa memasuki rumah.
Karena rumah sakit dan rumah lama kami lebih dekat maka semua hal tentang pemakaman Cang Burhan diurus di sini. Ketika kami memasuki rumah, terlihat keluarga gue sedang duduk di sofa ruang tamu yang telah dikembalikan ke tempatnya. Tadi disingkirkan untuk acara sebelum pemakaman Cang Burhan, mendoakan, memandikan, mengkafani serta menyolatkan tentu saja.
"Yang sabar, Gembor!" ujar Mak Salmah. Wanita hebat dihidup gue itu memeluk Gembor dan mengelus punggungnya dengan sayang. Kemudian Mama Setyawati melakukan hal yang sama, begitu pula Bang Jaya. Ketika Kak Aryati akan melakukan hal sama, justru Gembor yang terlebih dahulu merentangkan tangan. Gue dengan tergesa mendahului Kak Aryati memeluk Gembor yang membuat wajahnya cemberut.
"Awas saja lu modusin Kak Aryati!" bisik gue.
"Sial lu, dikit doang," ujar Gembor pelan yang hanya terdengar kami berdua.
"Nggak ada!" ucap gue masih berbisik.
Ketika gue dan Gembor melepas pelukan kami, mata gue dan Kak Aryati bertemu. Namun ia sepertinya belum memaafkan gue, melihat ia langsung pura-pura melihat ke arah lain. Tapi setidaknya ia nggak jadi memeluk Gembor dan dimodusin.
"Gembor!"
Kami menoleh dan mendapati Mbak May di pintu kemudian dengan tergopoh-gopoh mendekati Gembor yang langsung menyambutnya. Ia langsung memeluknya dengan erat, bahkan dengan brutal menciumi pipi kanan kiri. Ia melihat wajah Mbak May dengan mata berbinar dan setelahnya melumat bibirnya.
"Aaakhhhh...."
Itu adalah jeritan panjang Gembor. Mau tahu kenapa? Tentu saja tidak lain dan tidak bukan ulah wanita super gue, Mak Salmah. Ia menarik rambut Gembor tanpa perasaan sepertinya karena terdengar teriakan kencang.
"Sakit Mak," ujar Gembor. Mak Salmah melotot dengan garang. Gembor mengusap kepala dimana rambutnya terenggut.
"Lu tuh ya, modus tidak tahu tempat dan situasi, masih berduka bukannya prihatin malah ngumbar maksiat," ujar Mak Salmah berapi-api.
"Kan lagi sedih Mak, ada Mak May kan sedikit nggak sedih lagi," kata Gembor polos.
"Terus kenapa nyosor begitu? Lu kira rumah ini gue relain buat mesum?" ujar Mak Salmah masih dengan nada tinggi.
"Kelepasan Mak, khilaf," jawab Gembor tidak merasa berdosa.
Mbak May lalu menyalami Mak Salmah, Mama Setyawati, Bang Jaya, Kak Aryati dan terakhir gue.
"Nggak usah senyum-senyum ke Damar!" seru Gembor ketus.
"Biasa saja Mbor, nggak usah ngegas, terus lu suruh Mbak May cemberut begitu, udah empet gue lihat wajah lu yang mendung, udah nggak enak dilihat, cemberut lagi," ucap gue santai.
"Sia.... he, he peace Mak Salmah," ujar Gembor cengengesan. Gue, Bang Jaya terkekeh sedang Mama Setyawati dan Kak Aryati mengulum senyum.
Tiba-tiba Mbak May meluruh ke lantai, untung Gembor dengan sigap menyongsongnya hingga kepala Mbak May tidak terantuk lantai. "May!" seru Gembor. Kami mengerubungi tubuh pucat Mbak May, Gembor menepuk-nepuk pipinya agar tersadar.
"Gembor, bawa May ke kamar, Nak Jaya tolong panggil dokter!" seru Mak Salmah.
Gembor lalu mengangkat tubuh Mbak May, sedang Bang Jaya mengeluarkan ponselnya menghubungi dokter. Sedari tadi Gembor tidak beranjak dari sisi Mbak May. Kadang gue heran tentang sikap Gembor terhadap Mbak May yang terlalu protektif.
Dokter yang memeriksa Mbak May telah keluar dari kamar. Bang Jaya mengantarnya pergi sampai ke depan. Gue penasaran Mbak May sakit apa?
"Katakan!"
Gue dan yang ada di ruang tamu terkejut mendengar teriakan Gembor. Kami lalu beranjak menuju kamar dimana Mbak May berada. Di sana Gembor berdiri tegang dengan tangan mengepal, sedang Mbak May terisak.
"Gembor, ada apa?" tanya Mak Salmah.
"Tanya pelacur itu! Ada apa?" ujar Gembor bersungut sambil menunjuk Mbak May.
Plak.
Gue, Mama Setyawati dan Kak Aryati terperanjat melihat Mak Salmah menampar begitu kerasnya pipi Gembor. Ia mengelus pipinya dan tersadar, dengan sendu menatap Mak Salmah. Mbak May sampai berhenti terisak.
"Mak Salmah, bukan madsud gue berkata seperti itu," ucap Gembor.
"Diam lu!" kata Mak Salmah meninggi. Gembor hanya bisa menunduk pasrah. Mak May kembali terisak di ranjang.
"May, lu sakit apa?" tanya Mak Salmah. Mbak May hanya menggeleng. Ia hanya terisak menanggapi pertanyaan Mak Salmah.
"Kenapa Gembor teriak-teriak?" tanya Mak Salmah lagi.
"Itu karena..." ucap Gembor berhenti. Mak Salmah menatap tajam Gembor hingga ia mengurungkan niat untuk bersuara. Mak sedang mode on seram.
"Katakan May, lu sakit apa?" tanya Mak Salmah pelan. Mbak May lagi-lagi hanya menggeleng. Masih setia dengan isakan yang membuat siapapun merasa berempati akan tangisannya.
"May, gue akan bantu sebisa gue," kata Mak Salmah lembut.
"Dia hamil," ucap Gembor ketus. Kami menatap Gembor dan Mbak May yang menangis tambah keras. Mak Salmah lalu mendekati Mbak May lalu mengusap kepalanya dengan tulus.
"Kenapa lu ceroboh sih, sudah tidak apa, anggap itu anugerah!" ucap Mak Salmah bijak. Ia lalu menatap Gembor dengan sengit. "Lu tuh harusnya kasihan dengan May, pekerjaannya itu banyak mengandung resiko, penyakit kelamin, kekerasan, dianggap sampah masyarakat, belum lagi hamil seperti ini," ucap Mak Salmah keras.
"Lu juga pernah niduri May? Dan juga perempuan lain di kampung Surga kan? Kenapa lu marahi si May? Apa hak lu?" tanya Mak Salmah.
"Ada apa?"
Kami menoleh ke pintu. Bang Jaya berdiri mematung mengernyitkan dahi melihat ketegangan di kamar ini. "May hamil dan Gembor seenaknya marah-marah ke dia, punya hak apa dia?" ucap Mak Salmah mendecih.
"Bukan begitu Mak, hanya gue....." ujar Gembor berhenti.
"Diam! Lu diam nggak usah banyak cing cong! Bukan memberi dukungan ke May, malah marah-marah nggak jelas!" ucap Mak Salmah sewot.
"Iya Mbor, kasihan Mbak May, jangan dimarah-marahi, lagi hamil kalau terlalu sedih bisa bahaya buat kandungannya!" kata gue pelan.
"Mbak May tenang saja, kita semua akan jagain Mbak May!" seru Bang Jaya.
"Iya May, kamu bisa tinggal disini biar Gembor bisa jagain lu, atau di rumah Mbak Setyawati kalau lu nggak suka dengan Gembor, masih sakit hati karena dimarahin lu?" ucap Mak Salmah.
"Kok Mak Salmah begitu amat ke gue?" ujar Gembor. Ia lalu mendekati Mbak May, mengelus kepalanya pelan. "Maaf, gue terbawa emosi, kita akan membesarkan anak ini bersama-sama," ujar Gembor sambil mengelus perut Mbak May.
Entah mengapa Mbak May malah menangis terlalu kencang hingga membuat kami terkejut? "Gue, gue ti-dak pan-tas," kata Mbak May terbata.
"Lu bilang apa sih May? Kita disini sayang lu," ucap Mak Salmah.
"Mbak May tidak usah khawatir! Gue akan menjadi babenya?," ujar Gembor mantap. Gue tersenyum, ternyata dugaan gue benar. Ia memang ada rasa sama Mbak May dari dulu.
"Tapi, apa lu mau nikahi gue?" tanya Mbak May.
"Tentu," ujar Gembor masih mantap.
"Tapi, apa lu masih mau? Kalau tahu siapa ayah dari anak di kandungan gue?" tanya Mbak May lagi dengan gusar.
"Lupakan bajingan itu!" seru Gembor.
"Bang Burhan," ujar Mbak May.
"Apa?" tanya Gembor.
"Bang Burhan, ayah dari anak yang gue kandung," ucap Mbak May lirih.
"Dasar pelacur murahan!" umpat Gembor dengan keras.
Plak.
Plak.
Pipi kanan Gembor kena tampol Mbak May, sedang pipi kirinya kena tampar Mak Salmah.