Saat ini mobil yang gue kendarai sudah berhenti di pintu gerbang kediaman keluarga Diwangkara, akhirnya sampai juga. Terlihat rumah megah yang terpampang di depan, apa nggak salah rumahnya besar sekali? Memang pernah lihat rumah mewah tentu saja, tapi memasuki belum pernah.
"Benar ini Bang, rumahnya?" tanya gue.
"Iya Dam, kenapa?" tanya Bang Jaya balik.
"Tidak apa-apa, hanya tidak menyangka sebesar ini rumahnya." Sebenarnya agak terkejut dan was-was, kenapa nyali jadi ciut begini? Mereka yang di dalam mobil ini percaya gue dan itu harus dibuktikan.
"Jangan parkir depan pintu, nanti kalau mobil keluar masuk jadi menghalangi!" seru satpam berkumis tebal.
Mengernyitkan dahi lalu melirik membaca name tag di dada satpam itu. Mana mungkin orang parkir di depan rumah mewah? Tadi saja di depan komplek gue harus pakai pass code untuk bisa masuk ke lingkungan ini. Gue jadi kesal, apa semua penjaga di rumah mewah seperti ini?
"Gue, Damar Jati," ucap gue pelan.
"Gue nggak kenal lu," ujar Bejo, satpam berkumis tebal.
"Apa kalian tidak kenal satpam ini?" tanya gue ke Bang Jaya dan Mama. Mereka menggeleng, jadi selama ini mereka pernah kemari atau tidak sih?
Keluarga Diwangkara yang luar biasa, akhirnya mengerti kenapa Abah punya rumah sendiri, tidak ada kehangatan di rumah ini. "Gue, cucu nenek Sulis, bukakan pintu!" Tadinya mau lembut, tapi melihat satpam Bejo yang tidak ramah membuat kesal.
"Nggak kenal lu, dan lagi cucu Ibu Sulis itu perempuan, jangan ngaco!" ujar satpam Bejo. Gue menatap tidak percaya, bukannya menelepon ke dalam malah mencibir. "Cepat pergi! Halangin pintu saja lu!" ujar satpam Bejo ketus.
Gue ambil ponsel, menekan nomer yang diberikan nenek Sulis kemarin. "Hallo Dam," ujarnya di seberang sana. Terkejut sebentar ketika ia ternyata menyimpan nomer ini, padahal kemarin kalau tidak salah, dia menelepon dari nomer rumah.
"Bilang ke satpam nenek, gue mau masuk!" Langsung mematikan ponsel. Semua menatap heran yang hanya gue balas dengan senyuman.
Terlihat satpam Bejo menerima panggilan telepon sambil menunduk-nundukkan kepala. Memangnya yang menelepon melihat? Tiba-tiba pintu gerbang terbuka, satpam Bejo keluar dari posnya sambil membungkuk-bungkukkan badan menghampiri mobil gue.
"Maaf Pak, saya tidak tahu kalau Bapak juga cucu Ibu Sulis, maafkan saya?" ucap satpam Bejo dengan muka pucat.
Gue yang akan marah namun Bang Jaya keburu menyela bicara. "Tidak apa-apa Pak, kami masuk dulu," ucapnya lembut. Ia lalu memberi isyarat untuk melajukan mobil sebelum gue meledak, pasrah saja akhirnya menjalankan mobil.
Ketika mobil sampai di depan pintu rumah besar ini, gue menghela napas, saatnya masuk kandang macan. Begitu turun, kami sudah disambut oleh nenek Sulis yang ternyata berdiri dekat pintu masuk. Para pelayan yang berjumlah sepuluh orang berdiri di kanan kiri menyambut kami, berlebihan gue pikir.
"Damar cucu Oma, akhirnya datang juga," ujar nenek Sulis ceria.
Nenek Sulis melihat yang lain dengan wajah datar. Ia tidak bisa menolak ketika gue mengajukan syarat membawa keluarga untuk menemuinya. Semuanya mengikuti nenek Sulis ke ruang tamu, akhirnya kami duduk dengan keheningan. Merasa tidak nyaman dengan suasana, terpikir pasti semua juga merasa hal ini.
"Oma telepon sebentar ya, Dam?" ucap nenek Sulis.
Hanya bisa mengangguk. Sepertinya nenek Sulis tidak menyukai keluarga gue. Tapi siapa tidak peduli?
Sepeninggal nenek Sulis. Tiba-tiba ada suara langkah menuruni tangga. Seorang pria gemuk pendek dan pria kurus tinggi mendekati kami sambil meneliti.
"Son and the slut," ucap pria gemuk pendek.
"Yeah, they've come," ujar pria kurus tinggi.
Hampir berdiri kalau Mak Salmah tidak menahan tangan gue. Mama menatap prihatin. sKak Aryati sepertinya mendinginkan Bang Jaya yang sama murkanya.
"Whore you often seek?" Mak Salmah berkata sambil tersenyum. "I often see you in the hometown of heaven." Ia menambahkan dengan tatapan tajam kepada dua pria berbeda tinggi itu.
Semua terkejut, ini Mak Salmah kerasukan apa? Gue akhirnya ikut tersenyum melihat dua pria seperti angka sepuluh itu memerah mukanya. Tidak ada yang menyangka ia bisa berbicara memojokkan seperti itu.
"Ayo semua ke ruang makan!" ucap nenek Sulis yang tiba-tiba hadir memecah ketegangan kami.
Ketika sampai di ruang makan, disana telah ada dua orang wanita yang gue perkirakan isteri dari pria kurang ajar yang menghina Mak Salmah. Dan dua perempuan muda yang pasti anak mereka, dari pakaian mereka yang glamor, sepertinya mereka adalah para sosialita. Terlihat berlebihan makan dengan keluarga seperti mau makan di resto mewah. Semua terdiam sambil sesekali saling memandang sekilas dan tersenyum palsu.
"Aku mengumpulkan kalian untuk mengenalkan Damar Jati Diwangkara, cucu ku satu-satunya dan juga pewaris Diwangkara," ucap nenek Sulis datar.
Semua diam dan menatap nenek Sulis. Gue akui kalau orang-orang disini sangat pintar mengendalikan diri. Sudah mendapat peringatan dari Om Utoro tentang pertemuan ini sehingga apapun yang nenek Sulis bicarakan sudah diantisipasi.
"Jadi Damar, Oma mau, kamu tinggal disini karena ini juga rumah mu!" ucap nenek Sulis pelan.
Benar kata Om Utoro bahwa nenek Sulis meminta tinggal di kediaman Diwangkara, gue hanya tersenyum menanggapinya. Terlihat tatapan semua keluarga yang menanti dengan was-was. Mereka harusnya tidak cemas.
"Nenek Sulis," ucap gue pelan.
"Oma Sulis!" ujar nenek Sulis. Apa bedanya coba? Tetap saja artinya nini-nini.
"Damar tetap tinggal di rumah Abah," ucap gue mantap.
"Kamu itu cucu satu-satunya keluarga Diwangkara, apa kata orang kalau kamu tinggal di luar?" tanya nenek Sulis.
"Abah dulu juga tinggal disana, kenapa Damar tidak boleh tinggal disana?" ucap gue.
"Oma kalau kangen harus pulang pergi kesana?" ujar nenek Sulis.
"Nenek bisa menginap, memangnya waktu masih ada Abah tidak pernah menginap?" tanya gue polos.
"Kamu tidak bisa tinggal disini saja, tidak ada yang meminta mu untuk menolak ku bukan?"
Gue mengernyitkan dahi, maksud nenek Sulis apa? Ada yang meminta, maksudnya mempengaruhi? Kenapa pemikirannya sampai ke sana?
"Gue hanya Maknya yang melahirkannya, waktu kecil tentu sekuat tenaga harus gue yang mengasuhnya, sekarang dia bisa menentukan sikapnya sendiri," ucap Mak Salmah tiba-tiba. Gue terkejut dengan ucapannya, dalam nada suaranya terlihat dia marah.
"Jadi bagaimana Dam?" Nenek Sulis tidak menanggapi omongan Mak Salmah. Gue menghela napas, kenapa jadi rebutan seperti ini?
"Damar memiliki keluarga yaitu Mak Salmah, Mama Setyawati, Bang Jaya dan Kak Aryati, maka nenek Sulis harus menerima mereka bila menginginkan Damar!"
"Jadi kamu tidak mau tinggal disini?" tanya nenek Sulis.
"Untuk saat ini tidak, kalau nenek Sulis tidak keberatan, Damar lebih suka tinggal di rumah Abah," ucap gue.
"Terserah kalau begitu." Nenek Sulis berkata datar sepertinya kecewa berat. Suasana kembali hening sampai nenek Sulis membuka suara yang membuat gue terkejut.
"Kamu sudah punya pacar?" tanya nenek Sulis.
"Kenapa nenek tanya itu?"
"Pasti belum, aku akan menjodohkan mu dengan cucu keponakan ku!" ujar nenek Sulis.
Tidak percaya dengan apa yang baru saja diutarakan nenek Sulis. Mak Salmah tampak gusar menatap gue. Mama menoleh khawatir, sedang Bang Jaya dan Kak Aryati memandang was-was.
"Aku mau Oma." Gadis di seberang gue bersuara dengan ulasan senyum di bibirnya. Sepertinya harus meluruskan semuanya sebelum tambah kacau.
"Nenek Sulis, Damar kemari karena nenek berjanji menerima keluarga Damar dan tidak mencampuri urusan Damar, lalu ini apa?" tanya gue serius.
"Oma tidak ingin kamu sembarangan pilih kekasih," ujar nenek Sulis.
Gue berdiri dan diikuti keluarga yang lain, membuat nenek Sulis ikut berdiri dengan wajah pias. "Baiklah terserah apa mau mu, asal kamu bisa menunggu sampai pengacara keluarga Diwangkara datang!" ucap nenek Sulis cepat.
Gue akhirnya duduk kembali yang diikuti yang lain. Nenek Sulis tidak bersuara lagi. Makan malam ini terasa hambar karena keheningannya.
Kami kembali ke ruang tamu setelah selesai makan malam yang dingin tanpa kehangatan yang disebut keluarga. Disana sudah ada pengacara keluarga Diwangkara yang siap membuka surat wasiat. Gue mengambil ponsel gue yang bergetar, membaca pesan yang masuk dan membalasnya.
"Nenek Sulis, pengacara Abah ada diluar, Damar yang memintanya datang," ucap gue sebelum pengacara keluarga Diwangkara membuka suara.
Akhirnya nenek Sulis menelepon satpam gerbang depan untuk memberi masuk pada Om Utoro. Beberapa saat kemudian, Om Utoro sudah bergabung dengan kami, mendengarkan semua perkataan pengacara keluarga Diwangkara. Semua yang diucapakan pengacara keluarga Diwangkara hampir sama yang dibicarakan Om Utoro tempo hari. Tentang pengalihan semua kepemilikan usaha keluarga Diwangkara atas nama gue, tampaknya semua juga berpikir kesana sehingga ucapan pengacara keluarga Diwangkara ditanggapi dengan biasa saja.
Gue tahu kalau gadis yang mengajukan diri untuk dijodohkan tampak dari tadi mencuri pandang. Bukannya gue geer tapi itu sangat menyolok, kadang lama ia menatap. Malah tidak suka dengan tingkah gadis seperti itu.
Ternyata bukan mata gadis itu saja tetapi ada sepasang mata lain yang melakukan hal sama. Mata Om Utoro yang memandang sekilas-sekilas, tentu bukan ke arah gue tetapi ke arah Mak Salmah. Awas saja nanti konsentrasi hilang sehingga apa yang disampaikan pengacara keluarga Diwangkara kelewatan dan berimbas pada kebijakan Om Utoro memberi masukan ke gue.
"Bagaimana Damar, apa kamu setuju semua yang disampaikan pengacara?" tanya nenek Sulis akhirnya setelah pengacara keluarga Diwangkara selesai.
Sebenarnya setuju namun gue juga butuh saran Om Utoro, menoleh dan mendapati ia mengangguk mengiyakan. "Damar setuju."
Mulai detik ini gue adalah pewaris Diwangkara. Tentu dengan konsekuensi menambah kepala berasap karena mengurusi hotel - hotel dibawah Diwangkara Group. Semua tindakan pasti ada resikonya, bukan?