Lebih banyak diam pagi ini karena telepon dari nenek, ibu dari Abah kemarin sore. Ia ingin bertemu di rumah keluarga Diwangkara. Hati sepertinya belum siap bersua dengan keluarga besar Abah. Tapi nenek ingin gue kesana sore ini, atau ia akan datang kemari, aneh benar sifat nenek satu itu, tukang paksa.
"Dam, kamu kenapa Nak?" Suara lembut Mama Setyawati membuat gue menengadahkan wajah. Berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kegundahan.
"Tidak apa - apa Ma," ucap gue pelan.
"Lu dari tadi makanan di pandangi, nggak suka roti, mau Mak bikinan apa?" ujar Mak Salmah ikut bersuara.
Melihat semua orang di ruang ini memandangi gue. Baru tersadar kalau menjadi pusat perhatian, pasti karena tingkah aneh ini. Membuat apa yang akan tersampaikan meragu untuk terucap.
"Apakah semuanya nanti sore ada waktu?" tanya gue pelan.
"Mak kan nggak punya kerjaan, ada pasti waktu," ucap Mak Salmah.
"Ada apa Dam?" tanya Bang Jaya yang mulai aktif kerja belakangan ini.
"Gue ajak kalian ke rumah besar keluarga Diwangkara," kata gue hati-hati.
Semua terdiam menatap gue. Keheningan ini menyiksa, bingung mau mulai dari mana. Menghela napas sebelum mengeluarkan isi kepala, dengan was-was mulai bicara. "Kalian semua keluarga Damar, jadi jika nenek, maksudnya Ibu dari Abah, mau menerima Damar sebagai cucunya, maka harus menerima kalian semua sebagai keluarga juga!"
"Damar, Mama dan Abang mu sudah cukup kamu akui sebagai keluarga, kami tidak rakus akan pengakuan," ujar Mama lembut. Bagaimana menantu sah dan orang sebaik Mama dibuang dari keluarga Diwangkara, sepertinya memang harus gue yang bisa membuat perubahan.
"Jadi bisa temani Damar buat ke rumah itu?" ucap gue pelan.
"Abang akan temani, lu tenang saja Dam!" ujar Bang Jaya sambil mengulas senyuman.
"Terima kasih, Bang Jaya," ucap gue tulus.
"Mak juga akan menemani lu," Ujar Mak Salmah semangat.
Menoleh ke Mama Setyawati dan beliau menganggukkan kepala, ketika gue menatap Kak Aryati yang pagi ini tambah cantik dan membuat hilang fokus. Bang Jaya tiba-tiba merangkul pundaknya, ia menoleh karena terkejut dengan ulah spontan suaminya itu.
"Isteri cantik Abang tentu ikut, Dam," kata Bang Jaya dengan seringai jahilnya. Gue mencibir, apa Abang Jaya nggak berpikir untuk menjadikan Kak Aryati isteri sesungguhnya?
"Pamer," ucap gue sambil mendengus.
"Lu iri Dam, ya sudah ngomong sama Mak, cewek mana yang ingin lu lamar?" ujar Mak Salmah antusias.
Gue langsung melotot ke arah Bang Jaya. Gara-gara dia Mak Salmah jadi salah tangkap. Bang Jaya menatap gue meminta maaf dengan gerakan bibirnya tanpa suara.
"Apaan lamar, gue belum ada calon, Mak," ucap gue kesal.
"Makanya cari, asal dianya baik, Mak setuju-setuju aja, ya kan Mbak?" ujar Mak Salmah.
"Iya, Mama setuju dengan Dik Salmah," ucap Mama lembut.
"Apalagi yang seperti Nak Aryati, Mak lebih dari setuju," ujar Mak Salmah tersenyum simpul.
Untung gue nggak jadi minum. Bisa tersedak kalau mendengar Mak Salmah menginginkan menantu seperti Kak Aryati. Kalau saja ia tahu masalahnya, apa ia akan setuju?
"Mak Salmah apa-apaan minta menantu seperti Kak Aryati? Nggak ada, ia cuma satu-satunya di dunia, jangan aneh-aneh!" ucap gue sewot.
"Adain dong Dam!" ujar Mak Salmah aneh.
"Apaan sih? Nggak jelas!" ucap gue tambah kesal.
"Damar, kok ngomongnya begitu sama Dik Salmah?" kata Mama lembut.
"Maaf," ucap gue pelan.
"Giliran sama Mbak Setyawati, lu lembut," ujar Mak Salmah pura-pura tidak terima.
Gue dan Bang Jaya tertawa, memeluk pundak Mak Salmah sebentar. Pagi ini begitu indah buat keluarga kami. Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah kami, entah sore ini.
***************************************************************************************************
Seperti yang kami sepakati tadi pagi. Gue ditemani keluarga menuju kediaman Diwangkara. Mereka harus tahu kalau Damar Jati Diwangkara punya keluarga sendiri.
Mobil yang gue kendarai sepi, kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Bang Jaya yang tampak tenang seperti biasa. Ketiga wanita di belakang sebenarnya gelisah walaupun tidak begitu kentara.
Gue jadi sopir karena Bang Jaya tidak diijinkan Mak Salmah buat menyetir. Anaknya siapa coba? Sudahlah terima nasib!
"Bang Jaya pernah ke rumah keluarga Diwangkara?" tanya gue memecah kesunyian.
"Beberapa kali," ujar Bang Jaya pelan.
"Kalau nenek Sulis itu orangnya seperti apa?" tanya gue hati-hati.
Bang Jaya tidak langsung menjawab, walaupun gue tahu sedikit dari cerita Mak Salmah. Insiden penamparan pipi gue tempo hari, membuat punya sedikit bayangan karakter nenek Sulis. "Orangnya sangat keras Dam, tidak suka dibantah, bahkan Papa Danang suka menghela napas kalau menghadapi Ibu Sulis."
Gue menoleh sebentar ke Bang Jaya, separah itu nenek Sulis? Akan seperti itu juga sama gue? Tidak terbayangkan yang akan terjadi ke depannya.
"Kok Bang Jaya nggak manggil Oma ke nenek Sulis?" tanya gue penasaran.
"Gue bukan keturunan Diwangkara kalau lu ingat Dam, dari dulu gue nggak boleh manggil dia nenek, Oma atau semacamnya," ucap Bang Jaya sambil tersenyum.
Senyum Bang Jaya terlihat getir. Nenek Sulis harus diberi pelajaran. Posisi tawar gue sekarang sedang tinggi, bukan jahat namun gue mau keluarga Diwangkara menjadi baik dalam artian saling menghormati.
"Lu harus hati-hati dengan keponakan Ibu Sulis, mereka itu adalah penjilat nomor satu!" ucap Bang Jaya.
"Jaya!" seru Mama Setyawati dari belakang.
"Jaya hanya ingin Damar hati-hati, Ma!" ucap Bang Jaya pelan.
"Tidak apa-apa Ma, Damar ingin tahu semuanya, apapun yang berhubungan dengan keluarga Diwangkara!" ujar gue menenangkan Mama Setyawati.
"Isteri mereka juga sama-sama parahnya, belum lagi anak mereka yang menyusahkan," ucap Bang Jaya sambil menggeleng.
"Jaya dimusuhi mereka, karena Bang Danang tidak mau menjodohkannya dengan salah satu anak mereka," kata Mama Setyawati.
Gue melihat ke kaca spion atas untuk melihat wajah Mama Setyawati sebentar.
"Apalagi ketika Abang menikahi Aryati, mereka tambah memusuhi Abang dan Mama, bahkan Aryati dianggap debu tidak kasat mata," ucap Bang Jaya kesal.
Gue mencengkeram kemudi begitu kuat. Sehebat apa mereka sampai melakukan hal itu. Kalau memang mereka hanya saudara jauh keluarga Diwangkara, kenapa ikut campur terlalu jauh?
"Mereka menghina Mama yang tidak bisa punya anak," ucap Bang Jaya emosi.
"Jaya, sudah!" ujar Mama Setyawati memperingati.
Baru kali ini gue melihat Bang Jaya tampak emosi. Mama Setyawati tampak gusar. Mak Salmah mengelus punggungnya menenangkan.
"Kalau mereka menghina gue tidak masalah, tapi jangan wanita yang telah merawat gue sampai sebesar ini!" ucap Bang Jaya lagi.
Melihat semua tersakiti oleh keluarganya sendiri membuat ikut merasa juga. Keluarga seharusnya menjaga dan melindungi mereka. Gue berjanji untuk meluruskan semua dan menempatkan segalanya pada tempatnya.
"Abang tenang saja, kalau mereka tidak menerima Mak Salmah, Mama, Abang dan Kak Aryati, Damar tidak akan menjadi bagian keluarga Diwangkara," ujar gue mantap.
"Dam, lu adalah Diwangkara, tidak bisa lu pungkiri fakta itu, beda dengan kami," ucap Bang Jaya.
"Gue tahu Bang, tapi keluarga gue yang sejati ada di dalam mobil ini sekarang, kalau mau mereka yang masuk keluarga kita bukan sebaliknya," ujar gue. "Dalam hal ini, keluarga Diwangkara butuh kita, jadi mereka yang harus mengalah!"
"Ibu Sulis itu wanita keras dan susah diluluhkan, Mama khawatir Dam," ucap Mama.
"Jangan salah Ma, ia juga kesepian," ujar gue tenang.
"Bagaimana lu tahu, Dam?" kata Mak Salmah ikut bicara.
"Kalau benar kata Om Utoro, berarti selama ini Nenek Sulis kesepian, ia tidak percaya kepada keponakannya sama sekali," ujar gue.
"Maksud lu?" sambar Mak Salmah.
Gue menghela napas, ini nggak Mak atau Om Utoro sama-sama malu-malu kucing. Kalau mendengar nama salah satunya pasti terlalu over antusias, malesin. "Sebelum kita kemari, Damar sudah meminta Om Utoro untuk mencari sesuatu tentang Nenek Sulis."
Bang Jaya menoleh, menautkan kedua alisnya memperhatikan gue dengan seksama. "Lu mencari tahu tentang Ibu Sulis?" tanyanya tidak percaya. Gue hanya mengangguk pelan, tidak ada salahnya bukan buat tetap waspada?
"Om Utoro gue minta mencari tahu tentang keluarga Diwangkara, tentang segalanya sampai bisnisnya yang di luar pulau," ujar gue pelan. Bang Jaya melebarkan mata, menatap tidak percaya.
"Mereka pasti mengetahui bila lu mencari tahu tentang Ibu Sulis," ucap Bang Jaya.
"Gue tahu, memang itu yang gue mau, agar Nenek Sulis tidak sewenang-wenang terhadap keluarga kita," ujar gue.
Bang Jaya menatap sambil tersenyum ketika gue menoleh sebentar. Ia tampaknya percaya dengan semua langkah yang diambil. "Gue nggak tahu harus bilang apa, lu memang Diwangkara, Papa sering bercerita kalau kakek itu orangnya sangat keras pada diri sendiri, seperti lu, Dam," ucap Bang Jaya sambil terkekeh dan menggeleng.
"Bukannya lu bilang gue seperti Abah?" tanya gue bingung.
"Wajah lu seperti Papa tapi sifat lu beda, tanya Mama sama Ibu Salmah, ya kan Ma, Mak?" ucap Bang Jaya.
"Mama yang mengenal sebentar Papa Diwangkara, Damar memang lebih mirip kakeknya," ucap Mama Setyawati lembut.
"Kalau dari cerita Bang Danang memang lu lebih mirip kakek lu, Dam," ujar Mak Salmah menambahi.
"Memang Mak Salmah pernah ketemu dengan Kakek Diwangkara?" tanya gue.
"Ya nggak, ketemu Mbak Setyawati saja baru sekarang," ujar Mak Salmah.
"Kok bisa menyimpulkan begitu?" tanya gue lagi.
"Damar, Mama dan Dik Salmah lumayan lama hidup dengan Abah mu, jadi kamu tidak mirip sama sekali dengannya," ucap Mama.
"Kenapa, lu menyesal tidak mirip Abah lu?" tanya Mak Salmah.
"Jadi nggak bisa kawin dua kali, nggak mirip sih," gumam gue lirih.
Plak.
"Kenapa kepala gue dikeplak Mak?" gerutu gue tidak terima.
"Awas saja kalau lu menjelekkan Bang Danang, kalau lu kawin dua kali, jangan panggil gue, Mak!" ancam Mak Salmah.
"Bercanda kali Mak, satu saja belum dapat," ucap gue.
"Nggak usah aneh-aneh! Lihat ke depan!" ujar Mak Salmah.
Akhirnya gue diam, apalagi kediaman keluarga Diwangkara tidak jauh lagi. Semua terdiam dengan pemikiran masing-masing lagi. Semoga di sana nanti, kami bisa menghadapi bersama masalahnya, sebesar ataupun serumit apapun itu.