Gue yang malas terlibat pembicaraan lebih panjang dengan Bang Jaya, lebih memilih pergi. Bukannya lari dari masalah, tetapi debat kusir yang tidak akan ada titik temu buat apa? Ia dengan ide gilanya dan gue tentu saja dengan prinsip yang kokoh tak tergoyahkan, bicara apa gue?
Kaki melangkah ke lantai atas, dengan malas memijak satu demi satu tangga rumah dengan pikiran kusut. Saat menyusuri lorong menuju kamar, terlihat Kak Aryati sedang menuju kamarnya juga. Entah pikiran dari mana, gue mempercepat langkah menuju Kak Aryati.
Membekap mulut Kak Aryati dan mendorong tubuhnya ke dalam kamar. Menutup pintu dengan kaki sedang ia terus meronta. Aksi perlawanannya yang membuat gue menjerit tertahan adalah gigitan kuat di tangan.
"Aaakhhh, i-ni-gu-e-Da-mar," ucapan gue tergagap menahan sakit. Setelah terlepas dari gigitan kuat Kak Aryati, mengibas tangan sambil berjalan mondar mandir menahan sakit. "Aduh, gigitannya kuat sekali."
"Sakit Dam? Kamu sih pakai acara bekap mulut segala jadi Kakak reflek," ujar Kak Aryati penuh sesal.
"Bukan sakit lagi, hampir putus tangan gue," agak lebay tapi memang sakit sekali gigitannya. Kak Aryati lalu mengambil tangan kiri gue yang lumayan lecet dan meniup - niup, memang ngaruh? Bibir yang maju meniup tangan membuat hilang fokus, kenapa juga itu bibir malah tambah seksi begitu, apa setiap cewek bibirnya tambah seksi bila dimonyongkan begitu?
"Masih sakit?" tanya Kak Aryati sambil menengadah.
Tinggi gue yang hampir sama dengan Bang Jaya membuat Kak Aryati yang lebih pendek terpaksa mendongak. Sial, kenapa malam ini ia semakin cantik. Bobol keimanan kalau sedekat ini dengannya, hanya bisa meneguk saliva yang terasa susah di tenggorokan.
"Dam, Dam, kok malah ngelamun?" ucap Kak Aryati.
Buyar sudah pikiran ngelantur yang ada di kepala, dengan cengiran berusaha meredam dada yang dengan kurang ajar berdegup keras. "Kak Aryati tadi ngomong apa?" tanya gue salah tingkah.
"Kamu sudah makan?" tanya Kak Aryati.
"Hah?"
Tiba-tiba Kak Aryati mencubit perut gue yang lumayan terbentuk karena selalu dipaksa Bang Jaya untuk olah raga. Rutinitas ngegym tampaknya menunjukkan hasil. "Aduh Kak Aryati, sakit nih!" Gue berpura-pura kesakitan. Kak Aryati mencibir, dia pasti tahu itu hanya pura-pura.
"Mana ada perut keras begitu sakit dicubit?" ucap Kak Aryati.
Gue malah tambah menyengir, mendengar ucapan spontannya. "Kak Aryati mencubit perut karena ingin memastikan seberapa keras perut gue?" Mukanya langsung memerah, ia lalu memalingkan wajahnya, sedang wajah ini tersenyum puas.
"Masih sakit tangannya, apa perlu Kakak ambilkan obat merah di bawah?" ucap Kak Aryati setelah menguasai diri.
"Gue kira, Kakak akan nanya sudah makan belum?" ujar gue polos.
"Kamu sih, ngelamun dari tadi, Kakak nanya, diam nggak jawab," ucap Kak Aryati.
"Masih sakit tapi lumayan sudah nggak separah tadi," ujar gue santai.
"Kenapa kamu pakai acara bekap mulut Kakak?" ucap Kak Aryati.
Tangan yang masih nyut-nyutan membuat pandangan gue kearah tangan. Ada bekas gigitan di sana dan bekas bibir di sana. "Auwww," teriak gue karena Kak Aryati memukul tangan gue.
"Kamu ngalamunin apa sih, Dam, diajak ngomong nggak fokus?" ucap Kak Aryati sebal.
"Ngelamunin Kakak," ujar gue asal.
"Apaan sih? nggak lucu tahu," ucap Kak Aryati sembari menunduk.
"Gue anak pelacur, apa yang wanita terhormat seperti lu harap dari gue?" ujar gue menatap lurus ke arahnya.
Kak Aryati mendongak, menatap dengan mata berkaca-kaca. "Keluar dari kamar ku!" seru Kak Aryati. Gue melihat di matanya yang indah itu, kesedihan dan kemarahan yang menjadi satu dalam tatapan tajamnya.
"Kak Aryati?" ucap gue tidak percaya dengan pengusiran ini.
"Kakak sedih, kamu tidak menghormati Mak Salmah yang melahirkan kamu, dan Kakak marah, karena kamu tidak bangga dengan diri kamu," ucap Kak Aryati.
Gue masih terpaku di tempat, tidak bisa melakukan apa-apa. Kak Aryati lalu berjalan ke pintu, sebelum membuka pintu dia berhenti. "Tidak perlu menggantung rasa, seolah kamu suka dengan ku, tapi kamu rendah diri dengan dalih masa lalu mu," ucapnya tanpa menoleh.
"Kak Aryati, gue cuma...."
"Suka ya suka, tidak ya tidak, jangan ada alasan, karena rasa suka yang tumbuh itu tidak butuh alasan, keluar dari kamar ku!" ucap Kak Aryati. Gue akhirnya terpaksa pergi darinya dengan rasa bersalah. Bersandar pada pintu yang telah ditutup, memejamkan mata, kenapa semua malah bertambah rumit?
Mungkin karena memejamkan mata sehingga isakan pelan dari dalam kamar Kak Aryati terdengar. Hampir saja mau mengetuk pintu tapi kesadaran itu timbul, apa yang akan gue katakan padanya? Dengan berat hati kaki melangkah menjauh, berlama-lama di depan kamarnya membuat tambah merasa bersalah.
Di dalam kamar sendiri bukannya tenang namun perasaan tambah tidak karuan. Gue membolak balik badan gelisah, berguling ke kanan dan kiri tidak jelas. Merasa jahat dengan Kak Aryati namun kalau mengiyakan permintaan Bang Jaya seperti mengamini bahwa sebentar lagi ia akan pergi selamanya.
Duduk sambil mengacak rambut, frustasi sedang melanda, melihat ranjang bagai kapal pecah seperti kusut melanda otak gue. Entah sampai kapan keadaan ini akan berlangsung. Ternyata sudah pagi tanpa sadar, hanya bisa menghela napas.
Segera ke kamar mandi, mungkin dengan beribadah bisa meredam kegalauan hati. Memang gue bukan manusia suci tapi paling tidak ingat Tuhannya. Agak bernapas lega setelah beribadah ternyata pikiran lumayan jernih, berdoa membuat semua tampak ringan walau tidak hilang seketika permasalahan. Harus segera cari solusinya karena ini menyangkut hati manusia yang suka berubah tidak terkendali.
Membuka baju ibadah dan merapikannya di tempatnya. Gue mengganti dengan baju buat gawe, kerja maksudnya kalau tidak tahu. Perlahan berjalan menuju pintu keluar, menuruni tangga dan menuju ruang makan.
Di sana sudah duduk Bang Jaya, sedang dua ibu peri tampak sibuk. Tersenyum membayangkan Mama dan Mak Salmah jadi ibu peri, kalau Mama mungkin pantas karena lembut, Mak Salmah apa pantas jadi ibu peri? Galak, memang ada ibu peri galak?
"Dam, lu pagi-pagi sudah senyam senyum nggak jelas, perasaan rumah ini nggak ada hantunya," ucap Bang Jaya.
Buyar sudah khayalan tentang ibu peri. Gue duduk seperti tadi malam, di seberang Bang Jaya. "Indah ya Bang pagi ini? Kita dilayani dua wanita cantik," ujar gue masih tersenyum.
"Lu pasti ada maunya kalau muji Mak," ucap Mak Salmah dari arah dapur.
"Tahu saja Mak, bisa buatkan kopi hitam untuk gue?" ujar gue sok melas.
"Pagi-pagi kopi nanti asam lambung naik," ucap Bang Jaya.
"Kalau kopi instant plus-plus mungkin iya Bang, kata teman yang pernah ke dokter karena sakit lambung," ujar gue santai.
"Memang ada bedanya kopi instan atau tidak?" tanya Bang Jaya.
"Kata teman, justru tidak bagus kopi putih, coklat, pokoknya kopi berwarna, lebih baik kopi campur susu tapi bukan instan, benar tidaknya gue sih sampai saat ini baik-baik saja tanpa kopi instan pagi hari," ujar gue panjang lebar.
"Maaf kalau permintaan gue tadi malam membuat lu susah tidur?" ucap Bang Jaya pelan hampir berbisik.
Bang Jaya lalu menunjuk mata, ia membuat lingkaran jari di depan matanya, gue paham dengan isyaratnya. "Bukan itu, hanya tidak biasa tidur di kamar yang baru, Abang tenang saja nanti juga biasa!" ujar gue beralasan agar ia tidak merasa bersalah.
"Pagi semua!"
Suara merdu namun agak serak Kak Aryati membuat tubuh gue menegang sejenak. Berusaha tidak melihat kedatangannya adalah hal yang sulit. Apalagi obrolan kami tadi malam masih tergiang.
"Abang kira kamu tidak kerja Aryati, cape ya ngurus panti dan resto?" ucap Bang Jaya.
"Biasa saja, aku hanya sedang tidak enak badan," kata Kak Aryati pelan.
"Kalau sakit di rumah saja, kamu pasti juga kecapean ngurus aku selama sakit," ucap Bang Jaya.
Gue berusaha menulikan pendengaran, pembicaraan suami isteri di atas kertas di depan membuat perasaan jadi tidak nyaman. Mungkin perkawinan mereka sah secara agama dan hukum namun dengan adanya fakta tadi malam, apakah mereka mempermainkan sebuah perkawinan? Malas berpikir kesana.
"Pagi!"
Akhirnya gue mendongak mendengar suara Gembor, dan sangat terkejut melihat penampakan awut-awutannya. "Lu mandi atau cuci muka sana Gembor, tampang lu menjijikkan begitu!" ujar gue bergidik. Gembor yang sewot mengeloyor ke dapur, mau apa dia?
"Nih sudah cuci muka, puas lu!" ucap Gembor tiba-tiba.
"Gembor, kapan joroknya hilang?" tanya Mak Salmah.
Mama dan Mak Salmah serta seorang asisten rumah tangga membawa makanan ke arah kami. "Memang kenapa Mak?" tanya gue heran.
"Gembor cuci muka di tempat cuci piring," ucap Mak Salmah sebal.
Gue melongo kemudian menatap nista Gembor, sedang yang bersangkutan cuek, tidak peduli. "Sudah Dik Salmah, ayo-ayo sarapan!" ucap Mama Setyawati lembut. Bang Jaya tersenyum melihat tingkah Gembor sedang Kak Aryati menunduk tidak kelihatan ekspresinya.
"Dam, mata lu kenapa? Nggak bisa tidur, kangen pelukan gue?" tanya Gembor sambil menaik turunkan alisnya.
"Mending gue tidur dengan gajah dari pada tidur dengan lu?" ucap gue santai.
"Lu belum tahu pelukan gue saja," ujar Gembor cengengesan.
"Pelukan lu bikin mau mati waktu itu, heran gue, bagaimana nanti kalau punya bini?" ucap gue sinis.
"Ya disayang, dielus, dimanja, diraba, diew....." ucap Gembor terpotong.
Gue mau tertawa karena Mak Salmah menjejalkan ayam goreng ke mulut Gembor dengan murka. "Sarapan yang benar, jangan ngoceh yang nggak-nggak!" ucap Mak Salmah melotot.
"Mata kamu kenapa Aryati kok bengkak, kamu tidak habis menangis semalaman kan?" tanya Mama.
Seketika ruang makan menjadi hening. Kami menjadi korban tatapan penasaran semua orang. Gue dengan mata panda dan Kak Aryati dengan mata bengkaknya, lengkap sudah.