Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 11 - Bab 11 Satu Atap

Chapter 11 - Bab 11 Satu Atap

Setelah gue terus dan terus bergerilya meyakinkan Mak Salmah untuk tinggal di rumah Bang Jaya, akhirnya luluh juga. Sebenarnya ia merasa sungkan serta malu sebagai orang ketiga dalam rumah tangga Abah dan Mama Setyawati. Padahal sudah berulang diomong kalau Mama Setyawati menerima semuanya.

Begitu gue telepon Mama Setyawati bahwa Mak Salmah bersedia tinggal bersama di rumahnya. Hari ini datang orang-orang suruhan Mama Setyawati membereskan barang kami. Tampaknya Mama Setyawati takut Mak Salmah berubah pikiran.

Kemarin meminta Gembor ikut mengantar kepindahan. Saat ini bersama Mak Salmah dan Gembor sedang menuju rumah Bang Jaya, dengan gue sebagai sopir tentu saja. Gembor bilang hanya menemani jadi wajar dia duduk manis sebagai penumpang katanya.

Apa Gembor tidak tahu gue capek beres-beres. Seperti biasa ia datang ketika akan pergi, melirik kesal ke arah Gembor yang duduk santai di samping. Berasa bos mau jalan - jalan kali si Gembor, gue seperti kacung yang menyetiri tuannya.

"Dam, apa nggak jadi saja, balik saja yuk!" ucap Mak Salmah tiba-tiba. Kekesalan gue ke Gembor sedikit tertunda mendengar Mak Salmah merajuk.

"Mak Salmah nggak sayang Bang Jaya?" ujar gue pelan.

"Sayanglah Dam, nggak perlu diragukan lagi," jawab Mak Salmah mantap.

"Terus kenapa goyah lagi?" tanya gue.

Jurus maut gue untuk menaklukkan hati Mak Salmah cuma satu, rasa sayang kepada Bang Jaya, iri sebenarnya, berasa anak tiri.

"Disana ada Mbak Setyawati?" gumam Mak Salmah.

"Adalah Mak Salmah, itukan rumahnya juga, bagaimana sih?" ucap gue.

"Gue malu Dam, secara gue kan apa kata anak sekarang, pelakor ya?" ucap Mak Salmah.

"Enak saja, nggak ada istilah itu dalam diri Mak Salmah, Mak itu isteri kedua dari Abah," terang gue nggak setuju dengan pemikiran Mak Salmah.

"Sama saja Dam, gue membuat Mbak Setyawati sakit hati," ujar Mak Salmah.

"Memang Mak Salmah pernah nanya ke Mama Setyawati?" tanya gue.

"Ya belum dan nggak mungkin berani, tunggu, sejak kapan lu manggil Mbak Setyawati dengan Mama?" ucap Mak Salmah curiga. Keceplosan gue, Mak Salmah bisa-bisa ngambek kalau tahu gue bersekongkol agar ia mau pindah ke rumah Bang Jaya.

"Kalau Mak Salmah nggak godain Abahnya Damar dan dikawinin nggak bakalan ada Damar, Mak," ucap Gembor santai.

Plak.

"Aduh, kenapa kepala gue dikeplak, Mak?" seru Gembor.

Gue tersenyum, salah sendiri asal ngomong depan Mak Salmah, rasain, kata gue dalam hati. Dengan Gembor ikut ngomong jadi ada yang lupa dengan pertanyaan tadi. "Sembarangan gue godain Bang Danang, gue nikah ya bukan kawin seperti lu," ucap Mak Salmah keki.

"Kalau nggak kawin nggak ada Damar, ya kan Mak?" ucap Gembor tertawa.

Cari mati sepertinya Gembor, seketika Mak Salmah menarik rambut Gembor kuat - kuat hingga Gembor teriak keras. "Mak Salmah, sakittttttt!" teriak Gembor. Gue saja yang belum pernah direnggut rambutnya oleh Mak Salmah seperti itu berasa ngilu, apalagi melihat wajah merah padam Gembor.

"Lu mau sampai kapan mau rusak, jangan dikira gue nggak tahu lu suka dipakai sama si May?" ucap Mak Salmah galak.

"Mak yang ada, gue yang pakai dia, bukan sebaliknya," jawab Gembor sambil mengelus kepala sambil meringis.

"Mau gue rontokin itu rambut?" ucap Mak Salmah ketus.

"Jangan Mak, sakit tahu, kalau gue botak nanti dikira PK lagi!" ujar Gembor memohon. Gue tertawa, memang ada korelasi kepala botak dengan PK, ada - asa saja. "Lu boleh tinggal di kampung Surga asal jangan merusak masa depan!" ucap Mak Salmah.

Gue dan Gembor diam, mencerna perkataan Mak Salmah yang merupakan petuah. "Lu dengarkan kata mantan pelacur ini?" ucap Mak Salmah lirih. Selalu tidak suka jika Mak Salmah berkata seperti itu.

"Mak Salmah, gue nggak suka ya, omongan itu!" seru gue penuh peringatan.

"Iya, Mak Salmah tahu, tapi fakta itu tidak bisa hilang dari hidup Mak," ucap Mak Salmah. Gue diam, Gembor juga seperti kehilangan suaranya. Sampai Mak Salmah bertanya yang tadi.

"Sejak kapan lu manggil Mama?" ucap Mak Salmah pelan. Gue kira dia sudah lupa, bagaimana mau cerita? "Kemarin Mak Salmah, setelah Damar ditampar nenek sihir," ucap Gembor.

Terima kasih Gembor atas mulut embernya. Gue melotot tetapi Gembor pura - pura melihat jalan, sial memang. Ia menambah masalah, awas saja, akan gue balas.

"Nenek sihir nampar lu, siapa yang berani menganiaya anak gue?" tanya Mak Salmah marah.

Gembor, lu memperparah masalah, bagaimana in? "Namanya nenek Sulis, Mak Salmah, katanya Omanya Damar," ucap Gembor polos. Sial, gue ingin menyumpal mulut Gembor dengan sepatu saat ini juga.

"Gembor, bisa diam nggak lu?" ucap gue penuh peringatan.

"Apa lagi yang lu tahu, Gembor?" tanya Mak Salmah. Gue hanya pasrah, kenapa cerita semua pada mulut ember Gembor, lupa kalau ia selalu jujur dengan Mak Salmah. Bukan jujur sebenarnya tapi itu adalah cara menyiksa, membuat Mak Salmah mengomeli, ia akan selalu puas melihat penderitaan gue.

"Nenek sihir akan menampar tante Setyawati, sebagai anak yang baik, Damar menempatkan diri menggantikannya," ucap Gembor memulai cerita. Hancur sudah semua yang berusaha gue tutupi, agar Mak Salmah tidak ngamuk. "Kurang ajar sekali nenek tua itu, sudah bau tanah nggak tobat-tobat, heran Mak?" ucap Mak Salmah kesal.

"Mak Salmah, itu nenek Sulis mungkin khilaf," ucap gue.

"Bukan khilaf tapi sudah sifat dia yang seperti itu, bisa berubah kalau sudah mati kali, kenapa nenek tua itu ketemu lu, Dam?" ucap Mak Salmah. Apa yang harus gue jawab, pusing jadinya. "Nenek sihir itu minta Damar ke rumahnya," ucap Gembor.

"Tidak boleh!" ujar Mak Salmah cepat. Lihat bukan, Gembor memperkeruh suasana, gue hanya bisa menghela napas, capek.

"Mak Salmah, nenek Sulis perlu dihadapi bukan dihindari!" ucap gue pelan.

"Terus bisa manggil Mbak Setyawati dengan Mama?" tanya Mak Salmah. Huh, gue kira sudah lupa, ternyata masih ingat lagi. Tampaknya ia akan mencecar sampai dapat jawaban.

"Setelah Damar berjanji kepada nenek sihir akan ke rumahnya..." ucap Gembor terpotong.

"Lu janji dengan nenek tua itu, jangan panggil Mak Salmah kalau lu ke rumahnya!" ujar Mak Salmah meninggi. Gue mengusap muka ketika lampu merah setelah memberhentikan mobil, lelah menghadapi ini semua. "Gue ngomong begitu, biar nenek Sulis tidak bikin masalah di resto," ucap gue mengalah.

"Awas kalau lu kesana!" ancam Mak Salmah.

"Iya, nggak kesana," ucap gue pasrah.

"Terus ceritanya Gembor, ayo terusin!" pinta Mak Salmah. Harusnya gue yang cerita, tapi sepertinya Mak Salmah tidak akan mau dan percaya lagi cerita gue. "Tante Setyawati dan Damar ke dalam ruangan, Tante Setyawati mengelus kepala, pipi yang terkena tamparan sampai menciumnya," ucap Gembor penuh hyperbolis.

"Stop, nggak segitu lebaynya kali, Gembor, lu jadi penulis novel saja biar bisa bebas mengarang cerita!" ucap gue sewot.

"Maunya memang begitu, sayang nggak ada yang mau kasih kesempatan," ujar Gembor santai.

"Langsung dibredel itu novel dewasa lu," ucap gue sinis.

"Aduh kok tahu Abang, apa yang akan Adik tulis?" ucap Gembor sambil berbinar matanya, menjijikkan. Sejauh ini bersilat lidah yang tidak bermanfaat, Mak Salmah tetap diam, gue nggak tahu apa yang dipikirkannya.

Sampailah mobil yang kami tumpangi berhenti di rumah besar keluarga Bang Jaya. Beberapa kali mengantarnya tapi tidak pernah masuk. "Mak Salmah sudah sampai, mau masuk tidak?" tanya gue pelan.

Mobil kami suda berhenti di depan pintu gerbang, pertanyaan gue membuat Mak Salmah tersadar dari lamunan. "Ya sudah, ayo!" ucap Mak Salmah lirih. Membunyikan klakson tiga kali, satpam yang mengenali mobil gue membukakan pintu gerbang dengan remote dari dalam.

Gue memacu mobil perlahan memasuki halaman rumah. "Gile, ini rumah Bang Jaya, anjir, sekaya apa dia?" gumam Gembor sambil menggeleng kepala.

"Ini rumah Abah Danang." Gue memberhentikan mobil, bisa terlihat Mama Setyawati sudah menunggu kami di depan pintu. Mak Salmah enggan turun sepertinya walau akhirnya turun juga, Mama Setyawati segera mendekat.

Mama Setyawati memeluk Mak Salmah, ia terkejut dengan perlakuan Mama. Ia dengan kaku membalas pelukan Mak Salmah. Mereka kemudian cipika cipiki, tersenyum melihat itu semua, pasti Abah Danang senang melihat dua isterinya rukun.

"Pantas Abah lu bisa suka Mak Salmah, dibanding tante Setyawati, jelas bagusan Mak Salmah kemana-mana," bisik Gembor kurang ajar. Gue toyor kepalanya, untung kedua wanita yang gue sayangi itu sudah berjalan menjauh. Bisa berabe kalau dengar omongan sampah ini.

"Pantas Cang Burhan, Abah lu tergila-gila pada Mak Salmah," ucap gue kesal.

"Abah gue kan laki normal, wajar dia kesemsem body sexy Mak Salmah," ucap Gembor cengengesan.

Plak.

Gue keplak kepala Gembor, mulut sembarangan. "Gue tahu lu suka wanita matang, awas kalau memasukkan Mak Salmah dalam fantasi lu!" ancam gue sungguh-sungguh.

"Ya elah Dam, gue masih waras, mana yang bisa gue sukai, mana yang tidak," sungut Gembor tidak terima.

Mak Salmah menikah dengan Abah waktu Mak Samah berumur enam belas tahun, pedofil parah Abah gue, melahirkan gue di umur tujuh belas. Jadi jangan salahkan badan Mak Salmah yang memang bagus dari sananya! Cang Burhan bertahun-tahun mendambanya dan entah sejak kapan juga Om Utoro memendam rasa kepada Mak Salmah.

"Dam, lu pasti milih Om Utoro buat jadi Abah lu, ya?" tanya Gembor menatap sendu. Entah apa yang membuat ia berpikir itu. "Gue sih terserah, yang penting Mak Salmah bahagia, apalagi sepertinya nama Abah masih bertahta di hati Mak Salmah," ucap gue diplomatis.

"Tapi kalau disuruh memilih, lu pasti milih Om Utoro kan?"

"Terserah lu lah, cape gue jelasinnya!" ujar gue malas.

"Dam, ada bidadari!" seru Gembor. ia begitu terpesona dengan kehadiran Kak Aryati yang baru saja keluar dari dalam rumah. Gue seharusnya lega ketika Gembor lupa tentang pertanyaan tentang pilih memilih siapa, tapi tampaknya akan ada pertanyaan lagi.

"Dia Kak Aryati, isteri Bang Jaya," ucap gue pelan.

"Dan lu menolak bidadari secantik itu?" tanya Gembor.

Gue lelah dengan semua kemungkinan yang akan terjadi ke depan. Dan tidak menunggu lama telah terjadi. Kami seatap, gue, Mak Salmah, Mama Setyawati, Bang Jaya serta Kak Aryati, belum lagi kalau nenek Sulis ikut terlibat.