Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 10 - Bab 10 Ikut Alur

Chapter 10 - Bab 10 Ikut Alur

Melakukan rutinitas seperti biasa, menekuri kertas-kertas di meja. Gue sebenarnya heran, bagaimana orang-orang yang kerja di belakang meja tahan dengan rutinitas seperti ini? Kertas dan kertas setiap hari, membosankan.

Rasanya mau marah-marah setiap sekretaris gue, Mbak Rani menambah tumpukan kertas di meja. Walaupun ia tersenyum memberikan berkas-berkas tapi setelah gue menengok kertas-kertas itu, bawaannya mau ngamuk. Bang Jaya benar-benar membuat menderita bahkan tadi pagi dia menelepon menanyakan keadaan resto, tentu saja gue jawab baik karena tidak mau dia kepikiran resto padahal sedang sakit.

Ini si Gembor kenapa nggak datang juga, gue minta datang pagi, malah sudah jam makan siang belum datang. Janji dengannya itu harus super sabar. "Aduh Bos, rajin sekali kerjanya."

Gue melihat Gembor masuk dengan tampang polos dan cengiran di wajahnya. Gembor dengan tubuh lebar dan wajah bayinya. Kenapa begitu kuat berteman selama ini dengannya?

"Lu kan gue minta datang pagi, kenapa baru datang?" ucap gue sewot.

"Dam, sebenarnya lu minta atau nyuruh?" ujar Gembor. Memutar mata malas, kenapa omongannya membuat gue tambah kesal. Ada saja alasan untuk mengelak.

"Nyuruh, puas lu?" ucap gue.

"Woi, woi, sabar Bos, itu mata melotot nanti keluar!" ujar Gembor. Astaga, apa yang terjadi, langsung gue mengusap wajah dan mengacak rambut, frustasi. Harusnya bisa mengendalikan diri.

"Maaf, gue kelewatan."

"Lu ada masalah?" tanya Gembor.

"Banyak."

"Uuu, kasihan sahabat tampan gue, sini pelukan!" Gembor mendekat, gue langsung memasang wajah garang. Tahu semua akal bulusnya membuat gue selalu waspada.

"Lu mendekat, pulang tinggal nama!" ucap gue.

"Sadis amat Damar, gue makan dulu kalau begitu, mati boleh asal kenyang."

"Bego lu, tahu saja ada makanan," ucap gue.

"Sekretaris lu yang bilang, sebelum dia pergi, katanya lu nunggu gue buat makan siang."

"Modus, lu pasti sudah datang dari tadi, makanan sudah datang tapi lu di luar, gue curiga."

"Lu punya sekretaris cantik dianggurin, rugi tahu," ucap Gembor.

"Rese lu, awas saja macam-macam dengan Mbak Rani, suaminya sedang sakit, kasihan kalau dimodusin!" kata gue penuh peringatan. Gue akhirnya duduk di depan Gembor yang telah memporak porandakan meja dengan makanan.

Tok.

Tok.

"Masuk!" ucap gue.

Kepala juru masak resto masuk dengan membawa sepiring makanan. "Pak Damar ini menu baru yang saya ciptakan, tolong dinilai!" ucap Bang Hasan si kepala juru masak. Ketika Gembor mau mengambil makanan dengan sendoknya, Bang Hasan menjauhkannya, membuat Gembor cemberut dan gue tertawa karenanya.

"Maaf, ini khusus untuk Pak Damar," ucap Bang Hasan.

Gue mengambil makanan secukupnya dan merasakannya, makanan ini benar-benar enak. "Baiklah Bang Hasan, gue setuju dengan menu baru ini." Gue lihat Bang Hasan tersenyum lebar, tiba-tiba Gembor merebut piring di tangan Bang Hasan.

"Kelamaan, gue sudah ngiler dari tadi," ucap Gembor. Gue hanya menggelengkan kepala, sedang Bang Hasan tersenyum canggung.

"Saya permisi Pak Damar," ucap Bang Hasan.

"Bang Hasan!" kata gue sebelum Bang Hasan mencapai pintu.

"Jangan memanggil Bapak, apalagi bila berdua seperti ini!" ucap gue tegas. Bang Hasan mengacungkan dua jempolnya dan berlalu dari ruangan gue.

Gue mengalihkan pandangan pada Gembor yang begitu menikmati makanan. Selalu senang bila ada orang yang lahap dalam makannya, bukan terlihat kelaparan tapi menikmati sajian yang terhidang. Menghargai makanan istilah gue, karena di luar sana banyak yang tidak beruntung tentang makanan tentu saja.

"Kenapa menatap gue seperti itu, lu nggak suka gue makan?" tanya Gembor penuh selidik.

"Makan baru ngomong!" ucap gue pelan.

"Lu sekarang beda, biasanya santai kenapa jadi kaku sekali?" tanya Gembor.

"Gue harus menempatkan diri, nggak bisa semaunya, tapi gue tetap jadi diri gue sendiri," ucap gue sambil memasukkan makanan ke mulut.

"Itu baru Damar teman gue, beruntung gue punya teman seperti lu," ujar Gembor dengan cengiran di wajahnya.

"Makan gratis, bagaimana tidak beruntung?" ucap gue sambil menggeleng kepala.

"Yup, itu salah satunya, sering-sering saja seperti ini!" kata Gembor dengan muka ingin ditampol.

"Kenapa lu baru datang?" tanya gue.

"Biasa Mbak May," ucap Gembor. Gue menatap Gembor yang senyum-senyum nggak jelas, najis gue ngelihatnya. "Kawinin saja Mbak May!"

"Sudah dari semalam sampai tadi jam sembilan," ujar Gembor polos.

"Bukan itu maksud gue, dodol lu," ucap gue.

"Sudah nggak perlu bahas masalah percintaan gue yang selalu panas membara!" ucap Gembor dengan membusungkan dada.

"Siapa yang mau bahas, malas gue?" ujar gue sambil memutar bola mata.

"Lu ada masalah apa, sampai manggil sohib lu ini?" ujar Gembor sok serius. Gue ingin mencibir ketika dia bilang sohib, tapi memang benar ia satu-satunya teman yang paling mengerti tentang gue.

"Banyak masalah gue, Gembor?" ucap gue frustasi.

"Masalah Abang lu, yang minta lu buat ngawinin bininya?" tanya Gembor masih dengan mulut penuh.

"Kok kesannya negatif kalau lu bilang ngawinin?" ucap gue.

"Sialan lu, iya nikah," ujar Gembor sewot.

"Salah satunya," jawab gue pelan.

"Lu mau solusi dari gue?" ucap Gembor.

"Gaya lu solusi, apa coba?" tanya gue nggak yakin.

"Lu underestimate sama gue?" ucap Gembor. Gue akhirnya bisa tertawa lepas. Ia dengan serius dan cool adalah nggak banget, dalam mimpi gue yang paling ekstrim sekalipun tidak terbayang akan terjadi.

"Puas lu ketawa, mau nggak?" tanya Gembor dengan wajah ditekuk.

"Oke sorry, maaf, apa?" ucap gue berusaha untuk tidak tertawa.

"Lu nggak mau kawin, maksud gue nikah dengan bini Bang Jaya?" ucap Gembor.

Gue mengangguk, berusaha tidak tertawa dengan solusi absurd Gembor. Pasti yang tidak-tidak solusinya. Menyiapkan diri mendengarnya.

"Buat gue saja," ucap Gembor.

"Tunggu maksud lu?" tanya gue memastikan.

"Kalau lu nggak mau nikahi dia, gue saja yang nikahi dia," ucap Gembor polos.

"Sompret, anjir, mana mau dia sama lu, Abang gue juga pasti nggak rela?" Solusi Gembor memang selalu nggak perlu dipakai, gue hanya menggeleng - gelengkan kepala. Perlu digetok itu kepalanya.

"Abang lu yang nggak rela, apa lu sebenarnya yang nggak rela?" tanya Gembor menjebak.

"Apaan sih, nggak banget nanyanya?" ujar gue kesal.

"Gue temen lu, gue tahu lu suka sama kakak ipar lu."

Apa yang harus dijawab, semua selalu mengikuti alur kalau sudah begini. Diam tidak bisa menyangkal atau mengiyakan pertanyaan Gembor karena merasa tidak tahu jawabannya. Gue selalu mensugesti diri bahwa hanya sebatas kagum tapi di sisi lain atau malah suka dengan Kak Aryati.

"Bang Jaya sekarat," ucap gue lirih.

"Maksud lu?" Gembor sampai menghentikan suapannya, ia begitu tertarik dengan ucapan gue.

"Jantungnya bermasalah."

"Pantas dia ingin lu menjaga bininya," ujar Gembor.

"Ia ingin gue nikahi Kak Aryati secepatnya, gila kan?" ucap gue marah.

"Mungkin dia ingin memastikan isterinya baik-baik saja dengan lu nikahin dia," ujar Gembor.

"Tapi gue yang nggak baik-baik saja, kalau gue nikahi Kak Aryati, terus Bang Jaya mati bagaimana?" ucap gue frustasi.

"Mati ya tinggal kubur," ujar Gembor santai.

"Sialan lu ya, ini nyawa Bang Jaya, nyawa Bang Jaya, ngerti nggak sih?" ucap gue tambah kalut.

"Takdir kalau Bang Jaya mati, lu nggak rela, siapa lu?" tanya Gembor. Benar kata Gembor, siapa gue? Semua pasti pergi bila ada perjumpaan, ikut alur kehidupan, walau tidak rela tapi harus mengikuti.

"Memang nggak bisa begitu, jantungnya diganti?"

"Kalau gampang cari jantung seperti jantung ayam di pasar, gue nggak bakalan stress."

"Lu sekarang kaya, keluarga lu pasti banyak koneksi."

"Tumben pintar, jangan-jangan karena makan menu baru di resto ini."

"Dari sononya kali gue pintar," ujar Gembor sombong.

"Ya, ya, ya, nun jauh disana hingga kalau mau pintar kelamaan sampainya," kata gue.

"Sudah dapat donor?" tanya Gembor tidak menggubris sindiran. Ia kembali serius tampaknya, menanyai keadaan Bang Jaya.

"Kata Om Utoro pernah ada donor tapi masih hidup, sama saja matiin orang, Bang Jaya nggak maulah jadi pembunuh."

"Om Utoro jadian sama Mak Salmah?" tanya Gembor. Kenapa malah berganti topik? Gue menatapnya yang juga menatap lekat, bakalan rumit kalau cerita yang sebenarnya.

"Lu pikir mereka ABG, jadian, lu ada-ada saja?" kilah gue sambil tertawa terpaksa.

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan gue, mereka serius?" todong Gembor langsung. Susah ya, punya teman yang paling mengerti kita. Tidak akan mudah dibohongi, terpaksa gue harus jujur sepertinya.

"Kalau Om Utoro sepertinya serius, Mak Salmah masih susah move on dari Abah," Itu adalah jawaban terbaik yang bisa gue berikan kepala Gembor. Semoga dia tidak bertanya lebih karena nggak mau dia tersakiti, hanya bisa bernapas lega dengan keterdiaman Gembor.

"Lu harus cari donor buat Bang Jaya!" ucap Gembor.

"Pasti." Gue merasa lega karena Gembor tidak melanjutkan pertanyaan tentang Om Utoro dan Mak Salmah. Rongga dada terasa plong begitu.

"Ada masalah lagi?" tanya Gembor.

"Mamanya Bang Jaya meminta gue dan Mak Salmah untuk tinggal bersamanya," ucap gue.

"Terus masalahnya," tanya Gembor polos. Rugi gue tadi memuji Gembor pintar kalau sekarang otaknya nyangkut entah kemana. Sekarang entah kemana kepintarannya tadi.

"Mas alahnya, Mak Salmah dan Mamanya Bang Jaya kan isteri Abah, belum lagi gue seatap dengan Bang Jaya dan isterinya," ucap gue sewot.

"Itu bukan masalah gue," ujar Gembor dengan santai. Gue lempar tisu ke mukanya. Kesal dengan jawaban santainya tanpa ada rasa empati sedikitpun buat temannya ini.

"Kenapa lu marah, benar kan bukan masalah gue?" ujar Gembor.

"Lu mau, gue suruh Bang Hasan mengolah badan lu buat menu special?" tantang gue murka.

"Wait, slow man!" seru Gembor.

"Gaya lu tengik," kata gue.

"Semua masalah dihadapi bukan dihindari," ujar Gembor.

"Belum siap gue menghadapinya," kata gue lelah.

"Sampai kapan?" ucap Gembor. Gue terdiam, sampai kapan tidak berani menghadapi masalah, belum lagi Oma Sulis. Tampaknya harus setuju dengan Gembor, ikut alur dengan berani menghadapi, semoga kuat, semoga.