Sebenarnya malas tidur dengan Gembor, kebiasaan tidurnya itu menyeramkan. Ia akan memeluk apapun dengan erat, gue pernah sampai memukul kepalanya karena hampir kehabisan napas. Tidak bisa terbayangkan yang jadi isterinya kelak, bisa mati tidak bernapas serta remuk tulang belakangnya, gue melirik Gembor yang masih tidur dengan memeluk erat guling, ngeri.
Tadi malam sengaja minta guling dari Mak Salmah buat membatasi tidur dengan Gembor. Tidur dengannya membuat kesal saja, padahal ada kamar tamu. Tadi ia meminta sekamar sama gue, kangen katanya, sebenarnya sama, hampir dua bulan kami nggak ketemu.
Bangun pagi langsung mandi walau hari ini off. Besok harus bekerja dengan status berbeda, keliling dengan Bang Jaya lagi untuk memonitor jalannya resto. Hidup terlalu cepat berubah, semoga tidak gila karena tanggung jawab ini, padahal gue orangnya santai, sekarang harus serius, sudahlah nikmati saja.
Ketika gue keluar dari kamar mandi, si Gembor masih molor. Setelah memakai baju, menghampiri Gembor yang selalu betah tidur. Ada cara terampuh membangunkannya, mendorong jatuh ke lantai, terlihat sadis tapi cukup efektif.
Bruk.
Satu.
Dua.
Tiga.
"Sialan, mau cari mati sama gue?" ucap Gembor. Harusnya orang jatuh, seketika itu langsung mengaduh. Lain halnya dengannya, sampai hitungan ketiga baru sadar ia jatuh, dasar kebo.
"Lu mau tidur terus, lu kira dimana?" Gue bersedekap sambil menatap malas. Mata Gembor yang memicing menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
"Lu resek, gue masih ngantuk. pelit amat kasur ditidurin."
Melihat perlahan Gembor menaiki tempat tidur lagi dengan mata setengah terpejam, membuat kesal saja. "Lu mau bangun terus mandi atau tidak hanya jatuh ke lantai seperti tadi tapi terlempar lewat jendela?" Ancaman mungkin membuat ia sadar seperti biasa.
"Damar, lu sadis amat sama gue, ya sudah sana gue nanti nyusul!"
"Sekarang Udin Gembor!" ucap gue penuh penekanan.
"Iya, ini mau jalan, resek banget lu." Gembor berjalan ke kamar mandi sambil menggerutu. Setelah memastikan bunyi air di kamar mandi, baru gue beranjak keluar kamar.
Hal yang membuat terkejut ketika keluar kamar adalah mendapati Om Utoro ada di meja makan. Yang lebih mengejutkan adalah Cang Burhan juga ada disana, sedang Bang Jaya telah biasa sarapan dengan kami. Ada apa ini?
"Cang Burhan apa kabar?" ucap gue.
"Baik," balas Cang Burhan. Ini kenapa pagi begitu senyap, padahal ada lima manusia termasuk gue di ruang makan.
"Mak Salmah sarapan gue mana?" tanya gue memecah keheningan. Tidak begitu lama nasi goreng terletak di depan gue. Rejeki bangun pagi, batin gembira.
Plak.
"Aduh, kenapa Mak Salmah mengeplak tangan gue?" Lumayan juga tangan Mak Salmah pagi ini, untung cuma tangan bukan kepala, bakalan gegar otak kalau terkena.
"Biasanya juga ambil sendiri pakai teriak - teriak segala, manja," kata Mak Salmah.
"Mak Salmah di depan Cang Burhan lebih lembut dikit kek!" ucap gue.
"Gue suka Neng Salmah galak, jadi bawaannya bagaimana gitu," ujar Cang Burhan.
Gue tertawa, Cang Burhan selalu memanggil neng ke Mak Salmah dengan tersenyum. Yang gue lihat Mak Salmah malah seperti tidak enak dan melirik Om Utoro yang diam dengan ekspresi wajah tidak suka, apa gue salah kira? Sedang Bang Jaya hanya tersenyum dan menggeleng sambil mengolesi selai pada rotinya.
"Sini Nak Jaya, biar Mak Salmah yang olesi selainya!" ucap Mak Salmah.
"Tidak perlu Mak, biar saya," ujar Bang Jaya.
"Tidak apa - apa, jangan iri lu Dam, lu dari dalam perut sudah gue urusin!" ucap Mak Salmah.
Tahu saja Mak Salmah kalau ada yang iri. Gue niru ucapannya sini Nak Jaya tanpa suara, ia melihatnya lalu menatap sambil melotot. Terlihat Om Utoro tersenyum melihat interaksi kami, apalagi ketika Mak Salmah memberinya potongan roti yang sudah diolesi selai juga kepadanya.
"Gue kira lu makannya roti juga Dam?" ucap Cang Burhan.
Gue merasa Cang Burhan tidak suka Om Utoro, seperti melihat saingan. Cang Burhan berbadan agak gempal dengan wajah mengintimidasi sedangkan Om Utoro yang berbadan tegap serta wajah tegas. Menarik sepertinya pengagum Mak Salmah, berharap semoga terjadi persaingan sehat.
"Cang Burhan, gue mah rakyat jelata, kalau tidak makan nasi nggak nendang," ucap gue.
"Sini, gue tendang!" ucap Gembor.
"Woii, nasi gue itu," kata gue.
Gembor datang-datang langsung menyerobot nasi gue. "Laper, ini semua salah lu, masih ngantuk dibangunin." Dengan tidak berdosa ia menghabiskan nasi goreng gue dengan tempo sesingkat - singkatnya.
"Mau nambah lagi Gembor?" tanya Mak Salmah.
"Boleh," ucap Gembor.
"Jangan Neng Salmah, si Gembor sudah lebih dari cukup makannya, lihat badan sudah seperti karung beras gitu!" ujar Cang Burhan.
"Tidak apa-apa masih banyak kok, Bang Burhan, yang penting Gembor sehat tidak sakit," sela Mak Salmah.
"Tuh Babe, Gembor yang penting sehat," ucap Gembor.
"Rakus itu namanya," ujar Cang Burhan.
"Sudah - sudah, jangan ribut, ayo makan!" kata Mak Salmah menengahi.
Setelah mengambilkan nasi goreng buat Gembor dan gue, Mak Salmah malah mengambil roti. "Mantan suami lu suka makan roti, ya Neng, jadi ikut-ikutan begitu?" tanya Cang Burhan.
"Almarhum Om Burhan bukan mantan, Papa Danang suka nasi goreng seperti Damar," ucap Bang Jaya.
"Jadi kenapa, lu mau jadi orang kaya sehingga makan roti buat sarapan?" Tanpa mengindahkan ucapan Bang Jaya, Cang Burhan bertanya kepada Mak Salmah.
"Ibu Salmah tidak seperti itu Pak Burhan, waktu bersama Pak Danang, ia berlaku apa adanya, menjadi diri sendiri," ucap Om Utoro.
Ucapan Om Utoro sepertinya membuat Cang Burhan tidak suka. "Sudah selesai Gembor, ayo pulang!" ujar Cang Burhan.
"Kok cepat - cepat pulang Cang?" ucap gue.
"Ada urusan gue," ujar Cang Burhan. Gembor yang melihat raut muka Cang Burhan lalu ikut berdiri.
"Gue pulang dulu Neng, Dam!" ucap Cang Burhan.
"Hati - hati Cang?" kata gue.
"Gue pulang dulu Dam, Mak Salmah, semuanya!" ujar Gembor.
Gue memandangi punggung Gembor yang tampak lunglai, karena sepertinya Cang Burhan marah.
"Mak Salmah nggak boleh begitu sama Cang Burhan, dia banyak bantu kita!" ucap gue.
"Lu yang senang, gue nggak pernah minta bantuan dan nggak pernah nerima bantuan dari dia," ucap Mak Salmah.
Suara Mak Salmah mengangetkan gue dan juga Bang Jaya, kecuali Om Utoro yang tenang, mungkin karena profesinya sebagai pengacara mengajarkan tenang dalam segala situasi.
"Mak Salmah kok sewot?" tanya gue.
"Lu mau gue nikah sama Bang Burhan, yang setiap malamnya ngelonin wanita berbeda kampung Surga?" ucap Mak Salmah marah.
"Mak Salmah maunya yang seperti Om Utoro?" tanya gue.
"Itu bukan urusan lu!" ucap Mak Salmah.
"Gue anak Mak Salmah bukan?" Tampak ada sorot kecewa di mata Mak Salmah. Cairan bening terlihat menetes, membuat gue mengulurkan tangan untuk menggapai tapi ditepis oleh Mak Salmah.
Mak Salmah beranjak dari duduknya kemudian berlalu menuju kamar, Gue akan mengejar namun kalah cepat. Bunyi klik menandakan pintu terkunci.
"Biarkan tenang dulu Ibu Salmah, Nak Damar tidak perlu khawatir!" ucap Om Utoro.
"Bagaimana gue nggak khawatir, Mak Salmah marah?" kata gue.
"Kenapa Ibu Salmah tidak menerima pria manapun karena dia sangat mencintai Pak Danang, begitupun sebaliknya," ujar Om Utoro.
"Maksud Om, Abah mencintai Mak Salmah, yang benar saja, ia hanya nafsu ke Mak Salmah seperti Cang Burhan dan Om Utoro melihat Mak Salmah?" Ucapan itu membuat Om Utoro memerah mukanya, ia mengusap belakang lehernya dengan kikuk.
"Mungkin kamu benar, setiap pria pasti melihat itu ke Ibu Salmah termasuk saya, hanya pengendalian sikap dan pikiran yang bisa membuat semuanya baik-baik saja," kata Om Utoro bijak.
"Om suka dengan Mak Salmah?" tanya gue langsung. Om Utoro tersenyum sebelum membuka suara. "Saya menyukai Ibu Salmah ketika bertemu pertama kali sebelum saya kenalkan dengan Pak Danang."
"Om Utoro bukannya sudah berkeluarga?" tanya gue.
"Waktu itu iya, maka dengan pengendalian sikap dan pikiran, saya buang jauh rasa itu," ucap Om Utoro.
Gila juga ini orang, jujur sekali, ia berani mengakui bahwa ia dulu menyukai Mak Salmah, dihadapan gue anaknya Mak Salmah. "Kenapa Om Utoro menceritakannya ke gue?" ucap gue penasaran.
"Karena Nak Damar anaknya, jadi bisa tahu seperti apa pria yang mendekati Ibu Salmah, Nak Jaya juga sudah setuju," ucap Om Utoro.
"Kenapa Abang setuju saja?" ucap gue menatap Bang Jaya.
Abang gue itu cuma tersenyum lalu melanjutkan sarapannya di meja makan.
"Karena tahu saya duda, makanya Nak Jaya memberi ijin kepada saya untuk mendekati Ibu Salmah," ucap Om Utoro.
"Anak sama keluarga Om?" tanya gue.
"Saya bercerai karena mandul, jadi semua keluarga memberi ijin kepada saya, menikah dengan siapapun asal menerima keadaan ini," ucap Om Utoro. Pembicaraan kami di depan pintu kamar Mak Salmah pasti membuatnya mendengar semuanya.
"Jadi ijinkan saya mendekati Ibu Salmah?" kata Om Utoro.
"Belum tentu Mak Salmah mau, apalagi ia masih sangat mencintai Abah," ucap gue.
"Saya tahu, jika dibandingkan dengan Pak Danang, saya kalah segalanya, baik tampang, fisik apalagi materi," ujar Om Utoro.
"Om jiper duluan?" tanya gue.
"Tidak sama sekali, hanya mengungkapkan fakta tentang diri saya apa adanya," ucap Om Utoro.
"Om Utoro yakin?" tanya gue lagi.
"Yakin, walau saya tidak senang dengan meninggalnya Pak Danang, kalau Nak Damar ingin tahu," ucap Om Utoro.
"Itu takdir."
"Jadi Nak Damar memberi ijin?" tanya Om Utoro.
"Asal Mak Salmah bahagia, gue nggak keberatan." Gue melihat kelegaan di diri Om Utoro, mau bagaimana lagi. Kalau Om Utoro bisa membuat Mak Salmah bahagia kenapa tidak.
"Om pergi dulu, berkas-berkas yang perlu ditanda tangani biar Nak Jaya yang menjelaskan, agar besok langsung siap," ucap Om Utoro. Gue hanya mengangguk lalu berjalan mendekati Bang Jaya, sedang Om Utoro keluar meninggalkan kami.
"Tentang kemarin, Abang minta maaf, kalau membuat lu marah," ucap Bang Jaya.
Pembukaan percakapan yang sebenarnya tidak mengenakkan.
"Bang!" ucap gue.
"Tapi tolong pertimbangkan!" ucap Bang Jaya.
"Gue peringatkan Abang!" ucap gue meninggi.
"Tolong, please!"
Bersamaan itu tubuh Bang Jaya limbung, gue dengan sigap menerima tubuhnya sebelum meluruh lantai.
"Mak Salmah, Bang Jaya pingsan!"