Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 8 - Bab 8 Kesakitan Bang Jaya

Chapter 8 - Bab 8 Kesakitan Bang Jaya

Teriakan gue karena Bang Jaya pingsan membuat Mak Salmah yang ngambek langsung keluar kamar panik. Untunglah Om Utoro belum pergi, baru mau mendekati mobilnya malah mendengar teriakan gue. Secepatnya kami ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, Om Utoro tidak mau memberi tahu gue tentang penyakit Bang Jaya, setelah gue ancam mau menghilang bersama Mak Salmah, akhirnya Om Utoro buka mulut.

Bang Jaya bermasalah dengan jantungnya. Kardiomiopati, kelainan pada otot jantung, belum diketahui penyebab utamanya, mungkin bakteri atau virus, darah tinggi atau keturunan. Otot jantung Bang Jaya mulai melebar waktu umur dua puluh tahun, hanya dengan obat-obatan ia bertahan hidup begitu penjelasan Om Utoro, Bang Jaya terbiasa pingsan, gue jadi kalut memikirkan kesakitan Bang Jaya.

Donor jantung adalah satu-satunya jalan untuk Bang Jaya, tetapi mencari jantung yang cocok tidak begitu mudah didapat. Itukah kenapa Bang Jaya merelakan isterinya ke gue? Harusnya dia berjuang dan mencari pendonor agar hidup lebih lama sehingga membahagiakan isterinya, bukan berniat menyerah seperti ini.

Gue menunduk menekuri lantai rumah sakit, untung semua cepat diatasi sehingga Bang Jaya tertolong, terasa usapan di punggung. "Sudah, Abang lu sudah baik, nggak perlu cemas lagi!" ucap Mak Salmah. Gue hanya bisa memasang senyum palsu dan mengangguk.

"Kenapa keluarga kita selalu pergi Mak, Abah nggak ada sebelum gue tahu aslinya seperti apa, ini Bang Jaya hampir, padahal gue baru merasakan senang punya Abang?" ujar gue.

"Nggak boleh ngomong seperti itu, semua takdir, kalau mau lihat Abah lu, ngaca, Bang Danang mirip lu, persis malah, sedang Nak Jaya doain saja yang terbaik!" ucap Mak Salmah.

Gue masih menunduk sampai gue dengar suara itu. "Om Utoro, bagaimana keadaan Bang Jaya?" ucap Kak Aryati.Gue mendongak, mendapati wajah cantik itu, wajah wanita yang sangat jauh untuk digapai dan bahkan terlarang tentu saja.

"Alhamdulillah Nak Aryati, Nak Jaya melewati krisisnya," ucap Om Utoro.

"Siapa Dam, cantik banget, kalau cari isteri kayak gini, lu bakalan betah di rumah?" ujar Mak Salmah lirih. Gue melotot, bagaimana Mak Salmah bicara seperti itu. Untung lirih hampir berbisik, gue kemudian hanya menggelengkan kepala.

Tiba-tiba Kak Aryati menghampiri kami. Mengulurkan tangan ke Mak Salmah yang disambut dengan bingung. Kak Aryati lalu mencium tangan Mak Salmah yang masih terbengong dengan keadaan yang tidak ia mengerti.

"Saya Aryati menantu Mak Salmah," ucap Kak Aryati. Mak Salmah tambah seperti orang bingung dengan ucapan Kak Aryati. Ia memandang kami bergantian.

"Perasaan Mak belum pernah ngawinin lu, Dam?" ucap Mak Salmah.

"Emang gue kambing dikawinin, gue kawin sendiri kali Mak Salmah?" ucap gue sewot.

Plak.

Gue mengaduh ketika tangan Mak Salmah dengan cantiknya menepuk, tentu saja tidak bisa dikatakan pelan. "Jangan mikir macam - macam!' ucap Mak Salmah. Gue cuma nyengir, entah perasaan gue yang nggak beres atau kecapean karena mikir kondisi Bang Jaya hingga Kak Aryati yang memperkenalkan diri sebagai menantu ke Mak Salmah membuat gue tersenyum dalam hati.

"Kak Aryati ini adalah isteri Bang Jaya," ucap gue. Setelah gue menguasahi diri, gue menerangkan siapa Kak Aryati kepada Mak Salmah.

"Pinter ya, Abang lu cari bini, lu juga harus seperti dia, cari bini yang seperti Nak Aryati ini!" ucap Mak Salmah. Gue melihat sekilas ke arah Kak Aryati, kemudian kembali menekuri lantai. Andai Mak Salmah tahu, kalau wanita cantik di depannya diserahkan Bang Jaya buat gue.

"Aryati!"

Gue mendongak sekilas melihat wanita paruh baya yang dengan tergesa mendekati tempat kami. Kembali menunduk, dari tadi memang pikiran mengembara entah kemana. Gue memikirkan keberlangsungan resto, walaupun nggak terlalu peduli dengan kepemilikan resto namun para pekerja yang menggantungkan hidup disana menjadi tanggung jawab gue.

Soal permintaan Bang Jaya, entahlah, gue tidak terlalu memikirkannya. Justru gue memikirkan tentang donor jantung buat Bang Jaya, harus secepatnya mencarinya. Kalau Bang Jaya bisa dapat donor pasti gue tidak perlu mengabulkan permintaan gila Bang Jaya tentang Kak Aryati.

Walau di sudut hati ingin sebenarnya egois. Tuhan maafkan gue yang mendoakan hal buruk terjadi pada Bang Jaya. Ingin teriak kencang karena masalah ini.

"Bagaimana keadaan Jaya?" ucap wanita paruh baya itu.

"Baik Ma, sudah melewati masa krisis," ucap Kak Aryati.

"Siapa dia?" ucap wanita paruh baya itu.

Gue yang berada di belakang wanita paruh baya itu berdiri karena tadi dia melewati kursi tempat gue duduk, akhirnya mendongak. Bisa terlihat kegelisahan di mata Kak Aryati dan Om Utoro sedang Mak Salmah begitu tenang, tapi gue nggak lihat ekspresi wanita paruh baya itu karena membelakangi gue.

"Saya Salmah," ucap Mak Salmah. Gue jadi heran, sejak kapan Mak Salmah bicara formal, gue lihat Mak Salmah tersenyum, sedang seperti tadi Kak Aryati dan Om Utoro masih tegang.

"Pak Utoro, saya pikir Jaya hanya perlu keluarganya bukan orang lain untuk menunggunya," ucap wanita paruh baya.

"Ibu Setyawati, Ibu Salmah ini yang menolong Nak Jaya tadi," ucap Om Utoro.

Jadi wanita paruh baya ini adalah isteri sah Abah Danang.

"Kamu dan Jaya mencari keberadaan dia, jangan bilang Aryati ikut dalam semua ini?" ucap wanita paruh baya.

"Ibu Setyawati, keberadaan Ibu Salmah itu adalah amanat mendiang Bapak Danang!" kata Om Utoro.

"Kamu mengkhianati ku, Utoro?" ucap wanita paruh baya.

"Saya tidak mengkhianati siapapun, saya hanya melaksanakan tugas sebagai pengacara Pak Danang," ucap Om Utoro tegas.

"Baiklah, seperti yang saya bilang tadi, sebaiknya hanya keluarga saja yang tinggal bukan orang lain," ucap wanita paruh baya.

Kesal ketika orang yang gue sangat sayangi tersakiti dan sekarang Mak Salmah adalah orang yang tersakiti. Gue mendekati Mak Salmah, memegang lengannya mengajaknya pergi. "Ayo pulang!" ucap gue.

"Bang Danang!" ucap wanita paruh baya.

Bisa terlihat wanita paruh baya itu tercekat, matanya berkaca - kaca sedang tangannya menutup mulutnya. Ia seperti melihat hantu, tapi gue tidak peduli itu. Mak Salmah lebih penting.

"Jangan pernah menyakiti Mak gue, ingat itu!" kata gue.

Menarik tangan Mak Salmah walau dia sepertinya enggan. Dengan sedikit amarah karena kejadian tadi, gue membawa Mak Salmah melangkah lebar-lebar menjauh dari tempat itu. Sesampai di lobby rumah sakit, gue baru menghela napas berusaha menguasai diri.

"Sudah marahnya?" ucap Mak Salmah.

Menoleh ke wanita yang pernah melahirkan gue, bisa terlihat ketenangan dan ketegaran dari senyum di wajahnya. Apa tidak salah Mak Salmah memasang wajah itu? Biasa saja setelah apa yang diucapkan wanita paruh baya tadi, tidak dapat dipercaya.

"Mak Salmah tidak sakit hati?" tanya gue heran.

"Yang sakit hati memang seharusnya Mbak Setyawati, gue kan wanita lain di kehidupan Bang Danang," ucap Mak Salmah sambil tersenyum.

"Abah yang salah dalam hal ini," ucap gue pelan.

"Keadaan dan takdir yang nggak bisa ditolak Dam," kata Mak Salmah bijak.

"Ya sudah kalau Mak Salmah tidak sakit hati, memang sebaiknya kita menjauh dari keluarga Abah," ujar gue. Mungkin ini yang terbaik untuk semuanya, hidup kami damai seperti biasanya tanpa Bang Jaya walaupun hidup kami lebih berwarna sejak ada dia, kenapa gue jadi melow.

"Nak Damar yang sabar dalam menghadapi Ibu Setyawati!" ucap Om Utoro tiba-tiba.

Sejak kapan Om Utoro disini? ia sudah berdiri di samping gue dan langsung menepuk pundak gue pelan. "Mungkin gue sama Mak Salmah balik saja ke kampung Surga, Om," ucap gue.

"Terus siapa yang menangani resto?" tanya Om Utoro.

Sebenarnya masih kesal, ternyata masih ada resto yang menjadi kendala. Disaat gue mau pergi menenangkan diri, ada-ada saja rintangannya. "Keadaan Nak Jaya tidak bisa diandalkan dalam hal ini, apa Nak Damar tega?" kata Om Utoro.

Gue menoleh ke arah Om Utoro, sepertinya pria paruh baya di samping gue ini begitu mengerti bagaimana menggunakan keadaan. "Saya tahu setelah dua bulan ini, tampaknya semua sifat dan tingkah laku Nak Damar persis seperti mendiang Pak Danang yang tidak tegaan," kata Om Utoro pelan.

Sesaat hampir percaya Om Utoro adalah dukun yang bisa baca pikiran gue, cenayang istilah kerennya. "Gue kira Om Utoro bisa baca pikiran?" ucap gue. Gue tersenyum begitu juga Om Utoro, sedang Mak Salmah memperhatikan interaksi antara kami.

"Saya akan menemani Nak Damar besok dan hari-hari selanjutnya dalam menangani resto," ucap Om Utoro.

"Om Utoro memang pintar ngambil celah," ucap gue.

Om Utoro menatap gue sambil mengernyitkan dahi, sepertinya dia berusaha memahami perkataan gue. "Ini bukan usaha buat mendekati Mak Salmah, bukan?" tanya gue.

"Mungkin salah satunya," kata Om Utoro.

Kalau tadi di rumah, Om Utoro agak salah tingkah bila membicarakan tentang Mak Salmah, sekarang sepertinya senang, bisa terlihat dari binar matanya. Sedang gue lihat Mak Salmah memalingkan wajah pura - pura tidak mendengar perkataan kami.

"Nak Damar bisakan, mengelola resto yang diamanatkan ke Nak Damar?" ucap Om Utoro.

"Mau bagaimana lagi, nasib gue ya harus mau," ucap gue pasrah.

"Saya tahu, Nak Damar sanggup, karena kepintaran dan keuletan mendiang Pak Danang menurun kepada Nak Damar," kata Om Utoro mantap.

"Om Utoro tidak menjilat, kan?" ucap gue.

Om Utoro terkejut dengan pertanyaan gue, sedikit jail memang.

"Saya bukan orang semacam itu, Nak Damar harus tahu itu!" ucap Om Utoro kesal.

"Slow dong Om Utoro, gue selalu mengimpikan Abah itu tidak terlalu serius!" ujar gue.

Sepertinya Om Utoro mengerti maksud gue, karena itu dia tersenyum lebar.

"Bantu Om untuk meyakinkan Ibu Salmah!" ucap Om Utoro.

"Wani piro?" tanya gue sambil nyengir.

"Matipun Om Utoro jabanin."

Gue melihat rona merah di wajah Mak Salmah, sebelum dia membuang muka.

"Bagaimana Mak Salmah, ada yang siap mati buat Mak?" tanya gue.

"Bodo," ucap Mak Salmah.

Mak Salmah segera kabur menuju pintu keluar, sedang gue dan Om Utoro tertawa bisa menjahilinya.