Dananjaya Diwangkara, abang gue seperti dikatakan Mak Salmah. Setelah melepas pelukannya langsung mendekati Mak Salmah mencium tangannya, hal yang belum pernah gue lakukan, perasaan gue jadi bagaimana begitu melihat ada orang lain melakukan itu. Kami kemudian duduk dengan Bang Jaya menghadap kami, baik Mak Salmah ataupun Bang jaya tampak senang dengan pertemuan ini, gue jadi merasakan sesuatu yang berbeda hari ini, gue masih seperti tidak percaya, berasa mimpi.
"Abang minta maaf baru mencari kalian sekarang," ucap Bang Jaya dengan raut muka bersalah.
"Tidak apa-apa, kami tetap senang dengan masih dianggap keluarga," kata Mak Salmah bijak.
Gue diam masih mencerna apa yang terjadi, memandangi laki-laki yang ada di hadapan gue, jadi gue masih punya keluarga yang lain, sedang keluarga dari pihak Mak Salmah tidak pernah berhubungan lagi, mereka marah terhadap pekerjaan Mak Salmah yang dulu. "Harusnya saya mencari kalian sejak dulu, kalian boleh marah pada saya!" ucap Bang Jaya.
"Maksud lu?" kata gue akhirnya. Bang Jaya menghela napas, kemudian seperti menata hati untuk memulai cerita. "Saya tahu keberadaan kalian sekitar lima tahunan yang lalu dimana saat itu Papa Danang Diwangkara sakit keras dan saya baru lulus kuliah," ucap Abang Dananjaya.
Gue dan Mak Salmah diam tidak memotong cerita Abang Dananjaya. "Saat itu saya takut, Papa Danang tidak sayang pada saya lagi, beliau akan sayang pada mu, anak kandungnya," kata Bang Jaya. Gue dan Mak Salmah saling pandang, dan ketika mata kami menoleh ke arah Bang Jaya, ia mengangguk seakan tahu pikiran kami.
"Benar, saya hanyalah anak angkat Papa Danang," ucap Bang Jaya.
"Lu takut gue mengambil harta Papa lu?" tanya gue.
"Bukan, secara hukum kamu bukan anak Papa kita, tetapi wasiatnya yang mengatakan kamu salah satu pemilik resto D-Blue." Bang Jaya menghela napas sebentar kemudian melanjutkan bicara. "Jadi saya cuma cemburu, pada kenyataannya Papa Danang membagi kepemilikan resto D-Blue secara adil, Mama Setyawati mendapat dua puluh persen begitu juga Ibu Salmah, sedang saya dua puluh lima dan Damar sisanya."
"Nak Jaya, gue kagak paham?" ucap Mak Salmah.
"Nak Jaya sudah datang." Kami menoleh dan mendapati Om Utoro sudah memakai baju yang lengkap, mendekati posisi kami, ia masih tampak canggung setelah kejadian tadi. "Om Utoro bisa jelaskan kepada Ibu Salmah dan adik saya?"
Om Utoro lalu ikut duduk bersama kami, ia tampak menghela napas sebelum memulai menjelaskan kepada kami, mungkin karena pandai mengendalikan mimik wajah, Om Utoro memulai dengan ketenangan. "Maaf bila yang saya ceritakan ini melukai kalian, tapi saya pastikan bahwa Pak Danang Diwangkara sangat menyayangi kalian sebagai keluarganya."
Om Utoro menjeda sejenak memandangi kami satu persatu, seakan memberi waktu kepada kami untuk mempersiapkan diri sebelum ia melanjutkan ceritanya. "Pak Danang dan Ibu Setyawati menikah karena dijodohkan, yang ternyata Ibu Setyawati mandul, karena itu ibu dari Pak Danang menyuruh bercerai tetapi dengan tegas ditolaknya." Gue menggelengkan kepala, dijodohkan kemudian disuruh bercerai, kejam sekali keluarga ini, maksudnya orang tua Abah itu apa, cuma cari keturunan, batin gue kesal.
"Ibu dari Pak Danang selalu ikut campur dan suka mengatur setiap anggota keluarga Diwangkara." kata Om Utoro. Mak Salmah tidak sampai begitu, ia memang cerewet tetapi tidak sampai mengekang dan mengatur tanpa perasaan seperti itu.
"Pak Danang dan Ibu Setyawati lalu mengambil anak yang masih bayi dari panti asuhan yang diberi nama Dananjaya Diwangkara," ucap Om Utoro. Gue memperhatikan wajah Abang Jaya yang biasa ketika Om Utoro bicara, ia seakan tidak terpengaruh bahwa ia hanyalah anak angkat.
"Apa yang dilakukan Pak Danang membuat Ibu Sulis, ibu dari Pak Danang semakin tidak menyukai Ibu Setyawati," ucap Om Utoro. Rumit sekali keluarga Abah, ternyata orang kaya itu susah, banyak sekali kerumitan di sekitar mereka.
"Kemudian Pak Danang ketemu Ibu Salmah dan tertarik, walaupun ia tahu pekerjaan Ibu Salmah, kenapa menikahi siri Ibu Salmah, pertama beliau menghormatinya sebagai wanita, yang kedua beliau tidak ingin membuat Ibu Salmah menjadi anggota keluarga Diwangkara," ucap Om Utoro.
Gue memandang Mak Salmah mencari ekspresi wajahnya, tapi ia tampak tidak terpengaruh juga dengan cerita Om Utoro. "Mak melacurkan diri sejak umur lima belas, setelah ketemu Bang Danang semuanya berubah, ia lelaki pertama yang memandang gue sebagai wanita baik bukan pemuas nafsu belaka," ucap Mak Salmah. Gue memeluk Mak Salmah, mengelus punggungnya memberi kenyamanan sebanyak yang gue bisa berikan.
"Tapi Pak Danang menyukai Ibu Salmah terlepas dari masa lalunya," ucap Om Utoro.
"Apa isteri Abah, maksud gue, Ibu Setyawati tahu hubungan antara Mak Salmah dan Abah?" tanya gue.
"Mama Setyawati tahu, tapi ia tahu diri bahwa ia hanya isteri yang tidak sempurna dan juga perjodohanlah yang membuat ia tidak bisa berbuat banyak untuk menuntut lebih," ucap Bang Jaya. Gue menatapnya, tidak setuju dengan pernyataan itu, kalau memang tidak suka ya harus menentang bukannya membuat situasi tambah rumit.
"Abah sudah punya isteri dan anak, masih jelalatan saja," ucap gue.
Plak.
Gue mengaduh karena tangan Mak Salmah dengan mulus mengeplak kepala gue. Sedang Bang Jaya dan Om Utoro malah tersenyum mendapati penganiayaan yang dilakukan Mak Salmah. "Kalau mata Papa Danang tidak jelalatan, kamu tidak akan lahir Damar Jati Diwangkara," ucap Bang Jaya masih dengan senyumnya.
"Kita tidak tahu kemana cinta akan berlabuh, Pak Danang memang tidak mencintai Ibu Setyawati tapi beliau menghormatinya sebagai isterinya, sudah berusaha untuk tidak jatuh hati kepada Ibu Salmah, tapi apa daya," ucap Om Utoro. Gue lihat Om Utoro seakan mengutarakan isi hatinya sambil menatap Mak Salmah, dan dengan malu - malu Mak Salmah tertunduk, gue jadi tambah curiga dengan mereka.
"Jadi kekayaan Pak Danang dibagi rata seperti yang tadi Nak Jaya utarakan," ucap Om Utoro.
"D-Blue itu adalah hasil jerih payah Papa Danang, jadi keluarga Diwangkara tidak bisa ikut campur termasuk Oma Sulis," ucap Bang Jaya.
"Bang Jaya sekarang tidak cemburu pada gue?" tanya gue. Bang Jaya tersenyum tulus, binar matanya tampak menandakan bahwa ia tidak mungkin iri lagi pada gue, ia kemudian berbicara dengan pelan. "Saya tidak ada hal yang perlu dicemburui lagi, bagian saya yang diberikan Papa Danang akan saya kembalikan pada mu, saya merasa tidak berhak."
Gue menggeleng dan Mak Salmah serta Om Utoro sepertinya setuju dengan gue. "Bang Jaya selama ini yang mengurusi D-Blue, jadi Bang Jaya berhak atas bagiannya, apalagi itu sudah menjadi keputusan Abah," ucap gue.
"Saya harap kamu secepatnya mengundurkan diri dari D-Blue dan mengurusi management, kamu lulusan management bukan?" ucap Bang Jaya.
"Lulusan universitas tidak terkenal, sekarang sudah bangkrut, tidak ada lagi," ucap gue.
"Kapan kamu resign?" tanya Bang Jaya tidak mengindahkan gerutuan gue..
Gue menghela napas, lebih suka jadi pelayan biasa kalau boleh memilih, tapi gue juga harus memikirkan masa depan dimana hanya kita yang tahu kemana akan melangkah, kita bermimpi dan berusaha, tinggal Tuhan yang menentukan tentu saja.
"Entahlah," jawab gue pasrah.
"Saya ingin secepatnya, nanti akan ada orang yang akan mengajari kamu," ucap Bang Jaya. Gue menatap tajam ke arah Bang Jaya, yang seakan memaksa gue agar secepatnya mengambil alih resto D–Blue, gue tidak suka ini.
"Maafkan saya, itu terserah kamu siapnya kapan, saya tidak berhak memaksa mu?" ucap Bang Jaya. Ia seakan tahu gue tidak terlalu suka dipaksa, gue tertawa mendengar jawaban Bang Jaya, ia kenapa kaku sekali, apa memang begitu karakternya.
"Ternyata seperti ini punya saudara, lu bisa bawel juga seperti Mak Salmah," ucap gue.
Gue melanjutkan tertawa, perasaan campur aduk bisa bebas lepas ketika gue tertawa, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang, gue bicara apa? nggak nyambung.
"Kamu menganggap saya, saudara?" tanya Bang Jaya seperti tidak percaya. Gue langsung berpindah ke samping Bang Jaya lalu merangkul pundaknya. "Lu nggak mau punya adik seperti gue," ucap gue sambil menaik turunkan alis.
Gue memiringkan kepala sedang Bang Jaya menoleh tidak percaya. "Tentu saja saya mau, mau sekali malah," ucap Bang Jaya namun masih tampak menatap gue tidak percaya.
"Bisa nggak lu hilangkan bahasa formal lu, nggak enak gue dengar, seperti gimana gitu!" ucap gue.
"Bisa, saya... maksud gue bisa," ujar Bang Jaya sambil tersenyum.
"Jangan pakai bahasa formal, ingat itu!" ucap gue menegaskan. Bang Jaya mengangguk, gue tersenyum dengan lebar, menatap masa depan yang membentang, gue berjanji menjadikan masa lalu sebagai pengalaman agar lebih baik kedepannya.