"Bang Jaya mau memberikan isteri Abang ke gue?" tanya gue.
Muka sudah pasti memerah karena gue merasakan panas yang merambat ke telinga gue. Muka Bang Jaya memucat dengan gestur salah tingkah walaupun sedikit, sedang Aryati menunduk tidak berani menatap. Apa yang ada dipikiran keduanya?
"Damar, sebenarnya gue dan Aryati....." Ucapan Bang Jaya langsung gue potong. "Kenapa dulu kalian menikah? Lu sudah bosan dengan Aryati? Buat apa lu berdua nikah kalau bosanan?" Gue benar-benar marah.
"Damar, bukan begitu," ucap Bang Jaya.
"Kalau memang sudah berkomitmen jaga itu, buat apa nikah kalau bercerai, omong kosong tentang tidak cocok, harusnya kalian ingat kenapa kalian nikah dulu!" ucap gue tambah sewot.
"Damar, dengarkan dulu penjelasan Abang!" ucap Bang Jaya memohon.
"Abang sebagai laki tuh harusnya berjuang sekuat tenaga buat mempertahankan wanita di samping Abang, Abang laki kan?" ucap gue.
"Abang laki - laki tentu saja," ucap Bang Jaya pelan.
"Maka lakukan perjuangan itu, jaga isteri lu dengan benar, sedang Kak Aryati harusnya juga berjuang bersama Abang," ucap gue.
Karena merasa tidak ada yang perlu diomong lagi, gue berbalik menuju motor yang terparkir tidak jauh dari tempat menolak ide di pikiran kedua suami isteri itu. Ada perasaan aneh karena gue menolak ide itu. Sebenarnya gue tertarik dengan Kak Aryati tapi tidak mau mengambil tindakan bodoh.
Tindakan bodoh seperti yang dilakukan Abah Danang Diwangkara yang menikahi Mak Salmah. Lihat hasilnya sekarang! Isteri tuanya terluka karena diduakan sedangkan isteri muda tidak punya pegangan karena suami tentu saja memilih isteri tua.
Tapi kenapa Mak Salmah selalu membela Abah. Katanya gue tidak berada di situasi dan posisi seperti Abah, maka gue tidak akan pernah mengerti. Saking cinta kali Mak Salmah sama Abah hingga segitunya.
Kalau lihat fisik memang Abah itu termasuk ganteng dan berbadan bagus seperti gue. Narsis sedikit boleh? Bisa dilihat photo dia masih muda dipajang Mak Salmah di ruang tamu, terpikir photo itu adalah gue, ternyata Abah muda mirip gue, seperti kembar malah.
Ketika sampai depan rumah terlihat motor yang tidak asing, benar itu motor sohib gue. Ketika membuka pintu, terlihat Gembor lagi asyik menonton film ditemani tentu saja dengan minuman dan camilan yang banyak, seperti orang tidak pernah makan tiga hari. Gue hanya bisa menggeleng melihatnya.
"Lu numpang makan disini, Gembor?" Gue dorong kaki Gembor yang nangkring di meja dengan kasar. Ia seketika menoleh marah pada gue.
"Bangke!" Gembor murka.
"Apa lu, nggak sopan kaki naik derajat?" kata gue sengit. Bukannya marah Gembor cuma nyengir, sambil menatap tidak berkedip, jadi parno ditatap begitu.
"Lu nggak kesambet kan, Gembor?" ucap gue waspada.
"Kenapa lu tambah cakep saja, kapan jeleknya?" Gembor bicara sambil masih menatap tajam . Gue bergidik ngeri, horor jadinya sehingga tidak jadi duduk di dekatnya.
"Gembor?" ucap gue ragu.
"Kenapa lu?" tanya Gembor sambil mengernyitkan dahi.
"Lu nggak suka gue kan?" tanya gue meragu.
"Hah?" Gembor sepertinya tambah bingung.
"Gue masih suka cewek," ucap gue lirih. Setelahnya kami terdiam, Gembor tampak berpikir dan seketika melempar kulit kacang.
"Anjir lu, sompret," ucap Gembor. Gue akhirnya bisa tertawa lepas setelah sejak tadi pikiran ruwet.
"Dam, gue jadi tahu kenapa Mak Salmah tidak suka babe gue," Gembor berkata topik lain. Gue jadi berhenti tertawa dan menoleh lalu mengernyitkan dahi. "Maksud lu?" ucap gue.
Gembor malah diam memandang lurus ke depan. Gue mengikuti pandangan dia yang ternyata menatap photo Abah waktu muda. "Sepertinya babe Burhan kalah set bila dibandingkan dengan bokap lu," ucap Gembor seperti bergumam.
"Kok lu bisa nilai gitu?"
"Gue kira photo itu lu, tadi Mak Salmah bilang photo itu adalah Abah lu masih muda, dengan cambang ama kumis tipis itu yang membedakan kalian berdua."
Gue ikut menatap photo Abah, setelah diperhatikan cuma itu perbedaan kami. Pantas karyawan lama resto terkejut ketika gue pertama kali datang ke resto D - Blue selatan, cikal bakal resto yang sekarang berjumlah lima.
"Gue juga kaget tidak menyangka muka dan postur gue seperti identik dengan Abah," ucap gue.
"Makanya gue bilang babe Burhan kalah set dengan Abah lu."
"Tapi Abah gue kan udah nggak ada, bagaimana bisa kalah set Cang Burhan?" tanya gue.
"Cewek kan suka melankolis, suka baper, nggak bisa move on katanya, mungkin Mak Salmah begitu, jadi di hatinya akan selalu ada Abah lu."
Gue rasa Mak Salmah nggak begitu. Semenjak Om Utoro sering kemari dia seperti kecentilan begitu, dan sepertinya Om Utoro juga sama, suka salah tingkah nggak jelas.
"Mak Salmah kemana?" ucap gue.
"Dam, Mak Salmah itu nyokap lu, kenapa nanya gue?" kata Gembor.
"Dodol lu, gue baru datang, yang dari tadi disini kan lu, Gembor," ucap gue kesal.
"Benar juga lu, he he," ucap Gembor nyengir. Gue memutar mata malas, kebiasaan Gembor tidak berubah."Makanya itu otak jangan pindah ke perut," ucap gue sewot.
"Jangan salah, perut buncit gue bikin klepek - klepek Mbak May," ucap Gembor. Gue menoleh, melihat perut dan wajah jenaka teman gue, Mbak May klepek - klepek bukannya terbalik?
"Semerdeka lu saja," Cuek gue arahkan pandangan ke televisi sambil makan kacang kulit. "Mbak May itu suka mengelus perut gue, katanya lucu, dia suka menempelkan dada telanjang...," ucap Gembor terpotong.
Gue masukin pisang yang belum terkupas ke mulut Gembor. "Mulut itu di sekolahkan!" kata gue. Mata Gembor melotot hampir jatuh karena pisang itu masuk hampir separuh ke mulutnya.
Gembor mengeluarkan pisang dari mulutnya, kemudian berusaha memaksakan masuk ke mulut gue. Mau balas dendam ternyata. Gesit gue mengelak dan menepis tangan Gembor, hingga pisang itu terlepas dan terlempar jauh.
"Sial," ucap Gembor mengumpat.
"Makanya jangan sembarangan, kalau Mak Salmah dengar bisa habis lu!" ucap gue.
"Tenang Mak Salmah lagi pergi," Gembor sambil mengupas pisang yang dia ambil di meja.
"Pergi?"
"Tadi dengan pengacara keluarga lu, Om Toro kalau nggak salah, hebat ya, lu punya pengacara segala."
"Makan yang benar, jangan makan sambil ngomong, gue nggak ngerti, lu bisa mati kesedak kalau makan sambil makan gitu!"
Gembor lalu menelan pisang lalu mengambil air untuk minum. "Sialan lu, yang ada gue benar mati kesedak karena omongan dan doa lu itu,' ucap Gembor sewot.
"Gue kan cuma ngomong fakta, lu saja yang parnoan," ucap gue santai.
"Dam, lu ada masalah?" ucap Gembor.
Gue menoleh, menatap Gembor.
"Maksud lu?' tanya gue heran.
"Mata lu ke tivi, tapi otak lu kemana-mana, dari tadi ganti channel mulu," ucap Gembor sambil memicingkan mata menatap gue tajam. Terdiam sejenak, mempertimbangkan apakah mau jujur atau nggak ke Gembor.
"Kalau seumpama, ini seumpama ya Gembor?" ucap gue meragu.
"Ya ampun, lu seperti sama siapa Dam, pakai sungkan-sungkan begitu," ucap Gembor tidak sabar.
Gue menghela napas, menata hati, semoga keputusan berbagi benar. "Jika gue punya bini, terus gue kasih lu, lu mau nggak?" ucap gue.
Gembor seperti biasa dengan otak Pentium II selalu terlambat berpikir. Ia sok berpikir padahal tidak nyambung dengan perkataan gue. "Lu punya bini, kapan lu nikah, kok nggak ngundang gue?" ucap Gembor.
Boleh gue seret teman dari kecil ini, terus dilempar ke Ancol, gue langsung memasang muka jutek. "Udin, lu mau gue lelepin ke Ancol?" ucap gue sadis.
"Bercanda kali Damar, serius amat," ucap Gembor cengengesan.
"Gue serius," kata gue.
"Kalau gue sih mau saja terima bekas lu, toh gue juga sudah nggak ori, bekas lu pasti tidak mengecewakan," ucap Gembor jenaka.
"Dasar PK, Penjahat Kelamin tidak jauh dari selangkangan."
"Damar yang tampan, dengar, berumah tangga itu harus sejalan antara kebutuhan rohani dan jasmani," ucap Gembor sok bijak.
"Pasti juga kesitu lagi lu, dasar otak ngeres perlu disapu," ucap gue.
"Damar, sekarang orang nikah kan untuk kawin, buat apa coba?" ucap Gembor.
Gue hanya menggeleng, sudahlah mau bagaimana lagi, memang Gembor seperti itu, yang penting tidak merugikan orang lain. "Damar, lu merasa terhina karena dikasih cewek bekas,?" tanya Gembor polos.
Gue terkejut dengan pertanyaan Gembor. "Gue bukan orang suci dari lahir Mbor," ucap gue lirih.
"Hush ngomong apa lu, dengar, kita tidak bisa meminta dari orang tua mana kita lahir!" ucap Gembor. Gue terkekeh, tumben lurus nih anak, ya walaupun benar apa kata si Gembor, kita tidak bisa memilih orang tua kita.
"Pasti ada alasan teman lu itu, mungkin dia mau nikah lagi tapi si cewek nggak mau dimadu jadi ya pisah," ucap Gembor.
"Sepertinya bukan alasan itu, karena teman cowok gue nggak seperti itu," ucap gue.
Gue pastiin Bang Jaya nggak seperti itu, walau baru dua bulan gue kenal dia, tapi ia bukan laki - laki yang akan menduakan isterinya. Walau kesempatan dan kemampuan bisa, tanpa ada kemauan bukannya itu tidak akan tercipta, gue angkat topi buat Bang Jaya.
"Atau mungkin isteri teman lu nggak enak, kalau kasusnya seperti itu jangan mau!" kata Gembor.
Gue nggak ngerti apa maksud Gembor, gue berusaha mencerna, tapi Kak Aryati sepertinya perempuan baik - baik, tidak mungkin Bang Jaya menikahi perempuan asal comot.
"Maksudnya apa ya Mbor, tidak enak?" ucap gue.
"Dasar sok polos, begituan saja nggak ngerti," ucap Gembor kesal.
"Gembor, gue nggak ngerti maksud otak lu?" ucap gue ikut kesal.
"Isteri teman lu nggak enak diajak begituan," ucap Gembor dengan menaik turunkan alisnya.
Gue melihat Gembor, berusaha mencari tahu maksud kata-katanya, ketika lidahnya mulai bermain menjijikkan di bibirnya, gue baru sadar. "Dasar jangkrik PK, lu benar - benar ya!" kata gue.
Gembor tertawa keras, gue mending mandi dan tidur. Gue pergi ke kamar untuk mandi, berpikir benar kata Gembor bahwa ada hal yang disembunyikan Bang Jaya. Perasaan aneh melingkupi diri gue malam ini, ingin egois menginginkan Kak Aryati, adakah cerita di balik ini semua?