Adakah nasib atau keadaan yang lebih mengenaskan dari ini. Kenyataan bahwa gebetan ternyata tidak akan bisa diraih, seperti melihat air di padang pasir, begitu mendekat ternyata itu hanya fatamorgana, tapi gue belum pernah ke padang pasir sih. Memprihatinkan sekali takdir ini, siapa yang perlu gue tuntut? Sudahlah jalani saja kesakitan ini.
Ketika gue memasuki resto mengikuti Bang Jaya dan isterinya yang cantik, karyawan resto terlihat menatap ingin tahu. Pasti banyak pertanyaan di kepala mereka, sedang gue cuma mengangkat bahu sambil tersenyum bahwa semua baik - baik saja. Mereka pasti mengira ada kesalahan karena gue mengikuti bos mereka naik ke lantai atas.
Gue ingin lihat muka si songong Bagas. Manager yang semena-mena terhadap karyawan resto, sudah banyak karyawan yang mengundurkan diri karena dia. Beruntungnya gue yang menjadi karyawan yang selalu berpindah-pindah jadi tidak selalu menetap di satu resto.
Banyak karyawan bahkan manager resto yang curiga kenapa gue setiap minggu berpindah, gue cuma bilang tidak tahu, sekarang waktunya mereka tahu semua, untuk langkah pertama adalah memperkenalkan diri dengan Bagas. Bang Jaya dan Aryati serta tentu saja gue sampai pada lantai dimana ruang manager berada.
"Masuk!"
Itu suara Bagas dari dalam setelah Bang Jaya mengetuk pintu ruangnya. "Pak Jaya dan Ibu Aryati, tumben sore - sore datang ke resto barat?" ucap Bagas. Ia tampak benar-benar terkejut dengan kedatangan kami.
"Memangnya kenapa dengan sore - sore datang, kamu keberatan?" ujar Bang Jaya. Bagus Bang Jaya, hajar saja terus, jangan kendor, batin gue teriak. Senangnya melihat Bagas menjadi kikuk.
"Bukan begitu Pak Jaya, maksud saya," ucap Bagas.
Bang Jaya dan Aryati pasti melihat tingkah manager resto D-Blue wilayah barat yang terkesan aneh. Terlalu berlebihan dalam menyongsong atasannya, dasar penjilat. Pandangan Bagas lalu mengarah pada gue yang berdiri di belakang Bang Jaya dan Aryati.
"Ada apa Damar?" ucap Bagas.
Lihatkan, si Bagas menyapa karyawan di bawahnya dengan nada pelan di depan Bang Jaya. Berbanding terbalik di lain kesempatan, pasti nada tinggi keluar, tidak tahu waktu dan tempat bahkan di depan pelanggan sekalipun. Benar-benar Bagas yang menyebalkan.
"Damar, ayo masuk!" kata Bang Jaya.
Suara datar Bang Jaya membuat tersadar, kemudian gue mengikuti masuk. Bagas mengernyitkan dahi ketika gue ikut duduk di sofa yang ada di ruang ini. Pasti banyak pertanyaan di otaknya kenapa karyawan rendahan bisa akrab dengan atasannya.
"Ada masalah Pak Jaya? Apa kesalahan yang dilakukan Damar, sehingga membuat ia ada bersama Bapak?" ucap Bagas penuh kerisauan.
"Mulai sekarang, kamu harus panggil Damar dengan sebutan Pak!" ucap Bang Jaya. Ia sempat menatap gue, karena ingin protes dengan panggilan formal itu. Bagas mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Perkenalkan, Damar Jati Diwangkara, anak kandung Bapak Danang Diwangkara, sekaligus pemilik resto D-Blue!" ucap Bang Jaya tegas.
Bisa terlihat muka Bagas langsung pucat, selama ini gue hanya dikenal dengan Damar. Nama di setiap surat penting bahkan KTP hanya Damar Jati D, gue baru tahu dua bulan ini. Mak Salmah selalu berucap biar keren saja, ternyata dia ingin melindungi anaknya.
"Jadi dia putera Bapak Danang Diwangkara?" ucap Bagas masih tidak percaya.
"Anak kandung, sesuai dengan surat wasiat yang ada di pengacara keluarga kami, kamu tahu kalau saya adalah anak angkat, jadi Damar adalah pemilik resto D-Blue sekarang!" ucap Bang Jaya.
"Tapi bagaimana tentang pengelolaan resto, sedang dia hanya koki yang baru bekerja selama dua bulan ini?" ucap Bagas.
"Kamu tidak pernah memperhatikan karyawan, dia sudah bekerja di sini empat tahun lebih, memang kerja di cabang ini baru dua bulanan, setiap mutasi harusnya kamu tahu kenapa hal itu terjadi !" ujar Bang Jaya meninggi.
"I-iya Pak Jaya," ucap Bagas terbata.
Sebenarnya gue sudah malas dengan omongan Bagas, apa dia pikir dia lebih hebat. "Adik saya telah bekerja lumayan lama dari bawah, apa kamu pikir ia tidak belajar selama itu? Bahkan management selama dua bulan ini siapa yang pegang? Dia, adik saya?" ucap Bang Jaya tegas.
Terlihat Bagas meneguk salivanya. Gue sedang memikirkan apa yang mau dilakukan terhadap manager songong ini. "Damar sekarang!" ucap Bang Jaya.
Bang Jaya meminta semua karyawan resto menyambut pemilik baru. Mereka akan bertemu tanpa tahu siapa orang tersebut. Sebelumnya gue mengirim chat di group resto tentang penyambutan yang mendadak ini.
Tok.
Tok.
Tok.
"Masuk!" ucap gue.
Gue meminta mereka menyambut kedatangan pemilik baru resto pada pergantian shift. Setengah karyawan melayani pelanggan, sisanya bisa kemari. Begitu pintu terbuka, karyawan resto terlihat berjejer rapi di depan ruangan, mungkin mereka bingung, siapa pemilik baru resto ini.
"Per kenalkan Bapak Damar Jati Diwangkara, pemilik baru resto Damar Blue," ucap Bang Jaya lantang.
Gue terkejut, mengira selama ini D-Blue singkatan dari Diwangkara Blue. Setelah ini harus tanya kepada Bang Jaya, kenapa memakai nama Damar? Suara tepuk tangan dan keterkejutan menghiasi wajah setiap karyawan resto, mungkin mereka tidak menyangka gue adalah anak dari pemilik resto.
"Gue harap semua bekerja seperti biasa, tentang panggilan terserah kalian, seperti biasa juga tidak masalah!" ucap gue. "Gue ingin kita seperti keluarga, membangun resto bersama dengan rasa memiliki, kalau THR itu bisa dibilang gaji ketiga belas, maka akan ada gaji keempat belas atau bonus akhir tahun buat kalian yang besarannya sudah dihitung."
Wajah-wajah berseri menghiasi karyawan resto, kemudian satu persatu maju memberi selamat. Gelombang kedua juga sama terkejutnya dan diakhiri dengan senyuman lebar di wajah mereka karena mendengar bonus akhir tahun. Siapa sih yang tidak mau bonus tambahan?
"Semua sudah gue hitung Bang Jaya, tidak perlu khawatir," ucap gue berbisik.
Aryati yang sepertinya mendengar bisikan gue menganggukan kepala ketika Bang Jaya menatapnya meminta penjelasan. Ternyata yang menerima laporan gue adalah dia. Selama ini mengira Om Utoro menyerahkan laporan tentang resto dua bulan ini ke Bang Jaya langsung.
Setelah semua karyawan memberi selamat, Bang Jaya dan Aryati pamit pergi meninggalkan ruangan ini. Gue masih ingin ngomong dengan manager songong yang sekarang sepertinya pasrah dengan keadaan yang terjadi. Banyak hal perlu dibenahi dan diluruskan.
"Bagas!" ucap gue.
Malas memanggilnya Bapak, secara dia seumuran. Gue tidak pernah berhubungan langsung dengannya, kepala koki yang bicara dengan Bagas. "I-iya Pak?" ucap Bagas gugup.
Gue memutar mata malas melihatnya. Kalau tidak kasihan sudah gue pecat dia. Melihat kinerjanya yang lumayan, tinggal cara dia memperlakukan bawahannya diubah agar tidak kejam, tegas itu perlu asal tidak sewenang-wenang, itu prinsip.
"Lu harus memanggil kembali semua karyawan yang mengundurkan diri, selama lu jadi manager resto barat!" ucap gue tegas.
"Tapi Pak!" kata Bagas frustasi.
"Mereka yang mengundurkan diri itu karyawan lama yang di mutasi kemari, jadi resto ini butuh mereka," ucap gue.
"Tapi Pak!" kata Bagas dengan wajah merah.
"Pilihan ada ditangan lu, mau memanggil mereka kembali, atau gue kembalikan jabatan lu seperti di resto selatan menjadi asmen, asisten manager," gue menatap tajam Bagas.
"I-iya Pak, saya usahakan."
"Lakukan, jangan usahakan doang, gue pergi dulu!" gue beranjak berjalan menuju pintu.
"Iya Pak, saya lakukan," ucap Bagas pelan.
Gue mengangguk sambil melirik Bagas yang menunduk hormat. Tidak peduli kalau dalam hati ia akan menyumpahi. Butuh seseorang seperti gue agar orang seperti Bagas tidak menggunakan kekuasaannya untuk kesewenangan.
Langkah kaki membawa meninggalkan ruangan Bagas. Menuju parkiran hingga mendengar suara. Suara yang sangat gue kenal beberapa minggu ini.
"Abang pikir, Damar cocok buat mu."
Itu suara Bang Jaya, maksudnya apa? Gue baru saja mau mendekati motor ketika suara Bang Jaya membuat penasaran. Siapa yang cocok buat gue?
Saat ini gue di balik pilar besar sehingga tidak terlihat. Begitu juga Bang Jaya yang bicara entah dengan siapa karena pandangan yang terhalang oleh pilar ini. Penasaran membuat bertahan menguping.
"Abang tahu, Damar sepertinya juga tertarik pada mu," ucap Bang Jaya.
Tertarik, dengan siapa? Maksudnya apa coba? Apa Bang Jaya mau menjodohkan gue.
"Aku tahu baru dua bulan mengenalnya, tapi Abang pastikan, Damar akan menjadi suami yang tepat untuk mu," ucap Bang Jaya.
Boleh agak besar kepala? Seorang Dananjaya Diwangkara percaya terhadap gue bisa menjadi sosok suami yang baik kelak. Hati seakan riang kala mendengar pujian itu.
"Tapi tidak mungkin dia mencintai ku," ucap seorang perempuan.
Terkejut mendengar suara perempuan, dengan ragu keluar dari tempat mencuri dengar. Tidak hanya terkejut setelah tahu siapa perempuan itu, tapi kesal. Sangat kesal kepada dua orang yang terkejut juga melihat kemunculan gue.