Chereads / CATATAN ANAK PE:LACUR / Chapter 4 - Bab 4 Perempuan Cantik

Chapter 4 - Bab 4 Perempuan Cantik

Gue tetap memutuskan belum mengundurkan diri dari resto D-Blue dan meminta identitas gue sebagai anak Danang Diwangkara dirahasiakan. Gue memilih belajar seluk beluk resto dari bawah, agar pengetahuan gue tentang pengelolalaan resto menyeluruh. Setelah jadi pelayan, gue ditarik ke bagian dapur, tentu saja atas permintaan gue lewat kuasa Bang Jaya.

Hubungan gue dan Bang Jaya begitu akrab, mungkin karena selama ini kami tanpa saudara, ia begitu banyak membantu gue dengan sabar dalam cara mengelola resto, semoga bisa nantinya gue mengelolanya.

Sore ini gue mau pulang setelah jatah shift pagi gue kelar, gue ambil rokok dan menyalakan, memhembuskan asap dengan perlahan sambil memandang senja yang mulai menghitam di atas motor gue yang terparkir di samping resto. Gue berpikir tentang perubahan yang secara drastis terjadi pada gue belakangan ini.

Ternyata Abah sudah mati, gue ternyata bukan anak haram, walaupun cuma anak dari pernikahan siri antara Abah dan Mak Salmah. Walaupun Mak Salmah kemarin bilang kalau dia melacur waktu muda tetapi ia berubah setelah ketemu Abah.

Jadi inilah gue, anak pelacur, maksudnya anak bekas pelacur atau apalah sebutannya, gue biasa saja dengan semuanya, semua orang punya latar belakang berbeda, tergantung si empunya mau bagaimana dengan itu. Apakah orang itu mau tetap dibayangi masa lalunya atau menjadikannya masa depan lebih baik dari masa lalu. Gue jadi melantur kemana - mana, yang ada nanti dikira gue sok suci, terserahlah, sudah banyak gue mendapat dogma tentang latar belakang gue, gue sih santai.

Harum aroma parfum menerpa indera penciuman gue, membuat pikiran ngelantur jadi berantakan. Menoleh mencari sumber harum ini dan seketika tatapan wajah gue terpaku. Sesosok perempuan cantik berjalan mendekat, dengan rambut panjangnya yang indah diterpa sisa - sisa sinar senja dan lampu resto yang mulai menyala.

Bidadari, itu yang terlintas di kepala. Tapi tidak mungkin hari gini ada sosok semacam itu, padahalkan tidak bermimpi. Kunti kesorean kalau kata hati, padahal gue juga belum pernah bertemu tapi juga tidak mau ketemu, ngeri bro.

Perempuan yang pertama kali membuat gue takjub. Banyak yang cantik tapi pakai dempul semua, sering ketemu baik di kampung Surga atau di jalanan bahkan tempat lain. Yang ini cantik natural, kapan ya punya bini seperti ini, mengkhayal tidak dilarang bukan?

"Mas!"

Kalau punya bini seperti ini, akan gue kurung dalam rumah. Kasihan juga seperti ayam dikurung, pokoknya dijagain tidak boleh lepas dari pengawasan. Terlalu posesif membuat tidak nyaman, tapi takut pergi ditinggalkan.

"Mas!"

Mungkin gue nyewa orang buat menjaga dia kemanapun dia pergi, karena gue harus kerja tentu saja.

"Mas!"

Gue baru tersadar setelah perempuan cantik itu berdiri di hadapan. "Kakak, ada yang bisa gue bantu?" tanya gue.

Untuk perempuan secantik ini, menyapa dengan senyuman tidak ada ruginya, modus sedikit tidak dosa kan? "Mas, kerja di sini?" ucap perempuan cantik dengan ramah.

Kenapa perempuan cantik lebih banyak bersuara merdu, atau itu karena otak kita telah teracuni wajah cantik yang terpampang di depan mata. "Kok tahu nama gue Thomas... gue jadi tidak enak?" ucap gue asal.

Wajah perempuan itu tersenyum, bagaimana cowok tidak luluh dengan senyum tulus itu. Pengalaman hidup di kampung Surga membuat gue tahu mana yang tersenyum tulus dan tidak. Kebanyakan perempuan di kampung Surga tersenyum tidak sampai mata ketika bertemu langganan.

"Mas Thomas bekerja disini?" perempuan cantik itu bersuara sambil tersenyum manis.

"Kakak sudah tahu, gue bukan bernama Thomas malah meledek," ucap gue sambil pura - pura cemberut.

"Kamu lucu ternyata," perempuan cantik itu terkekeh pelan.

"Damar," gue memperkenalkan diri.

"Aryati," ucap perempuan cantik itu sambil menjabat uluran tangan gue.

Kalau mengikuti kata hati, gue tidak akan melepas tangan halus Aryati, sayang untuk dilewatkan kejadian langka ini. "Ada yang bisa gue bantu, Kak Aryati?" ucap gue sambil membuang puntung rokok.

Karena termasuk cowok peka, kadang sih, melihat perempuan cantik menahan napas karena asap rokok, terpaksa gue buang rokok itu walau baru terhisap setengah. Aryati benar - benar perempuan baik, ia tidak memencet hidung atau mengibas tangan di depan wajah bahkan bersuara melarang merokok, ia menahan napas untuk berbicara pada gue.

Gue benar-benar terpesona dengan perempuan cantik yang satu ini, apalagi dengan segala keluwesan tutur kata dan tingkah polahnya yang anggun. "Saya mencari Pak Bagas," ucap Aryati masih dengan suara merdu di telinga gue.

Seketika gue lemas, setiap perempuan pasti mau dengan manager resto apalagi punya tampilan dendi macam Pak Bagas.

"Pacar Pak Bagas?" tanya gue tidak rela.

"Bukan," ucap Aryati pelan.

Syukur dan lega, gue menghembuskan napas.

"Kak Aryati masih saudara dengan Pak Bagas?" tanya gue.

"Bukan juga, saya hanya mau bertemu beliau," ucap Aryati.

"Kak Aryati ke dalam saja, nanti tanya karyawan, dimana ruangan Pak Bagas," ucap gue.

"Jangan panggil Kak, berasa tua sekali saya!" ucap Aryati.

Ini perasaan saja atau gue kepedean, perempuan cantik di depan ini sepertinya berlama - lama bicara dengan gue, lupakan pikiran aneh mu, Damar! "Terus gue harus panggil apa? Adik?" kata gue polos.

"Panggil nama saya, Aryati!" ucap Aryati.

"Aryati, Aryati, Aryati, pasti datang kalau gue manggil tiga kali kan?" ucap gue dengan senyum menggoda. Aryati tertawa kecil sambil menggeleng kepala, kenapa perempuan di depan gue tambah cantik saja, sial.

"Kamu benar-benar lucu, memangnya aku hantu, yang bisa dipanggil tiga kali langsung datang," ucap Aryati pura-pura cemberut. Kenapa cemberut saja cantik, kapan kamu jeleknya Aryati, jadi tambah gemes, Abang.

"Aryati, Aryati, Aryati, hantu cantik yang pernah gue temuin, datanglah ke resto!" ucap gue sambil menempelkan ponsel ke telinga. Aryati tertawa terus menutup mulutnya sambil memegang perutnya, sepertinya dia begitu terhibur dengan ulah gue.

"Oke, jailangkung kalah saing dengan teknologi, tanpa mantra semua orang akan datang kalau dapat panggilan telepon," kata Aryati setelah bisa menguasai diri.

"Terus gue harus manggil kamu apa, sayang?" ucap gue dengan muka dibuat sok polos.

Rona merah wajahnya terpapar cahaya lampu resto membuat gue tersenyum. Bisa membuat perempuan cantik di depan blushing adalah kebanggaan tersendiri, boleh kan? "Belum boleh!" ucapan Aryati lirih namun masih bisa gue tangkap.

Gue boleh geer, gr, baper, dengan jawaban Aryati?

"Kapan bolehnya manggil sayang?" tanya gue. Kapan lagi dapat kesempatan langka, kalau lu dapat kesempatan seperti gue, pepet turus bro. Terlihat muka Aryati tambah merah, ia jadi salah tingkah.

"Itu... Itu," ucap Aryati gelagapan. Siapa suruh main kata, gue jahat dengan anak orang kalau begini, main api terbakar, main air basah, bukan salah gue sepenuhnya kan?

"Kalian sudah kenalan?"

Suara yang gue kenal membuat kami menoleh ke sosok pria yang berjalan menghampiri tempat kami berdiri. Bang Jaya lalu merangkul pundak Aryati dan seketika hati gue terhempas ke palung terdalam, ngeri sendiri dengan bahasa gue.

"Bang Jaya kenal Aryati?" ucap gue.

"Kalau nggak kenal dengan isteri sendiri, itu namanya durhaka," kata Bang Jaya dengan tersenyum.

"Isteri?" kata gue terkejut. Demi Mak Salmah yang masih sexy, gue ingin kembali ke rahimnya, tapi pasti gue malah dilepeh lagi.

"Kenapa terkejut dan kenapa Aryati mukanya merah, lu nggak godain isteri Abang kan?" kata Bang Jaya penuh selidik.

"Bang Jaya bicara apa coba, godain gimana?" ucap gue berusaha tenang.

"Belum boleh!" ucap Bang Jaya.

Gue jadi heran, kenapa Bang Jaya dan Aryati mengucapkan kata yang sama. Belum berarti nantinya bisa, kok sepertinya Bang Jaya mau melepas Aryati atau ini hanya pemikiran gue karena terlanjur terpesona dan mendamba.

"Malah bengong," ucap Bang Jaya.

"Iya Bang, tadi bicara apa?" ucap gue.

"Temani gue ketemu Bagas, ada kan?" ucap Bang Jaya.

"Ada di ruangannya," jawab gue.

"Bareng lu lah Dam!" ucap Bang Jaya.

"Apa hubungannya dengan gue?" ucap gue.

"Memperkenalkan lu sebagai pemilik resto D Blue kepada Bagas," ucap Bang Jaya.

"Itu masih agak lama," ucap gue.

"Sampai kapan lu mengulur waktu, gue nggak punya banyak waktu?" ucap Bang Jaya.

"Seperti mau mati saja Bang Jaya ini," ucap gue cemberut. Tapi sekilas gue lihat perubahan wajah Bang Jaya dan juga Aryati.

"Anggap saja seperti itu, makanya gue secepatnya mau memperkenalkan lu kepada semua keluarga resto D-Blue!" ucap Bang Jaya tidak terbantahkan.

"Kapan hidup gue nyantai?" ucap gue pada diri sendiri.

"Jangan harap lu nyantai, karyawan resto D-Blue butuh lu, agar resto ini bisa bertahan, mereka butuh makan!" ucap Bang Jaya.

"Kenapa bukan Bang Jaya saja yang mengurusi resto?" ucap gue menawar.

"Itu wasiat Papa, jangan bantah atau ia tidak tenang di dalam kuburnya!" ucap Bang Jaya.

"Sudah mati saja nyusahin," ucap gue asal.

"Damar Jati Diwangkara!" ucap Bang Jaya.

Gue hanya menyengir. Bang Jaya tidak suka gue asal ngomong tentang Abah, kemarin gue juga dimarahi karena ngomong asal di hadapan Mak Salmah, tidak sopan katanya. "Iya Bang Jaya, maaf," ucap gue.

"Abang nggak mau, lu asal ngomong, bahkan nanti di depan karyawan resto D-Blue, lu jaga wibawa!" ucap Bang Jaya.

"Iya Bang Jaya," ucap gue.

"Percuma lu lulusan sarjana kalau ngomong asal apalagi dengan orang tua, Abang tidak ingin lu jadi orang lain, tapi lu harus pilah-pilah dan lihat kondisi," ucap Bang Jaya.

"Lulusan sarjana dari universitas yang tidak terkenal dan sudah bangkrut lagi," ucap gue.

"Tidak ada alasan masih ada atau tidak universitas lu, lu tetap lulusan sarjana," kata Bang Jaya.

"Iya," ucap gue.

Iya saja biar cepat kelar, bisa sampai pagi kalau Bang Jaya ceramah, tapi gue suka dengan kecerewetan Bang Jaya, itu merupakan bentuk sayang dia. Akhirnya kaki mengikuti Bang Jaya dan isterinya ke dalam resto. Perempuan cantik itu selalu ada yang punya ternyata, sudahlah relakan, walau layu sebelum berkembang.