Tamparan Mak ternyata sakit sekali. Tampolan Mak Salmah pakai tenaga dalam ini namanya, sakit pipi pusing kepala. "Mak, kok gue ditampar, sakit tau?" ucap gue sambil mengelus pipi.
"Biar lu nggak sembarangan ngomong!" ujar Mak Salmah.
"Nak Damar jangan salah sangka, perkenalkan nama saya Utoro Megantoro," kata pria itu pelan. Pak Utoro mengangsurkan tangan namun gue ogah menjabatnya, ia pikir siapa sok akrab begitu.
"Om yang punya rumah ini? Nggak usah sok ramah sama gue!" ujar gue ketus. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang sekarang, mengernyitkan dahi, ia berpikir mungkin, kenapa gue tidak ramah.
"Mak Salmah walaupun sudah berkepala empat masih banyak yang ngantri, tapi gue nggak setuju Mak Salmah jadi simpanan Om!" ucap gue datar. Mak Salmah kembali menyakiti gue, kali ini menoyor kepala gue. Kalau bukan yang melahirkan gue, sudah keluar semua binatang Ragunan gue sebut. Sudah pipi kanan kiri pasti merah, ditambah gegar otak ringan karena ditoyor, nasib gue apes amat hari ini.
"Siapa yang mau jadi simpanan Pak Utoro, asal aja kalau ngomong, lu?!" ucap Mak Salmah. Kembali Om Utoro mengernyitkan dahi, memandang gue dan Mak Salmah bergantian, seperti bingung.
"Terus Mak Salmah mau dipakai sekali, dibayar berapa? Berapapun gue nggak setuju, Mak Salmah ngerti nggak, sih?" ucap gue agak kesal. Kembali Mak Salmah menyakiti gue, untung tidak sebrutal tadi, memukul pelan lengan gue, tidak berasa memang, tapi gue pura-pura mengaduh agar Mak Salmah tidak sewenang-wenang lagi.
"Nak Damar, saya pengacara Bapak Danang Diwangkara," ucap Om Utoro.
"Gue nggak nanya, ayo Mak Salmah, kita pulang!" ujar gue. Mau pengacara siapapun, gue tidak peduli, yang penting Mak Salmah tidak menjajakan tubuhnya lagi. Gue masih mampu membiayai hidup kami berdua.
"Ini rumah lu, Damar, rumah kita," ucap Mak Salmah.
"Dengar Mak, gue udah kerja, walau gaji tidak seberapa namun cukup buat kita hidup tanpa Mak Salmah merendahkan tubuh lagi, gue nggak rela!" ucap gue. Mak Salmah tiba-tiba malah menangis, kenapa gue benci orang menangis karena gue selalu ingat Mak Salmah yang malam-malam menangis, gue tahu walau ia nggak ingin gue tahu. Gue usap pipi Mak Salmah yang basah, gue nggak tahu harus berbuat apa kalau perempuan menangis.
"Maaf Mak Salmah, gue salah, tapi gue nggak rela, Mak Salmah ngerti, kan?" ucap gue.
"Nak Damar, rumah ini memang milik Nak Damar dan Ibu Salmah, itulah wasiat yang tertulis dari Bapak Danang Diwangkara," ucap Om Utoro. Gue melihat ke arah Om Utoro, dia bicara tentang siapa, gue tidak kenal dan lagi kenapa malah Mak Salmah menangis? Ada apa sebenarnya? "Siapa itu Danang Diwangkara, sampai memberi wasiat kepada kami?" tanya gue masih dengan muka kaku.
"Dia ab ah lu, Damar, Danang Diwangkara itu abah lu," ucap Mak Salmah pelan.
"Dimana pria brengsek itu?" ucap gue. Mata gue mencari ke segala arah, setelah bertahun-tahun meninggalkan kami, lalu ia muncul tiba-tiba, mau menjadi pahlawan kesiangan.
Plak.
Kenapa Mak Salmah menampar gue lagi? Sepertinya ia mulai hobi nampar gue, bahaya ini namanya.
"Sudah dibilang mati, Abah lu nikahin gue, walau nikah siri, namun ia selalu pakai pengaman biar gue tidak hamil," ujar Mak Salmah mulai bercerita.
"Bukan nggak ingin gue hamil sebenernya, tapi lebih memikirkan nasib anak yang bakal lahir tanpa ikatan negara, begitu kata Abah lu," kata Mak Salmah menambahkan.
"Itu akal - akalannya aja, agar Mak Salmah tidak menuntut uang untuk hidup anaknya," ucap gue kesal.
"Abah lu tidak bersalah, hubungan Mak dan Abah lu tercium keluarga Diwangkara, ibunya Abang Danang datang dan menawari sejumlah uang," ujar Mak Salmah.
"Untuk meninggalkan Abah?" ucap gue. Berasa sinetron, mertua tidak suka dengan menantu lalu menemui menantunya, meminta menantu meninggalkan anaknya dengan menawari sejumlah uang. Namun Mak Salmah menggelengkan kepala.
"Lebih dari itu, gue diminta hamil, anaknya harus diserahkan ke keluarga Diwangkara setelah lahir, gue dikasih sejumlah uang sebagai gantinya," ucap Mak Salmah kembali menangis.
"Brengsek," ucap gue dengan amarah dan mengepalkan tangan.
"Tadinya Mak ikut perkataan ibunya Abang Danang, tapi setelah mengandung lu, gue nggak mau dipisahkan dari lu, makanya gue kabur tanpa sepengatuan Bang Danang," ucap Mak Salmah. Gue akhirnya memeluk Mak Salmah yang masih terisak, gue jadi tahu cerita sebenarnya dan baru tahu begitu sangat getir hidupnya, menjadi menantu yang tidak diinginkan.
"Mak hanya menjadi isteri simpanan Abah lu, itupun Mak nikah siri, setelah kabur dari Abah lu. Mak memang kerja di bar kampung Surga cuma jadi pelayan bukan pelacur," ucap Mak Salmah lirih.
"Maafin kata-kata gue, maaf Mak?" ucap gue sungguh-sungguh.
"Nggak apa-apa, padahal Mak nggak ingin cerita, tapi kalau lu salah paham, Mak sedih jadinya," ujar Mak Salmah. Gue lalu membuka jaket, memakaikannya ke Mak Salmah, ia tampak bingung dengan ulah gue. "Biar nggak dingin Mak!" ucap gue.
"Jakarta panas begini, lu kata kita dimana?" ucap Mak Salmah.
"Mak Salmah sama Om Utoro nggak ngapa-ngapain, kan?" tanya gue penuh selidik.
"Kita beberes barang-barang, sisanya ada orang bawa kemari. Mak mandi, habis gerah beberes, Pak Utoro mandi juga di kamar tamu," ucap Mak Salmah santai.
"Benar nggak macam-macam?" tanya gue masih tidak percaya.
"Maksud lu apa?" tanya Mak Salmah galak. Sepertinya ia mulai tahu kemana arah pertanyaan gue. Wajahnya yang tadi kusut kini terlihat galak yang menyeramkan.
"Bagaimana gue nggak curiga, rambut kalian basah, Om Utoro hanya hanya pakai kolor sama singlet. Pakaian Mak, daster tanpa lengan dengan belahan dada rendah?" ucap gue. Kedua orang tua paruh baya itu memerah mukanya, gue sebenarnya hanya mengerjai mereka.
"Lu jangan berpikir macem-macem, gue sama Pak Utoro nggak melakukan apa-apa!" ucap Mak Salmah.
Gue sebenarnya ingin tertawa melihat wajah panik Mak Salmah dan salah tingkahnya Om Utoro. "Mak sudah dua puluhan tahun tidak dapat belaian dari laki-laki, wajar Mak Salmah melihat Om Utoro yang masih terjaga tubuhnya sepertinya, apalagi dengan pakaian minimalis, tatapan lapar itu Mak?" tanya gue mencibir. Muka Mak Salmah sudah semakin memerah, seperti kepiting rebus, ia gelagapan.
"Pak Utoro jangan dengarkan bocah sableng ini! Lu mau Mak cincang jadi perkedel, sembarangan kalau ngomong?" ucap Mak kesal bercampur malu. Tinggal Om Utoro yang perlu gue kerjai, seenaknya mau suka sama Mak Salmah, mau dikemanakan anak dan isterinya.
"Gue nggak sembarangan ngomong, Om Utoro dari tadi lihat dada Mak terus, makanya gue kasih jaket ke Mak Salmah," ujar gue. Gue lihat kedua orang itu semakin salah tingkah, mukanya sudah tidak bisa dijabarkan lagi begitu menyedihkan namun di sisi lain gue mau tertawa, dosa nggak sih?
"Ibu Salmah, saya bukan orang seperti itu, saya berpakaian dulu!" ucap Om Utoro berlalu dengan canggung.
"I-iya Pak Utoro, saya percaya," ucap Mak Salmah. Setelah Om Utoro pergi, Mak Salmah tiba-tiba menarik telinga gue dengan sepenuh hati, dan itu sakit, pakai banget. "Lu mau membuat Mak malu, bicara sembarangan?" ucap Mak Salmah berbisik namun semakin menarik telinga gue.
"Sakit Mak!" ucap gue meringis.
"Biar tahu rasa, mau mengerjai orang tua, lu kira gue kagak tahu akal bulus lu? Lu anak gue kalau lupa," ucap Mak Salmah.
"Iya Mak, maaf, lepasin, nanti putus telinga gue!" ucap gue memohon.
"Dia lelaki baik, sangat menghormati perempuan," jelas Mak Salmah.
"Kok Mak Salmah tau, gue malah jadi semakin curiga?" ucap gue.
"Jangan aneh-aneh! Lu mau Mak putus itu telinga?" ucap Mak Salmah ketus.
"Kagak Mak, cuma ingin tau, Mak tau dari mananya?" ucap gue.
"Gue kerja di bar, berbagai macam orang Mak temui di sana, jadi orang yang benar-benar baik dan pura-pura baik itu kelihatan," ucap Mak Salmah. Iyakan saja ucapan Mak Salmah, bagaimanapun ia lebih tahu asam garam dunia ini, sedang gue hanya anak kemarin sore. Kami menoleh ke arah pintu yang terbuka karena mendengar salam dari arah luar. Seorang pria yang sedikit lebih tua dari gue menatap tidak berkedip kepada gue, apa ada yang salah atau sesuatu dari wajah gue. Tiba-tiba ia menerjang gue dan memeluk erat.
"Maafkan Abang!" ucap pria yang memeluk gue.
Gue menoleh ke Mak Salmah, mencari jawaban atas apa yang dikatakan dan dilakukan pria yang memeluk gue dengan eratnya.
"Abang lu, Dananjaya Diwangkara," ucap Mak Salmah.
Gue benar-benar terkejut hari ini. Gembor yang bisa tidur dengan Mbak Maya, lalu rumah warisan Abah dan terakhir adalah gue punya saudara. Apa ada lagi kejutan selanjutnya buat gue?