tik. tak. tik. tak.
suara detak jarum jam yang bergulir maju membuat gadis itu hanya menatap kosong langit-langit kamarnya setelah lelah menangis, dan terus mencoba berontak dalam hatinya untuk mencoba baik-baik saja.
tapi percuma, hatinya terlanjur patah sekaligus kecewa usai berjumpa lagi dengan mantan kekasihnya karena luka baru yang ditorehkannya semakin terasa mengingat ucapannya beberapa jam lalu.
perempuan yang kini sedang terduduk manis itu terlihat sangat gelisah, karena orang yang mengajaknya bertemu belum kunjung tiba.
hampir dua jam dirinya menunggu di sebuah restoran yang menjadi tempat terakhir mereka bertemu.
lagi dan lagi, matanya terus memeriksa jam yang melingkar di tangan kirinya sembari melihat layar ponsel yang tidak menunjukkan tanda-tanda darinya.
saat hendak beranjak dari duduknya dan berlalu menuju rumah, orang yang ia tunggu pun datang sembari terpogoh-pogoh.
"maaf ya aku sudah membuatmu nunggu lama," ucap pria itu seraya membenarkan posisi berdirinya.
Dayana Halim atau Dayana nama panggilannya---gadis yang hendak berlalu meninggalkan restoran itu, menghela napasnya sejenak lalu tersenyum kecut saat melihatnya. "dari dulu aku sudah biasa menunggumu." balas Dayana yang duduk kembali.
sementara Randi Aditama---laki-laki yang ditunggu Dayana itu, duduk di kursi hadapannya yang sedang menyeruput sisa minuman yang sempat ia pesan saat menunggu.
setelah memesan makanan dan menghabiskan pesanan masing-masing, keduanya pun mulai membicarakan perihal juga maksud yang sebenarnya menjadi alasan mereka bertemu malam itu.
"seharusnya aku memberitahumu lebih awal perihal perjodohanku dengan tunanganku Day, aku minta maaf karena kamu mendengar hal itu dari orang lain." Dayana meringis mendengar selipan kata 'tunanganku'.
kekasih yang menemaninya hampir enam tahun itu memberi kabar lewat sahabatnya, jika dirinya akan melangsungkan pernikahan dengan perempuan pilihan orangtuanya.
jelas hal itu membuat Dayana terkejut bukan main, dan pasti kekasih yang ia yakini akan menjadi teman hidupnya itu bukan jodohnya.
selama enam tahun itu dirinya hanya menjaga jodoh orang lain, karena perempuan yang akan menjadi istri dari kekasih yang sudah menjadi mantan kekasihnya itu adalah, anak tetangganya di komplek perumahan orangtua Dayana.
lucu sekali memang takdir hidupnya.
"aku terlalu kalut dengan semuanya Day, maafkan aku yang lebih memilih perjodohan ini daripada kamu, aku tahu jika aku seorang bajingan," jeda Randi sejenak,
"...tapi aku tidak bisa menolaknya, karena ini perjanjian orangtuaku dengan orangtuanya semasa kami masih kecil, aku harap kamu mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari aku, aku mengharapkan kebahagiaanmu yang baru Dayana." tuntas Randi membuat Dayana mengepalkan tangannya, menahan perasaan yang begitu hancur mendengarnya langsung dari laki-laki yang dulu pernah menjadi, pusat bahagianya.
"Day, jika memang kamu sulit memaafkan aku, aku sadar itu, tapi tolong ikhlaskan aku ya." mendengar perkataan Randi membuat Dayana terkekeh.
"aku sedang berusaha melepaskan semuanya Ran, aku sadar karena terlalu bodoh pernah menjadikanmu seseorang dalam mimpi hidupku, aku bodoh sekali pernah melakukan hal konyol itu,"
"...terimakasih untuk enam tahun yang mungkin bagimu tidak ada apa-apanya dibanding Aurel wanita yang selama ini kamu cari, yang tidak ada dalam diriku," Dayana menghela napasnya sejenak karena dadanya semakin terasa sesak,
"...terimakasih banyak karena telah menunjukkan sisi lain dari dirimu Randi, semoga kebahagiaanmu memang bersama Aurel, aku mendoakan pernikahan kalian dengan penuh harap, selamat tinggal!" lanjut Dayana setelah panjang lebar,
dan berlalu meninggalkan Randi yang melongos, melihat cinta pertamanya itu pergi begitu saja, tanpa terlihat meneteskan air mata di depannya.
derai air mata Dayana tak bisa lagi ia tahan, tubuhnya semakin meluruh dan sesak terasa karena kenangannya bersama Randi menyapanya, lagi. "sakit ma," lirih Dayana yang memukul-mukul dadanya yang sangat sesak hingga tanpa sadar terus menangis.
dering suara alarm membuat Dayana sadar, jika dirinya kini sedang berada di fase terendahnya.
ia menjadi wanita pada umumnya yang menangis tengah malam, meratapi hatinya yang kehilangan sosok pengisi dunianya selama enam tahun.
dia, yang mungkin kini sedang menunggu hari bahagianya tiba, dan Dayana yang sedang mencoba untuk tidak terus menangisi dia yang tidak peduli akan perasaannya.
sinar mentari begitu cerahnya, bertolak belakang dengan suasana hati Dayana yang baru saja sampai di tempat kerjanya. "selamat pagi Mbak Day!" sapa salah satu pekerja di perusahaan itu yang sedang menyapu lantai.
Dayana langsung tersenyum. "pagi!" sahutnya yang berlalu menuju kantornya berada.
setelah menyelesaikan presentasi tentang konsep yang diinginkan klien untuk resital setengah tahun mendatang, Dayana memilih mengunjungi atap gedung perusahaannya, mencari angin segar untuk menghilangkan penat hidupnya.
kedua matanya tertutup sejenak, menikmati angin yang menerpa bebas wajahnya.
"mau?" tawar seorang pria yang kini berdiri tepat di samping Dayana.
"maaf saya bukan perokok." tolak Dayana setelah melihat sebungkus rokok yang ditawarkan oleh pria asing, yang mengenakan setelan biru dongker sedang menyesap sebatang rokok.
pria itu menarik kembali bungkus rokok miliknya, lalu memasukkannya ke dalam saku jasnya. "hidup terkadang tidak selalu berjalan sesuai kemauan sendiri." kata pria asing itu, seraya menatap pemandangan di depannya.
perkataannya sedikit menarik perhatian Dayana yang meliriknya sekilas, lalu menatap lurus kembali.
"kadang lucu dengan nasib yang harus dihadapi, saat dunia kita sedang hancur setelah semua ekspektasi yang hilang." Dayana terkekeh mendengarnya.
"namanya juga hidup, sebagai salah satu pemeran di bumi ini, harus siap menerima yang sudah ditetapkan dari atas, kalau tidak bisa menerimanya ya buatlah kehidupan pribadi tanpa ada campur tangan Tuhan." sahut Sana yang berlalu meninggalkan pria yang tersenyum, mendengar perkataan wanita yang sudah pergi tanpa permisi itu.
"lucu juga dia." gumam pria itu, seraya mematikan rokoknya dan ikut berlalu menuju perusahaan saudaranya.
"selamat malam Ibu Dayana Halim, bisa ikut dengan kami sekarang?" tanya seorang wanita dan tiga pria yang berdiri di depan Dayana.
"gak akan bisa nolak gue kalo kalian udah datang bergerombol kayak gini." cetus Dayana membuat kelima sekawan itu tertawa, keempat orang itu adalah sahabat Dayana dari masa Sekolah Menengah Pertamanya, Btari Lembayung, Ananta Malik, Air Mahendra, dan Kalam Abimanyu.
lima sekawan itu bisa terbentuk, karena ketidaksengajaan mereka mengikuti ekstrakurikuler Paduan Suara.
dari sanalah mereka akrab dan kemudian dekat, hingga memilih melanjutkan jenjang SMA sampai satu kampus yang sama, hanya saja beda fakultas.
"gue gak paham kenapa lo bisa berakhir ditinggalin sama si Randi?" tiba-tiba pertanyaan yang nyatanya pernyataan untuk Dayana itu hampir membuatnya tersedak makanan yang sedang ia kunyah.
Air dengan sigap langsung memberikan minumannya pada Dayana.
"ya mungkin emang jalannya harus begitu kali." jawab Dayana usai menelan semua makanan dan minuman.
"bego ya lo Day! mana ada jalannya, yang ada lo seharusnya mikir, kenapa bisa orang yang enam tahun bersama lo, tiba-tiba milih perjodohan itu dari pada lo yang notabennya orang yang udah lama bareng dia." sahut Malik---nama panggilan Ananta, membuat ketiga sahabat yang mendengar itu manggut-manggut.
sementara Dayana terdiam sejenak.
apa yang Malik bilang, ada benernya juga. batin Dayana seraya memilih menyeruput minumannya.
"udahlah, ngapain juga mikirin alasan kenapa si Randi milih perjodohan itu dari pada lo Day, mending kita semua mikirin planning masa depan." tungkas Btari yang secara halus mengalihkan pembicaraan mereka, agar Dayana tidak terus menerus memikirkan pria brengsek yang meninggalkannya begitu saja.
.
.
.
.
.
TBC