deruh angin malam menemani Dayana yang sedang meratapi diri sembari menghela napasnya mengingat kembali perkataan Malik beberapa hari lalu, perihal mantan kekasihnya yang lebih memilih Aurel dari pada dirinya.
"ah bodoh banget gue, ngapain juga mikirin hal yang cuman buang-buang waktu berharga ini." ujar Dayana sembari menyeka air matanya yang menetes begitu saja, saat mengingat pertemuan terakhirnya dengan Randi.
sekuat apa pun Dayana menolak dirinya tidak peduli tentang pernikahan Randi, sekuat itu juga perasaannya semakin menyiksanya.
tawanya pecah, bersamaan dengan air mata yang terus keluar, hanya satu yang Dayana inginkan, yaitu melepas semua perasaan dan kenangan bersama laki-laki yang besok akan menyandang status barunya sebagai seorang suami dari anak tetangganya.
dan lebih lucunya lagi, orangtua kedua belah pihak mengundang keluarganya dan mengharuskan Dayana hadir dan datang ke sana.
terutama Ibunya Randi, yang entah menyimpan dendam apa pada Dayana, rasanya seperti ingin memuaskan dirinya melihat Dayana datang ke pernikahan anak semata wayangnya itu.
"gue harus ngapain?!" desis Dayana yang kembali ke dalam kamarnya dan menjatuhkan diri di atas ranjang tidur, sembari meluapkan semua amarah dan kekecewaan yang ia tahan.
dering ponsel Dayana terdengar begitu nyaring hingga mengisi setiap sudut kamarnya.
tok. tok. tok.
sebuah ketukan pintu membuatnya terbangun dengan malas.
"siapa?" tanya Dayana setengah teriak seraya berusaha menyibak selimutnya.
"ini mama, Day." jawab Mamanya Dayana dari balik pintu.
"masuk aja ma, pintunya gak dikunci." kata Dayana yang beranjak dari tidurnya.
setelah mendengar ucapan sang anak, Sandra---mamanya Dayana, langsung membuka pintu kamar anak bungsunya itu dan menghampirinya.
"ada apa ma?" tanya Dayana yang sibuk mengikat rambutnya.
sebuah tepukan keras di lengan Dayana membuat sang anak meringis kesakitan, "mama apaan sih dateng-dateng mukulin aku?" okay cukup Dayana ini terlalu berlebihan jika menyebutnya sebagai pukulan.
Sandra yang awalnya anggun berubah bar-bar, karena melihat sang anak baru terbangun saat matahari sudah berada di atas kepala dengan keadaan dirinya yang sangat kacau.
"kamu lihat jam berapa ini Dayana?! masa iya anak perawan baru bangun jam segini?! mandi terus makan siang!"ujar Sandra membuat Dayana melongo dan mamanya berlalu begitu saja setelah mengatakan semua kebenaran tentangnya.
jauh dalam lubuk hati Sandra, dirinya merasakan hancur yang sama dengan Dayana, hanya saja dirinya tidak ingin menunjukkannya nanti yang ada membuat sang anak semakin terpuruk dalam kesedihannya.
maafin mama Day, mama gak ada niatan membuat luka baru buat kamu, yang ada mama ingin kamu secepatnya pulih. batin Sandra yang melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga.
dengan kilat, tangannya meraih ponsel yang ia simpan di atas nakas samping ranjangnya. "pantesan aja mama ngamuk." gumam Dayana yang melihat jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih.
bahkan alarm ponsel hingga telfon dari sahabat-sahabatnya bahkan rekan kerjanya pun tidak terdengar seolah telinganya tuli, untungnya ini hari sabtu jadi tidak masalah Dayana bangun telat, bukan telat lagi melainkan sangat amat telat.
setelah mandi dan bersiap untuk makan siang, Dayana berjalan gontai menuju lantai satu. "princess baru bangun ya." sindir Danadyaksa Halim atau Aksa---kakak laki-laki keduanya yang teralihkan dari menonton siaran basket kesayangannya, sementara Diratama Halim atau Tama---kakak laki-laki pertamanya yang memang sifatnya berbanding terbalik dengan Aksa, hanya terdiam tanpa ingin berkomentar.
kini Tama sedang menyantap buah-buahan yang mamanya tanam di taman belakang rumah, bersama anak pertamanya---Kaivan Halim atau Kai yang baru berusia tiga tahun itu sibuk mengunyah suapan dari papanya.
"dasar manusia aneh!" gumam Dayana yang lebih memilih menghampiri Tama dan Kai untuk makan siang.
"halo anaknya aunty!" sapa Dayana pada Kai yang tersenyum manis dengan kehadiran sang tante.
"hi aunty." sahut Kai yang melanjutkan kunyahannya.
sementara Tama, hanya menatap adik perempuan satu-satunya itu yang juga mulai menyantap hidangan makan siangnya.
"mas, Mbak Indira mana?" tanya Dayana disela makannya saat mengingat kakak iparnya belum terlihat batang hidungnya, karena Dayana pulang larut malam di saat keluarga kecil kakak pertamanya sudah terlelap.
dan seperti yang sudah kalian tebak, Tama dan keluarga kecilnya itu setiap weekend selalu menginap di kediaman Candra Halim--- papa, suami, dan opa bagi Kai, karena orangtua Indira yang tinggal di Palembang hanya bisa mereka kunjungi saat ada acara tertentu atau Tama memiliki libur panjang.
"di dapur, lagi bantu mama bikin kue." jawab Tama yang kini membersihkan bekas sisa buah-buahan yang dia makan bersama sang anak, sementara Kai sudah melipir menuju Aksa.
suara acara siraman yang berlangsung di sebrang depan rumahnya itu begitu ramai hingga terdengar ke ruang makan, membuat Dayana tersenyum kecut mendengarnya.
"Day anterin gue beli kemeja!" seru Aksa yang tiba-tiba mengajak Dayana pergi.
"sekarang?"
"ya iyalah, masa seabad kemudian sih." ujar Aksa yang memang menyebalkan sekali.
Dayana menghela napasnya sejenak. "sebentar gue bawa tas dulu."
ajakan Aksa ternyata berhasil membuat Dayana keluar dari rumah menghindari suasana depan rumah yang memperkeruh perasaan adik kesayangannya itu.
"jaga Dayana yang bener." ingat Tama membuat Aksa mendengus.
"kapan gue gak bener jagain princessnya kita, wahai Mas Tama?" tanya Aksa amat tengil membuat Tama hanya menggelengkan kepalanya, dan berlalu menuju kamarnya dengan Kai yang sudah mengantuk karena saatnya jam tidur siang.
"ajak dia pulang tengah malam saja kalau bisa kak." sahut sang papa yang tadi menonton siaran basket bersama.
"my pleasure papa sayang." jawab Aksa membuat Candra menggelengkan kepalanya seperti Tama beberapa saat yang lalu, dan memilih menonton siaran golf yang sempat terlewatkan.
kini Dayana dan Aksa mengelilingi pusat pembelanjaan kota yang ramai pengunjung, terlebih ini hari libur. "nonton yuk?" ajak Aksa setelah mendapat kemeja yang sebenarnya hanya dijadikan tumbal, agar bisa menjadi alasan mengajak adiknya itu pergi.
"males ah."
"terus mau apa?"
Dayana terdiam sejenak memikirkan keinginannya. "gak ada."
nihil, jawaban yang diberikan Dayana tidak sesuai dengan ekspektasi Aksa.
"yaudah ikut gue aja." Aksa menarik tangan Dayana menuju sebuah restoran jepang.
setelah menghabiskan semua pesanan Aksa lebih tepatnya, karena Dayana yang tidak memesan apa pun.
dan untungnya semua makanan habis, karena Aksa tipikal manusia yang tidak ada kata kenyang dalam kamus perut dan hidupnya.
"woy bro, lagi sama siapa lo di sini?" tiba-tiba empat pria asing datang menghampiri meja mereka, dan terlihat jika itu kenalannya Aksa.
"emang gak liat, kalo gue mirip gini sama adek gue ini." kata Aksa yang usai berjabat ala lelaki pada umumnya dengan keempat pria asing yang hanya Dayana lihat sekilas, karena lebih memilih melahap hidangan penutupnya.
saat meminta bergabung tempat duduk bersama, salah satu pria yang sejak tadi diam mengamati Dayana, dari awal matanya menangkap sosok wanita yang pernah ia temui di atap.
"dia ini adek lo yang sering dibicarain itu, 'kan?" tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut pria yang duduk di sebelah Aksa.
"kenapa lo? kenal sama adek gue?"
pria yang diketahui satu geng karib bersama ketiga pria yang juga ada di sana dari semasa SMAnya bersama Aksa itu, tersenyum penuh arti pada Dayana yang sejak awal kedatangan mereka menjadi bahan pembicaraan,
tapi Dayana hanya terdiam memikirkan hal lain.
"kenal." katanya.
mendengar hal itu, Dayana mengalihkan pandangannya pada pria yang mengaku kenal dengannya.
lho dia. batin Dayana yang baru tersadar dengan kehadiran salah satu sahabat kakaknya, yang ia temui sewaktu mencari angin segar di atap beberapa waktu lalu.
.
.
.
.
.
TBC