Malam itu, bulan mengambang rendah di atas Liraeth, cahayanya memantul lembut di sungai yang mengalir melintasi kota kecil itu. Kehidupan berjalan seperti biasa: suara gemericik air, nyanyian burung malam, dan gelak tawa keluarga yang menikmati kehangatan rumah. Namun, semuanya berakhir dalam sekejap, berubah menjadi mimpi buruk.
Api pertama muncul di tepi barat kota. Dari kejauhan, kilauan merah menerangi langit malam, disusul teriakan yang membelah keheningan. Kekaisaran Valderion telah datang.
"Caelum!" suara ibunya, Lorienne, memecah kebisuannya.
Caelum berlari keluar kamar, jantungnya berdegup kencang saat melihat bayangan tinggi Lorienne berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah oleh cahaya kobaran api dari luar. Matanya, biasanya penuh kehangatan, kini menyimpan kepanikan.
"Kita harus pergi sekarang!" Lorienne menariknya dengan tangan gemetar.
Di luar, jalanan Liraeth telah menjadi lautan api. Pasukan Kekaisaran, bagaikan makhluk dari neraka, menyusuri kota dengan armor hitam berkilauan dan lambang emas di dada mereka. Mereka membakar rumah, membantai siapa saja yang menghalangi jalan.
Lorienne membawa Caelum menuju gang sempit, mencoba menghindari pandangan musuh. Namun, langkah mereka dihentikan oleh seorang prajurit Kekaisaran. Mata sang prajurit dingin, dan pedang di tangannya berkilat tajam di bawah cahaya api.
"Lari, Caelum!" seru Lorienne, melemparkan tubuhnya ke depan untuk menghalangi prajurit itu.
Caelum terpaku, kakinya terasa seperti terikat rantai tak terlihat. Ia menyaksikan ibunya bertarung tanpa senjata, hanya menggunakan apapun yang ada di tangannya. Pedang musuh akhirnya menembus dadanya. Tubuh Lorienne jatuh ke tanah dengan suara berdebum yang memekakkan hati.
"Tidak!" teriak Caelum, air matanya mengalir deras.
Tapi suara ibunya yang tersisa menghantuinya, menggema di sela napas terakhir. "Pergilah, nak... hiduplah..."
Dengan air mata yang membasahi wajahnya, Caelum berlari ke arah hutan, meninggalkan Liraeth yang terbakar di belakangnya. Suara jeritan dan gemuruh kehancuran terus mengejarnya, mencabik-cabik pikirannya.
Di tengah kegelapan hutan, ia terjatuh ke tanah berlumpur. Tubuhnya memar penuh luka, napasnya tersengal, namun hatinya dipenuhi oleh rasa yang tidak pernah ia kenal sebelumnya: kebencian.
"Demi ibu... demi Liraeth... aku akan membalas dendam..." bisiknya, dengan suara yang bergetar.
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi asap dan abu, sumpahnya terucap. Liraeth mungkin telah hancur, tetapi api di hati Caelum baru saja menyala.