Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 6 - Jalan menuju Eldoria

Chapter 6 - Jalan menuju Eldoria

Langit di atas padang Elaria begitu kelam, awan tebal menggulung, seolah menutupi dunia dari harapan. Suasana senyap yang membalut The Crimson Blades terasa seperti gema dari medan perang sebelumnya. Tanah kering di bawah kaki mereka memprotes dalam diam, serupa dengan hati mereka yang mulai dihantui kelelahan dan duka.

Di depan barisan, Caelum berjalan tanpa sedikit pun keraguan. Bayangannya yang terukir oleh sisa sinar mentari senja terlihat lebih besar dari sosoknya yang sebenarnya, sebuah ilusi yang menggambarkan beban yang ia pikul. Pedang Raedan yang kini tergantung di punggungnya terasa lebih berat dibandingkan biasanya, bukan karena logamnya, tetapi karena kenangan yang terkandung di dalamnya.

"Kita harus mencapai Eldoria sebelum matahari tenggelam," ujar Caelum dengan suara tegas. Ia tak menoleh, seolah tidak ingin tatapannya teralihkan dari tujuan yang sudah ia rencanakan.

Torren, yang selalu waspada, melangkah maju sedikit, mendekati Caelum. "Apa kau yakin mereka tidak akan mengejar kita?" tanyanya dengan nada penuh kecurigaan.

Caelum mengangguk kecil, gerakannya nyaris seperti mesin. "Pasukan Kekaisaran sedang mengatur ulang barisan mereka untuk invasi ke selatan. Kehilangan karavan yang membawa detail rencanya akan membuat persiapan itu lebih lama. Tapi itu hanya memberi kita waktu sedikit."

Di barisan belakang, Elira berjalan di sampingnya. Ia tidak pernah menyangka pria di hadapannya ini dapat berubah begitu drastis. Sejak malam pemakaman Raedan, ada sesuatu yang hilang dari Caelum, atau mungkin, sesuatu yang muncul—sebuah sosok baru yang membara di dalam dirinya.

"Kita kehilangan banyak orang," kata Elira akhirnya, memecah keheningan. "Apa yang akan kau lakukan untuk mereka? Untuk kita?"

Caelum menghentikan langkahnya sejenak, mengarahkan pandangannya ke barisan kecil mereka yang kelelahan, wajah-wajah yang dipenuhi debu dan keputusasaan.

"Kita bertahan," katanya singkat. "Dan memastikan pengorbanan mereka tidak sia-sia."

Jawabannya lugas, bahkan nyaris terlalu sempurna. Tapi Elira merasakan sesuatu yang jauh lebih dingin bersembunyi di balik kata-kata itu, seperti gaung dari kehampaan.

---

Matahari mulai merangkak turun ketika mereka mencapai Hutan Eldwyn. Bayangan pohon-pohon purba yang menjulang tinggi menutupi jalan setapak, menciptakan suasana yang seakan mengintimidasi mereka. Eldwyn bukan sekadar hutan, melainkan perbatasan dunia manusia dengan wilayah para elf, tempat di mana hukum yang tidak tertulis dipertahankan oleh busur yang tak terlihat.

"Elira," panggil Caelum tiba-tiba, suaranya memecah keheningan yang tegang. "Kau memimpin. Kau tahu bagaimana cara bicara dengan mereka."

Elira mengangguk tanpa bicara, meskipun di benaknya, ia terus bertanya-tanya bagaimana Caelum tahu banyak tentang tempat ini. Raedan tak pernah menyebutkan hal ini dalam percakapan mereka sebelumnya.

Namun langkah mereka terhenti oleh siulan panjang yang melintasi udara. Sebuah panah menancap di batang pohon tepat di depan Caelum.

"Berhenti!" suara tegas memecah keheningan. Dari bayang-bayang hutan, beberapa elf ranger muncul. Busur mereka terarah pada The Crimson Blades, mata mereka memancarkan kewaspadaan yang tajam.

Seorang wanita maju dari barisan mereka. Rambutnya hijau gelap seperti lumut tua, dan matanya yang berwarna emas menatap mereka dengan dingin.

"Kalian membawa perang ke wilayah kami," katanya dengan nada penuh tuduhan. "Beri aku alasan untuk tidak mengakhiri kalian di sini."

Caelum melangkah maju, tangannya terangkat sebagai tanda damai. Tatapannya lurus ke arah pemimpin elf itu, tak tergoyahkan. "Kami tidak membawa perang. Kami hanya ingin melewati wilayah ini."

Wanita itu menyipitkan matanya, mengamati Caelum seolah mencoba membaca kedalaman jiwanya. "Manusia tidak pernah lewat tanpa alasan. Senjata dan bau darah yang melekat pada kalian tidak menunjukkan niat baik."

"Tapi kami membawa sesuatu yang lebih penting," ujar Caelum dengan suara rendah tetapi penuh keyakinan. "Informasi tentang Kekaisaran. Jika kalian membiarkan kami lewat, kami bisa membantu mencegah kehancuran yang mereka rencanakan. Namun jika kalian menghalangi kami... mungkin hutan ini bisa terbakar."

Ketegangan meliputi mereka seperti bayangan yang pekat. Elira melirik Caelum, merasakan perubahan dalam caranya berbicara. Sejak kapan dia berbicara seperti seorang pemimpin? Raedan mungkin telah tiada, tetapi semangatnya—atau mungkin bayangannya—tampaknya kini melekat pada Caelum.

Akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, wanita elf itu menurunkan busurnya. "Kalian punya waktu sampai matahari tenggelam untuk keluar dari wilayah kami. Jangan mencoba hal bodoh, atau kalian akan mati di sini."

Caelum membungkuk singkat. "Terima kasih."

---

Ketika para ranger menghilang ke dalam bayangan, Carl mendekati Caelum dengan ekspresi penuh ejekan.

"Kau terlalu lemah," katanya sinis. "Jika mereka menyerang, kita bisa menghancurkan mereka."

Caelum menatapnya dengan dingin, tatapan yang dapat membekukan jiwa. "Dan kehilangan separuh pasukan kita? Kita tidak bisa bertarung dengan emosi. Jika kau ingin mati dengan sia-sia, jangan bawa kami bersamamu."

Carl terdiam, tetapi ketidakpuasan masih membara di wajahnya. Di sisi lain, Elira mendekat dengan nada lebih lembut.

"Kau melakukannya dengan baik," katanya. "Tapi... apakah kau baik-baik saja?"

Caelum mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Elira menghela napas, ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Aku tahu ini berat bagimu—memimpin kita setelah kehilangan Raedan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian."

Untuk sesaat, mata Caelum bertemu dengan Elira, tetapi kemudian ia memalingkan pandangannya.

"Aku baik-baik saja," jawabnya singkat. Tetapi jauh di dalam dirinya, dia tahu bahwa itu hanyalah kebohongan untuk menutupi kerapuhan yang terus membayangi.

---

Malam itu, saat api unggun menyala di tengah kegelapan, Caelum duduk sendirian. Pedang Raedan tergeletak di depannya, pantulan apinya menari di atas bilah logam itu. Dalam kesunyian, pikirannya kembali kepada bayangan-bayangan yang selalu menghantuinya.

"Apakah ini yang kau inginkan?" bisiknya lirih, seolah berbicara kepada seseorang yang tidak terlihat. "Aku sudah dekat... sangat dekat."

Namun, tidak ada jawaban. Hanya api yang berderak, seolah mengejek kesendiriannya. Tetapi di tengah keheningan itu, suara lain bergema dalam benaknya, suara yang sudah lama tidak ia dengar.

"Kau harus menemukan sesuatu yang lebih besar dari dendam ini, Caelum," kata suara itu. Suara Raedan. "Jika tidak, kau hanya akan menjadi seperti mereka yang kau benci."

Caelum mengepalkan tangan, berusaha mengusir suara itu. Dia tidak ingin mendengarnya. Tidak sekarang.

---

Ketika pagi tiba, The Crimson Blades melanjutkan perjalanan mereka menuju Eldoria. Namun di dalam hati Caelum, pertanyaan yang tak terucapkan mulai muncul. Siapa dirinya tanpa dendam ini? Apa yang tersisa ketika perang ini akhirnya usai?